Tuesday 20 September 2016

indikator pembelajaran indikator pencapaian kompetensi kurikulum terbaru



I.   Kompetensi
A.   Definisi Kompetensi
Sebuah kompetensi adalah adalah sebuah karakteristik yang mendasari dari seorang individu yang berkaitan secara kausal dengan kinerja efektif beracuan-kriteria dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi (Spencer & Spencer,1993: 13).
                Karakteristik yang mendasari berarti kompetensi adalah sebuah bagian yang cukup mendalam dan bertahan dari kepribadian seseorang dan dapat memprediksi perilaku dalam berbagai situasi dan tugas-tugas pekerjaan.  Prinsip ini menghendaki pembelajaran untuk pencapaian suatu kompetensi harus intensif atau mendalam dan ekstensif melibatkan berbagai pengalaman belajar, juga diulang-ulang (dapat melalui kurikulum berorganisasi spiral atau dengan suatu cara pedagogis lainnya).  Jika prinsip ini terpenuhi, logisnya, para siswa akan lulus dengan mutu bagus pada setiap ujian sekolah.
                Berkaitan secara kausal artinya bahwa sebuah kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja.  Suatu kompetensi murid, misalnya, ketika dikuasai secara berhasil dalam pembelajaran di kelas III SD, maka ketika dites atau diuji di kelas VI murid ini akan lulus tes/ujian dengan berhasil pula (jika tesnya sahih dan si murid ini dalam kondisi normal).
                Beracuan kriteria artinya bahwa sebuah kompetensi memprediksi secara aktual siapa yang bekerja baik atau buruk, ketika diukur dengan sebuah kriteria spesifik atau standar.  Dalam kasus ICK di atas, adalah siswa yang berhasil menemutunjukkan sifat  benda padat yang keras dan yang tetap ketika berpindah tempat, dan siswa yang gagal dalam hal ini.  Dalam kasus penjaja (salesmen) adalah jumlah rupiah yang diperolehnya atau jumlah klien yang tetap “bersih” dari penyalahgunaan alkohol bagi konselor.  
Karakteristik-karakteristik yang Mendasari
Kompetensi adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari orang-orang dan mengindikasikan “pola perilaku atau pemikiran, berlaku pada berbagai situasi, dan bertahan selama waktu yang cukup panjang” (Boyatzis, 1982 dalam Spencer & Spencer, 1999: 9).

                Lima Tipe Karakteristik Kompetensi:
1.       Motif.  Motif adalah hal-hal yang orang secara konsisten pikirkan dan inginkan yang menyebabkan lahirnya tindakan.  Motif “mendorong, mengarahkan, dan memilih” perilaku ke arah tindakan-tindakan atau tujuan-tujuan tertentu dan menjauhi yang lainnya.
Contoh: Orang yang memiliki motif berprestasi secara konsisten mengatur tujuan-tujuan yang menantang untuk dirinya sendiri, mengambil tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan mereka, dan memanfaatkan umpan-balik untuk bekerja lebih baik.

2.       Traits (sifat).  Traits adalah karakteristik-karakteristik fisik dan respon-respon konsisten terhadap situasi atau informasi.
Contoh: Waktu reaksi dan penglihatan yang baik adalah kompetensi-kompetensi sifat fisik dari pilot pesawat tempur.

Kontrol-diri emosional dan inisiatif adalah “respon-respon konsisten terhadap situasi” yang lebih kompleks”.  Beberapa orang tidak “mempersalahkan” orang lain dan bertindak “di atas dan melampaui tuntutan tugasnya” untuk memecahkan masalah yang ada.  Traits ini adalah karakteristik dari para pimpinan yang berhasil
        Motiv dan kompetensi adalah operant atau master traits yang intrinsik yang memprediksi apa yang akan orang lakukan dalam pekerjaan mereka jangka panjang, tanpa supervisi yang ketat.

3.       Konsep-diri-sendiri.  Sikap-sikap, nilai-nilai, atau imaji-diri-sendiri.

Contoh:  Keyakinan-diri, kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menjadi efektif dalam hampir semua situasi adalah bagian dari konsep seseorang tentang dirinya.

4.       Pengetahuan.  Informasi yang seseorang miliki dalam bidang pengetahuan khusus.

Contoh:  Pengetahuan seorang ahli bedah tentang syaraf-syaraf dan otot-otot pada badan manusia.

Pengetahuan adalah sebuah komptensi yang kompleks.  Skor-skor dalam tes pengetahuan sering gagal memprediksi kinerja pekerjaan karena mereka gagal mengukur pengetahuan dan keterampilan dalam cara-cara aktual penggunaannya dalam pekerjaan.  Pertama, banyak tes pengetahuan mengukur memori dangkal, ketika apa yang sesungguhnya penting adalah kemampuan menemukan informasi.  Memori tentang fakta-fakta khusus adalah kurang penting ketimbang mengetahui fakta-fakta yang mana yang ada yang relevan dengan sebuah masalah khusus, dan dimana menemukannya ketika memerlukannya.  Ke dua, tes-tes pengetahuan ditujukan pada “responden”.  Tes-tes ini mengukur kemampuan pnerima tes untuk memilih respon yang tepat dari beberapa respon yang tersedia, tetapi bukan berdasarkan apa yang seseorang dapat perbuat berdasarkan pengetahuannya.  Misalnya, kemampuan memilih dari lima item yang mana yang merupakan argumentasi yang efektif adalah sangat berbeda dari kemampuan untuk bertahan dalam sebuah situasi konflik dan berargumentasi secara persuasif.  Yang terakhir, pengetahuan yang dimiliki seseorang sebaik-baiknya dapat memprediksi apa yang seseorang dapat lakukan, bukan apa yang ia akan lakukan.  
5.       Keterampilan.  Kemampuan melaksanakan sebuah tugas fisik atau mental tertentu.

Contoh: Keterampilan fisik seorang dokter gigi adalah menambal sebuah gigi tanpa merusak syarafnya; kemampuan seorang pemerogram komputer adalah mengorganisasi 50.000 lines of code dalam tatanan runtun logis.

Kompetensi-kompetensi keterampilan mental atau kognitif mencakup berpikir analitis (memproses pengetahuan dan data, menentukan sebab-akibat, mengorganisasi data dan perencanaan) dan berpikir konseptual (mengenali pola-pola dalam data kompleks).

                Tipe atau tingkatan dari sebuah kompetensi memiliki implikasi-implikasi praktis untuk pendidikan manusia.  Sebagaimana diilustrasikan dalam Diagram 1, kompetensi-kompetensi pengetahuan dan keterampilan cenderung terlihat, dan relatif bersifat permukaan, karakteristik dari orang-orang.  Kompetensi-kompetensi konsep-diri, traits, dan motif adalah lebih tersembunyi, “lebih dalam”, dan bersifat sentral untuk kepribadian.

                Kompetensi-kompetensi pengetahuan dan keterampilan permukaan adalah relatif mudah untuk dikembangkan; pelatihan adalah cara yang paling efektif untuk pengembangan kemampuan-kemampuan ini.

                Kompetensi-kompetensi motif dan trait inti yang berada di pangkalan gunung es kepribadian, bersifat lebih sulit untuk diakses dan dikembangkan.
















Diagram 1   Kompetensi-kompetensi Permukaan dan Sentral
(Sumber: Spencer & Spencer, 1993: 12)

Model Gunung Es

Trait,
Motif


Konsep-diri
Sikap-sikap, Nilai-nilai
Pengetahuan
Ketrampilan
Konsep-diri
Trait
Motif

Keterampilan
Pengetahuan

Teramati

Tersembunyi

 











                Kompetensi-kompetensi konsep-diri terletak di suatu tempat di antara permukaan kepribadian dan inti kepribadian.  Sikap-sikap dan nilai-nilai seperti keyakinan-diri (memandang diri sendiri sebagai seorang “manajer” bukan sebagai seorang “teknisi/profesional”) dapat diubah melalui pelatihan, psikoterapi, dan/atau perkembangan positif dari pengalaman, meskipun membutuhkan lebih banyak waktu dan kesulitan.
                Banyak pendidikan dan persekolahan beroperasi atas dasar kompetensi-kompetensi keterampilan dan pengetahuan permukaan dan kompetensi-komptensi motif dan traits yang sifatnya mendasari diabaikan, atau diasumsikan tumbuh melalui pendidikan dan persekolahan yang baik.  Tetapi jika sebaliknya barangkali akan lebih sulit: pendidikan dan persekolahan memilih kompetensi-kompetensi traits dan motif dan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk mengerjakan tugas-tugas khusus. 
                Dalam tugas-tugas yang kompleks, kompetensi bersifat lebih penting dalam memprediksi kinerja unggulan ketimbang keterampilan-keterampilan terkait-tugas, kecerdasan, atau credentials (bukti kemampuan: ijazah, sertifikat, dan yang sejenis).  Dalam tugas-tugas tingkat tinggi dalam bidang teknik, pemasaran, profesional, dan manajerial, hampir setiap orang memiliki IQ 120 atau lebih dan derajad sarjana dari suatu universitas bagus.  Apa yang membedakan orang dengan kinerja unggul dalam tugas-tugas ini adalah motivasi, keterampilan interpersonal, dan keterampilan politis, semuanya adalah kompetensi.    

Perhubungan Kausal
Kompetensi-kompetensi motif, traits, dan konsep-diri memprediksi tindakan-tindakan perilaku keterampilan, yang pada giliran berikutnya memprediksi dampak-dampak (outcomes) kinerja pekerjaan, sebagaimana diperlihatkan dalam model alur kausal motif/trait           perilaku            dampak dalam Diagram 2.
                Kompetensi-kompetensi selalu menyertakan sebuah maksud (an intent), yang dituju oleh motif dan trait yang menyebabkan tindakan ke arah sebuah dampak. Misalnya, kompetensi-kompetensi pengetahuan dan keterampilan selalu menyertakan sebuah kompetensi motif, atau konsep-diri, yang adalah menyediakan “dorongan” untuk digunakannya pengetahuan dan keterampilan.
                Perilaku tanpa maksud tidak didefinisikan sebagai kompetensi.  Sebuah contoh berikut “memanajemeni dengan cara berjalan keliling-keliling”.  Tanpa mengetahui mengapa seorang manajer sedang berjalan keliling, anda tidak dapat mengetahui kompetensi yang mana yang sedang didemonstrasikan.  Maksud si manajer dapat berupa rasa kesal, otot pegal, memantau pekerjaan untuk mengetahui apakah kualitas tinggi, atau suatu keinginan “untuk tampak di mata pasukan”.
                Tindakan perilaku dapat mencakup pemikiran, dalam mana pemikiran mendahului dan memprediksi perilaku.  Contohnya adalah motif-motif (yakni, pemikiran tentang melakukan sesuatu lebih baik), perencanaan, atau pemikiran tentang pemecahan masalah.
Karakteristik
Pribadi

Perilaku
Kinerja
Tugas
“Maksud”
“Tindakan”
“Dampak”
Motiv
Berprestasi
Penentuan tujuan,
Tanggungjawab Pribadi,
Pemanfaatan umpan-balik
Pembaikan
Terus-menerus
Pengambilan Resiko yang Diperhitungkan

Inovasi
Kualitas,
Produktivitas,
Pendapatan,
Penjualan
“Bekerja Lebih Baik”:
·   Kompetensi dengan standar unggulan
·   Capaian unik
Diagram  2   Model Alur Kausal Kompetensi
(Sumber: Spencer & Spencer, 1993: 13)
 




Contoh: Motif Berprestasi
 







Acuan Kriteria
Acuan kriteria bersifat kritis untuk definisi kompetensi ini.  Sebuah karakteristik adalah bukan sebuah kompetensi kecuali ia memprediksi sesuatu yang bermakna dalam dunia nyata.  Psikologiwan William James mengatakan prinsip pertama untuk para ilmuwan hendaknya bahwa “Sebuah perbedaan yang tidak membuat perbedaan adalah bukan perbedaan” (dalam Spencer & Spencer, 1993: 13).  Sebuah karakteristik atau credential yang tidak membuat perbedaan kinerja adalah bukan sebuah kompetensi dan hendaknya tidak digunakan untuk menilai orang.
                Kriteria yang paling sering digunakan dalam studi-studi kompetensi adalah:
·     Kinerja Unggulan.  Hal ini didefinisikan secara statistik sebagai sebuah simpangan baku di atas rerata kinerja, kira-kira tingkatan yang dicapai oleh 1 orang puncak dari 10 dalam suatu situasi kerja yang ada.
·     Kinerja Efektif.  Hal ini biasanya diartikan sebagai sebuah tingkatan kerja yang “diterima secara minimal”
                Ulasan Spencer & Spencer tentang apa atau definisi kompetensi di atas, akan diringkas kedalam sebuah rangkuman dalam bentuk diagram di bawah ini, setelah ditambahi korelat-korelat pedagogisnya oleh penulis.
Diri Kompeten memiliki karakteristik yang mendasarinya, atau pola-pola dalam drinya, terdiri atas:
Pola-pola ini berperanan sebagai maksud (ketertujuan) yang memunculkan tindakan tertentu
“Tindakan”:
Perilaku
“Dampak”:
Kinerja Tugas Unggulan atau Efektif berdasarkan Kriteria
Diagram 3  Model Kompetensi dan Korelat Pedagogisnya
Traits dan Motif
Konsep-diri
Sikap-sikap & Nilai-nilai
Pengetahuan
Keterampilan
Potensi
Aktual
Kontekstual
CTL
Pengajaran dan Pembelajaran Konvensional


Text Box: Luaran           Dalaman
 













B.   Kompetensi dan Korelat Pedagogisnya
Kompetensi dan Latar Pendidikan.   Pendekatan kompetensi menghendaki latar (setting) pengajaran dan pembelajaran bukan hanya kelas yang konvensional selama ini terjadi, tetapi ia juga menghendaki pengajaran dan pembelajaran dalam latar kontekstual.  Dalam kasus pendidikan shalat yang dilakukan guru PAI (Pendidikan Agama Islam), jika pendidikannya terbatas pada latar kelas belaka, maka produk pendidikan shalat terbaik hanyalah pengetahuan shalat dan perilaku shalat, tetapi bagaimana shalat dilaksanakan dalam kehidupan harian tidak mendasari pendidikan dan asesmen-nya.  Dan, sering terjadi perilaku shalatnya bersifat mekanistis belaka tanpa kekayaan pengalaman konkrit kehidupan yang penuh tantangan dan godaan seperti dalam kehidupan konkrit harian.
                Sebuah ilustrasi bagus tentang pendidikan shalat pada anak-anak SD kelas bawah:  subuh hari, Guru si anak tersebut menelefon ke rumah si anak untuk mengingatkan si anak untuk melaksanakan shalat subuh.  Ada lagi kasus lainnya, seorang anak dari SD yang sama, ketika di rumah, orang tua belum pulang ke rumah tetapi ada rencang (pembantu) dan orang lainnya, semua orang ini di minta shalat berjama’ah dan si anak menjadi imamnya.  
                Jika kita petakan, pendekatan kompetensi dalam pendidikan yang menghendaki implementasi CTL (contextual teaching and learnig), adalah sebagaimana diagram di bawah ini.  Masalah yang harus dipecahkan oleh praktisi dan pemikir pendidikan, bagaimana fasilitasinya dapat dilakukan oleh pihak sekolah dan guru?  Fasilitasi dan pengalaman belajar siswa dalam kehidupan harian, dalam contoh di atas adalah kegiatan shalat di rumah.  Juga, barangkali RPP dan silabus yang selama ini dikerjakan guru perlu modifikasi.
                                                   Diagram 4    Latar-latar Pendidikan Kompetensi

Kompetensi dan Pengalaman Pelajar.   Benjamin S. Bloom, sebagaimana ditulis oleh mahasiswa pascasarjananya, mengemukakan bahwa pengalaman belajar terdiri atas dua bagian: pengalaman empiris dan pengalaman konseptual.  Siswa melakukan observasi dan memanipulasi benda-benda atau kejadian-kejadian dalam rangka pembelajarannya, adalah pengalaman empiris; dan dilanjutkan/atau disertai dengan penggunaan proses-proses kognitif untuk menggeluti pengalaman empirisnya tersebut adalah merupakan pengalaman konseptual.  Proses-proses kognitif ini akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
                Mempertimbangkan paparan tentang kompetensi di atas, dan tuntutan Pedagogi Indonesia, dua pengalaman belajar di atas tidaklah cukup.  Penulis mengusulkan empat lapis pengalaman belajar sebagaimana diagram di bawah ini.
Pengalaman empiris
Pengalaman konseptual
Pengalaman afektif
Pengalaman reflektif


Text Box: luaran          dalaman
 





                       Diagram 5    Pengalaman Belajar versi Pedagogi Indonesia
Pengalaman afektif dalam belajar adalah dengan mengalami proses-proses afektif melalui fasilitasi guru.   Proses-proses afektif dalam tulisan ini akan memanfaatkan teori Krathwohl dan Lickona, akan dipaparkan di bagian berikut.
                Pengalaman reflektif, belum banyak ditulis orang.  Sebuah contohnya dikemukakan oleh Lickona (1991: 228-229).  Di sebuah kelas II di sebuah SD dengan seorang guru Ibu William, sedang mengerjakan proyek inkubasi bersama murid-muridnya.  Setiap minggu mereka memecahkan sebutir telur untuk memantau perkembangan embrionik.  Kemudian hari, dalam sebuah diskusi kelas, seorang siswanya Nathaniel berbicara secara pribadi dengan ibu William: “Saya sudah lama memikirkannya—terlalu biadab rasanya membuka telur dan membunuh anak ayam di dalamnya”.  Ibu William hanya mendengarkan tanpa menanggapi apapun, dan berkata ia akan membawa masalah ini ke dalam diskusi kelas.  Kemudian diskusi kelas dilaksanakan, ada yang pro dan ada yang kontra, tetapi akhirnya diputuskan untuk mengganti telur ayam itu dengan gambar-gambar embrio anak ayam.
                Nathaniel dan teman-teman sekelasnya mengalami apa yang disebut refleksi.  Salah satu tujuannya sebagaimana menurut Lickona: Menyadari secara moral—melihat dimensi-dimensi moral dalam situasi kehidupan.
                Semua siswa melihat pembunuhan embrio ayam, tapi tidak semua melihat dimensi moral dalam kejadian ini, sekurang-kurangnya pada awalnya, baru kemudian dengan bantuan diskusi kelas yang difasilitasi ibu William lebih banyak siswa dapat melihat dimensi moral ini.  Inilah salah satu pengertian refleksi,  yaitu melihat dengan kesadaran, atau mata kesadaran.  Salah satu tujuan pendidikan adalah mengasah mata kesadaran agar tajam dalam melihat dimensi-dimensi kehidupan yang non-empiris.  Indonesia dengan filsafat bangsanya, Pancasila, yang sekaligus juga menjadi filsafat pendidikannya, sudah seharusnya tidak menyingkirkan pengalaman reflektif ini dalam pengajaran dan pembelajarannya, seperti yang selama ini banyak terjadi hanya karena kita maunya hanya mengikuti pedagogi Barat.  Konsep refleksi dalam dunia pendidikan muncul dan menguat setelah masa kuasa behaviorisme di dunia pendidikan menyusut.
                Penulis ingin mengemukakan lagi sebuah ilustrasi yang penulis temukan dalam simulasi-simulasi pengajaran-pembelajaran bersama mahasiswa penulis di Program Studi PGSD.  Dalam IPA SD, para siswa di kelas diajak mengagumi atau mengapresiasi ciptaan, badan manusia dengan susunannya yang canggih, semua komponen dan bagiannya tersusun secara canggih.  Guru mendemonstrasikan tulang dahinya kena tamparan, atau mungkin terjatuh ke tanah dengan posisi tulang dahi menghadap tanah, matanya tidak rusak.  Rasanya semuanya sudah disusun teratur dan dengan berbagai kepentingan atau tujuan yang tertentu.  Ilustrasi-ilustrasi lainnya dimunculkan guru melalui diskusi dan tanya jawab, maksudnya ingin membangkitkan rasa kagum, apresiasi, dan respek pada Pencipta-nya.  Semua proses ini dimaksudkan agar anak-anak melakukan refleksi, melihat dengan mata kesadarannya Sang Pencipta melalui ciptaannya.
                Pembelajaran di atas membidik dua pengalaman belajar, pengalaman afektif dan pengalaman reflektif.   
C.   Kompetensi dalam dunia Persekolahan Kita
Dunia persekolahan kita, meskipun sejak tahun 2004 sudah mengadopsi pendekatan kompetensi dalam pendidikannya, masih bertahan dengan tradisi pendidikan kognitif yang menguat sejak Kurikulum 1975.  “Tradisi ‘75” ini sangat kuat, tuntutannya: pengukuran hasil belajar hingga terjadi pelecehan terhadap konsep dan praktik observasi kualitatif terhadap hasil belajar; behaviorisme, menghendaki perilaku hasil belajar terobservasi dan terukur secara radikal, dengan kata lain, menghendaki observasi oleh “mata telanjang” terhadap hasil-hasil belajar seperti orang mengobservasi benda-benda material.  Secara ringkasnya, behaviorisme ini menghendaki “kaca mata kuda” dalam melakukan observasi (konsep ini dikemukakan oleh Bogdan & Biklen {1992}) hingga kedalaman dan kekayaan pemandangan dari observasi tidak diperoleh.
                Demikianlah, pendidikan persekolahan kita masif beroperasi di wilayah kognitif; dan masih menggunakan taksonomi Bloom yang lama yang behavioristis.  Itupun tidak banyak digunakan secara benar oleh banyak guru.  Bahkan para mahasiswa PGSD saat ini, masih banyak menggunakan Bloom yang lama ini.
                Pendekatan kompetensi dalam pendidikan akan tidak cukup jika para guru hanya menggunakan taksonomi kognitif dalam pengajaran, pembelajaran, dan peng-ases-an.  Kompetensi jauh lebih kaya dan mendalam.  Penulis menyarankan agar taksonomi afektif juga menyertai taksonomi kognitif. 





















II.   Indikator
A.   Definisi indikator
Indikator lengkapnya adalah Indikator Capaian Kompetensi (ICK).  Indikator secara etimologis (kamus umum, Encarta Dictionary, 2008; saduran penulis) berarti: alat pengukuran atau sesuatu yang memberi informasi.  Dengan demikian ICK adalah hal yang memberikan informasi (yang relatif jelas atau rinci) tentang SK-KD, atau bahkan yang memberikan informasi kuantitatif tentang SK-KD – meskipun tidak harus dalam bentuk informasi yang merupakan angka-angka atau bilangan-bilangan, tetapi adalah berbentuk narasi atau kata-kata.  Indikator sebagai alat pengukuran atau alat ukur, implikasinya bahwa indikator harus bersifat discrete: terpisah secara utuh dan tak-berkaitan, atau terbatasi, mendeskripsikan unsur-unsur dan variabel-variabel matematis yang tegas, tak berkaitan, dan memiliki suatu bilangan-nilai-yang-terbatas (Encarta Dictionary, 2008).
                Ide bahwa alat ukur bersifat discrete tersebut, mengimplikasikan bahwa ICK harus menyatakan/mengukur satu, dan hanya satu hal.  Yang dimaksud dengan mengukur dalam hal ini adalah mengukur hasil belajar.  Contohnya sebagaimana diperikan di bawah ini:
Tabel 1  Penulisan Indikator 1
A.   Standar Kompetensi
6.       Memahami beragam sifat dan perubahan wujud benda serta berbagai cara      penggunaan benda berdasarkan sifatnya.
B.      Kompetensi Dasar
6.1. Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu.
C.     Indikator
1.       Menemutunjukkan (mengidentifikasi) sifat benda padat.
2.       Menemutunjukkan sifat benda cair.
3.       Menemutunjukkan sifat benda gas.
4.       Membedakan antara sifat benda padat, cair, dan gas.

                Jika C.1 di atas kita ganti menjadi “Menemutunjukkan dan mengenali ulang sifat wujud benda padat”, maka ini adalah sebuah kelemahan, karena tuntutan ide discrete tidak terpenuhi.
                Ketika kandungan pengetahuan dari sifat benda padat lebih dari satu, misalnya, yaitu: bersifat keras dan tidak mengalami perubahan bentuk ketika berpindah tempat, maka penulisan lengkap C.1 di atas adalah sebagaimana berikut ini:
Tabel 2  Penulisan Indikator 2
C.1.1  Menemutunjukkan sifat keras dari benda padat.
C.1.2  Menemutunjukkan sifat dari benda padat yang bentuknya yang tetap ketika
          berpindah tempat.

Atau ditulis dengan cara lainnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3  Penulisan Indikator 3
C.1.1  Menemutunjukkan sifat benda padat:
·         Keras
·         Bentuknya tetap ketika berpindah tempat.

                Sebuah lagi karakteristik penting indikator, yaitu, bahasa indikator harus behavioral (tetapi bukan behaviorisme).  Ini karena indikator harus mengimplikasikan observasinya.  Karena teori indikatornya tidak hanya bertumpu pada behaviorisme, observasinya tidak hanya dengan teknik observasi  ‘kasat mata’, tetapi dari yang tertangkap secara kasat mata kita bermaksud menangkap proses-proses psikologis yang lebih dalam.  Proses-proses psikologis ‘dalaman’ ini dapat berdimensi kognitif dapat juga berdimensi afektif.  Siswa yang sedang mengelompok-ngelompokkan daun-daunan berdasarkan ciri masing-masing daun adalah terobservasi oleh guru secara kasat mata.  (Ini Indikator Capaian Kompetensi [ICK]-nya adalah “Mengelompokkan daun-daunan sesuai dengan ciri masing-masing daun”.)  Untuk lebih yakin bahwa kompetensi klasifikasi ini bertumpu pada proses kognitif yang tepat, seorang guru menambahi pembelajaran tersebut dengan ICK berikut: “Mengeksplanasi hubungan sebuah daun dengan klasifikasi yang ada”.  Pembelajarannya tertulis atau juga lisan melalui tanya-jawab: “Mengapa kamu memasukkan daun ini kedalam kelompok yang ini?”  “Ini kelompok apa, dan apa hubungannya dengan daun yang ini”.

B.   Elaborasi Kompetensi menjadi ICK
Kompetensi merupakan sebuah gejala composite, terbentuk oleh berbagai bagian yang berbeda-beda.  Dalam diri individu, kompetensi terbentuk oleh berbagai lapisan, dari lapisan dalaman hingga lapisan luaran atau permukaan: trait dan motif, konsep-diri, sikap-sikap dan nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan.  Ini sebagaimana dirumuskan oleh Spencer & Spencer, versi lainnya dapat saja dirumuskan; misalnya, guru-guru agama ingin menempatkan ke dalam posisi dalaman dari diri manusia adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME.
Peranan ICK sebagai sarana pengukuran.  Kompetensi sebagaimana sudah diulas di atas, ternyata sebuah hal yang besar, banyak bagian pembentuknya, bahkan ada bagiannya (dalamannya) yang tersembunyi.  Bahkan bagian luaran (permukaannya), keterampilan dan pengetahuan, tidak gampang untuk langsung diobservasi atau diukur.  Sehubungan dengan hal ini, kompetensi perlu dirinci menjadi ICK-ICK untuk memudahkan pengukurannya.  ICK adalah sarana operasionalisasi observasi atau pengukuran suatu gejala.
Kategori ICK yang harus ada dalam pembelajaran di sekolah.  Sehubungan dengan kompetensi yang composite demikian, pembelajaran disekolah sudah selayaknya jangan hanya membidik lapisan kognitif individu.  Pembelajaran di sekolah sekurang-kurangnya harus juga turut membidik aspek afektif individu.  Dengan demikian, diharapkan ICK-ICK yang kita kembangkan terdiri atas ICK-ICK untuk lapisan kognitif dan yang untuk lapisan afektif (sikap-sikap dan nilai-nilai).   
                Banyak filsuf menyarankan perbedaan antara realitas alam dan realitas manusia.  Implikasinya, tidak semua aspek manusia dapat diukur.  Karena itu, jangan terlalu menuntut adanya pengukuran kompetensi.  Sebagian diukur, khususnya pengetahuan dan keterampilan, aspek lainnya seperti sikap-sikap dan nilai-nilai barangkali lebih bertumpu pada observasi kualitatif dan bukan pengukuran.  Atau bisa juga, kombinasi pengukuran dan observasi kualitatif.
ICK sebagai hasil belajar harus permanen.  ICK sudah dicapai individu jika ia bersifat permanen dalam diri individu, atau bertahan lama.  Sehubungan dengan hal ini, pembelajaran atau pengalaman belajar yang disediakan pendidik untuk anak didik harus bersifat intensif, meaningful learning (bukan rote learning), dan sesuai dengan perkembangan dan minat dan kebutuhan individu.  Pengalaman belajar reflektif dapat turut memperkuat hasil-hasil belajar kognitif dan afektif.
Operasi elaborasi SK-KD menjadi ICK.   Serangkaian langkah yang pokok dalam mengelaborasi SK-KD menjadi ICK adalah sebagaimana berikut ini:
1.       Memahami SK-KD secara utuh.
2.       Menentukan komponen-komponen pengetahuan yang terkandung dalam SK-KD
3.       Menentukan sub-sub-komponen dari tiap komponen pengetahuan, atau perincian lebih lanjut dari langkah 2, disebut juga AMP (analisis materi pelajaran).
4.       Menentukan proses kognitif dan afektif yang relevan dengan: (1) tipe pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan yang dirinci dalam langkah 3; (2) SK-KD-nya; (3) tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; (4) waktu yang tersedia; dan (5) konteks-konteks lingkungan fisik dan sosial yang ada.
5.       Menuliskannya sesuai dengan struktur kognitif yang dipaparkan pada bagian berikut ini.
(1)  SK-KD secara utuh.  Ini dilakukan dengan membaca secara cermat SK-KD.  Sering untuk memahami SK-KD, buku siswa pada bagian materi yang relevan harus dibaca juga.  Dan, sebaiknya jangan satu buku, lebih banyak lebih baik.
(2)   Menentukan komponen-komponen pengetahuan yang terkandung dalam SK-KD.  SK-KD, rumusannya terdiri atas dua bagian, kata kerja dan kata benda.  Contohnya:
Tabel 4   Sebuah SK-KD
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.       Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi
1.1    Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan menggunakan skala sederhana
(Sumber: BSNP, 2006)
Kata/kata-kata yang diblok dengan warna abu adalah kata benda, merujuk pada pengetahuan atau ilmu.  Yang diblok warna hitam adalah kata kerja/verba, dalam kasus ini merujuk pada proses kognitif.  Dalam kasus lainnya, dapat saja kata kerja ini merujuk pada proses afektif atau reflektif.
                Dalam langkah 2 ini, kita harus fokus pada KD, SK untuk dipahami dan digunakan untuk menentukan perincian KD.  Dari KD di atas, diketahui ada dua kata benda atau dua material pengetahuan: peta lingkungan dan skala sederhana.
                Dalam mata pelajaran lainnya, terdapat kasus-kasus dalam mana pengetahuannya tidak tampak.  Contoh, menyimak story telling atau pembacaan dongeng.  Orang yang tidak mengerti perbedaan material kurikuler dan pengetahuan, dapat saja mengajukan ICK-ICK yang tidak/kurang relevan.  Pembacaan dongeng adalah material kurikuler.  Adapun yang menjadi pengetahuannya adalah antara lain: karakter, pesan, alur cerita.  Dengan demikian, kita perlu dapat membedakan material kurikuler dengan pengetahuan, dan selanjutnya memahami pengetahuan lebih lanjut, memahami strukturnya.
(3)  Menentukan sub-sub-komponen dari tiap komponen pengetahuan, atau perincian lebih lanjut dari langkah 2, disebut juga AMP (analisis materi pelajaran).  AMP dilakukan dengan dua cara: cara pakar dan cara pelajar. 
                Cara pakar dilakukan oleh pakar dalam sebuah lapangan ilmu atau pekerjaan, yang dilakukan dengan menurunkan sub-sub komponen dari sebuah komponen.  Ini adalah cara deduksi.  Cara pelajar adalah cara yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang tidak terdidik khusus dalam sebuah lapangan ilmu atau pekerjaan.  Cara ini dilakukan dengan mempelajari buku siswa, sebanyak mungkin, dan buku akademik dalam lapangan ilmu yang relevan.  Dengan cara seperti ini seseorang dapat menentukan sub-sub-komponen yang tercakup dalam sebuah komponen pengetahuan.
                Perlu diketahui bahwa AMP dikerjakan guru pada tahapan penyusunan silabus, dan bukan pada tahapan penyusunan RPP.  (Berdasarkan hal ini, mahasiswa yang akan bimbingan sebuah RPP, harus menyertakan juga silabusnya.)  Dari AMP terhadap KD IPS di atas, dapat saja dihasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berikut:
Tabel 5  Perincian Bahan Ajar
Peta lingkungan:
·   Kota
·   kabupaten
·   ibu kota
·   kota pelajar
·   gunung
·   bukit
·   dataran tinggi
·   dataran rendah
·   sungai
·   anak sungai
·   danau
·   waduk
·   jalan raya
·   jalan kereta api
·   bandara
·   pelabuhan
·   perkebunan
·   hutan industri
·   hutan lindung
·   daerah industri
·   pertambangan
Skala ukur
·   konsep skala ukur untuk peta
§ ………………..
§ ………………..
§ ………………..

                Masalah yang segera muncul: Apa semua materi pengetahuan tersebut harus diajarkan di kelas? Ini karena menurut KD-nya, pengetahuan tersebut mengenai kota/kabupaten dan provinsi; kota/kabupaten di Jawa Barat jumlahnya ada dua puluhan lebih.   Jawabannya: bisa semua atau bisa sebagian.  Untuk mengetahuai jawabannya yang relatif pasti, kita harus membuat silabus, yang didalamnya sudah mempertimbangkan Kalender Pendidikan di suatu SD.
(4) Menentukan proses kognitif dan afektif yang relevan dengan: (1) tipe pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan yang dirinci dalam langkah 3; (2) SK-KD-nya; (3) tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; (4) waktu yang tersedia; dan (5) konteks-konteks lingkungan fisik dan sosial yang ada.  Langkah 4 (1) adalah mengenai tipe pengetahuan; dalam KD tersebut semua material pengetahuannya adalah tipe Pengetahuan faktual, kecuali skala ukur yang adalah Pengetahuan prosedural.  Tentang tipe-tipe pengetahuan ini, disajikan secara khusus pada bagian berikut.  Guru harus memahami tipe-tipe pengetahuan ini, karena berkaitan dengan proses-proses kognitif yang relevan, juga karena guru harus mengupayakan peningkatan pedagogis dari tipe pengetahuan yang ada.  Misalnya, terhadap tipe Pengetahuan faktual, pembelajarannya tidak selamanya harus Mengingat.  Contohnya:
Tabel 6  Peningkatan Pedagogis Pengetahuan
Proses Kognitif:
Indikator Capaian Kompetensi:
Tipe Pengetahuan:
Mengingat ulang
(C1 Mengingat)
Mampu mengingat-ulang kata-kata yang terdapat dalam rumus untuk hukum Ohm
Pengetahuan factual
Menginterpretasi (C2  Memahami)
Mampu mendefinisikan istilah-istilah kunci dengan kata-kata sendiri.
Pengetahuan faktual yang sama
  
                Langkah 4 (2) adalah memahami SK-KD dengan bantuan teori-teori proses kognitif dari Taksonomi Bloom Terevisi (TBT).  SK-nya: Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi.  Kata kerja dalam KD ini adalah Memahami.  SK-nya: Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan menggunakan skala sederhana.   Kata kerjanya adalah Membaca dengan menggunakan skala sederhana.  Membaca di sini tidak sama dengan Membaca-paham seperti yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia; meskipun SK-nya Memahami.  Dalam kasus KD ini, Membaca dengan menggunakan skala sederhana, proses kognitif yang dituntutnya adalah Menerapkan atau Mengaplikasikan, posisinya lebih dari sekedar Memahami.  KD ini menuntut siswa mampu menggunakan skala untuk membaca peta.  Banyak guru di SD, dan calon gurunya, tidak membaca SK-KD ini dengan tepat.
                Langkah 4 (3), (4), dan (5) , adalah menentukan proses-proses kognitif dan afektif yang sesuai dengan tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; waktu yang tersedia; dan konteks-konteks lingkungan fisik dan sosial yang ada.  Langkah 3 ini dilakukan baik pada tahapan penyusunan RPP maupun implementasinya di kelas, bergantung pada pemahaman guru tentang tingkat perkembangan anak secara kognitif, sosial, dan moral.  Tentang tingkat perkembangan kognitif, teori perkembangan Piaget banyak membantu.  Hanya saja di sini kadang-kadang muncul “mitos” bahwa anak SD kognisinya hanya sampai tahapan Menerapkan/Mengaplikasikan, belum sampai ke Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mengkreasi.  Penulis menyebutnya mitos, karena kejelasan teoritis dan empirisnya masih samar.  Bruner ada mengemukakan sebuah ilustrasi anak prasekolah yang menggunakan kalimat, ternyata anak-anak ini sudah menguasai secara kognitif pada tingkatan tertentu konsep-konsep Subjek-Predikat-Objek yang adalah struktur tata bahasa.  Juga, anak-anak kelas bawah SD belajar konsep-konsep dan operasi-operasi mental matematis; memang dengan bantuan didaktis berupa media dan alat peraga. Jadi, menurut penulis, dalam hal ini, yang penting adalah bagaimana guru dapat merancang (dan mengimplementasikannya) bantuan pedagogis agar tingkatan-tingkatan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai.  Jadi, hal ini adalah wilayah pengemasan materi pelajaran (SSP atau PCK).
                Mengenai minat dan kebutuhan siswa, guru harus mampu mengemas materi agar sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.  Minat dan kebutuhan siswa bergantung pada tingkat dan tugas-tugas perkembangan siswa.  Karena itu, disamping Piaget yang fokus pada perkembangan kognitif, guru harus memahami tingkat dan tugas perkembangan pada dimensi lainnya.
                Proses kognitif dan afektif yang disediakan di kelas harus sesuai dengan waktu yang tersedia.  Ini dapat terjawab jika guru membuat silabus.  Adapun proses kognitif dan afektif harus sesuai dengan lingkungan fisik dan sosial yang tersedia, adalah bagian dari prinsip CTL (contextual teaching and learning) yang merupakan tuntutan dari pendekatan kompetensi dalam pendidikan.  Dalam Standar Isi, konteks yang demikian sering tidak terbaca.  Untuk membacanya guru harus cerdas dan banyak pengetahuan.  Dalam sebuah diskusi dengan para mahasiswa penulis, penulis mengusulkan agar pengetahuan tentang tanah/lahan di kota dimasukkan kedalam bahan ajar, tujuannya agar anak menyadari bahwa tanah/lahan di kota termasuk SDA penting.  Di kota orang miskin tergeser ke wilayah pinggiran, salah satu sebabnya adalah kesadaran mereka akan tanah masih rendah dan fasilitasi dari pemerintah dan perbankan hampir tidak ada.  Inilah konteks lingkungan fisik dan sosial yang tidak ditulis di buku-buku ajar SD yang bebas nilai.
(5) Menuliskannya sesuai dengan struktur kognitif yang dipaparkan pada bagian berikut ini.  Langkah ini dikaji khusus dalam bagian mengenai ICK (Indikator Capaian Kompetensi). 
C.   Struktur umum ICK
Indikator capaian kompetensi (ICK) untuk lapisan kognitif sudah dirumuskan oleh Anderson dkk. (2001) dalam bukunya, A Taxonomy for Learnig, Teaching, and Assessing, A revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.  Buku ini sama seperti buku Bloom yang pertama, mengenai taksonomi tujuan pendidikan kognitif.  Dalam buku ini, untuk yang kognitif, ICK memiliki struktur sebagaimana disajikan dalam diagram ini, dan dalam perbandingan Bloom terevisi (Anderson dkk, 2001) dengan Bloom awal.

Bloom awal
Bloom terevisi
 
      
                                          Diagram 6  Struktur Umum ICK Kognitif
                ICK untuk pendidikan  afektif, penulis menyarankan sebagaimana tergambar dalam diagram di bawah ini.
      
         Diagram 7   Struktur Umum ICK Afektif

Contoh-contoh:
Tabel 7  Contoh-contoh ICK
Menyimpulkan
Manfaat tulang dahi
ICK Kognitif
Verba: Proses Kognitif
Kata Benda: Pengetahuan
Mengapresiasi
tubuh manusia sebagai ciptaan dengan segala bagian dan susunannya yang canggih
ICK Afektif
Verba: Proses Afektif
Kata Benda: pengetahuan
Biasa menghemat
penggunaan SDA di rumah setiap hari
ICK Afektif
Verba: Proses Afektif
Kata Benda: pengetahuan
Mengelompokkan
benda-benda di sekitar sekolah ke dalam benda padat, cair, dan gas.
ICK Kognitif
Verba: Proses Kognitif
Kata Benda: Pengetahuan



















III.   ICK Kognitif
Dalam buku Bloom terevisi ICK ini disebut tujuan pendidikan.  Menurut penulis ini adalah ICK; dan untuk selanjutnya penulis akan menyebutnya sebagai ICK.  ICK sebagaimana dikemukakan di atas, strukturnya terbentuk oleh dua komponen pokok: verba dan kata benda.  Verba untuk ICK kognitif adalah proses kognitif.  Proses kognitif terdiri atas sejumlah (dimensi atau) kategori dan subkategori.   Adapun kata bendanya, adalah pengetahuan.  Pengetahuan terdiri atas sejumlah (dimensi atau) kategori.
                Akan tetapi sebelum bahasan ini berlanjut, perlu dibahas dulu secara ringkas hubungan antara ICK dengan Tujuan Pembelajaran yang hampir selalu terdapat dalam banyak RPP.  Jika ICK strukturnya terbentuk oleh verba dan kata benda, maka Tujuan Pembelajaran memiliki struktur ABCD.  ABCD ini sudah ada dalam RPP sejak Kurikulum 1975, landasan teorinya utamanya adalah behaviorisme.  ICK kognitif dari Taksonomi Bloom Terevisi (TBT) sudah mengadopsi psikologi kognitif dan konstruktivis.  Juga, implementasi behaviorisme secara ketat dapat mematikan/menghambat  ekspresi-ekspresi pedagogis.  Sebuah contoh, pengalaman beriman kepada malaikat, akan ditolak oleh sistem pembelajaran dan sistem asesmen behaviorisme. 
                Penulis menganjurkan pemanfaatan TBT untuk ICK kognitif.  Karena itu rumus ABCD untuk tujuan pembelajaran berubah menjadi ACpCD.
                           Table 8   Contoh Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan simulasi dan diskusi dengan guru,
siswa
dapat menyimpulkan
sebuah kegunaan tulang pelipis
C: condition
A: audience
Cp: cognitive process
D: degree

                Perhatikan contoh tujuan pembelajaran di atas, menggunakan rumus ACpCD. 
·         A adalah audience, dalam hal ini adalah siswa. 
·         Cp adalah cognitive process atau proses kognitif yang diharapkan mampu dilakukan siswa (hasil belajar), yaitu menyimpulkan atau proses membuat pernyataan lain yang konsisten dengan informasi yang tersedia. 
·         C adalah condition atau persyaratan yang harus dipenuhi siswa agar Cp tercapai.  Dengan kata lain, condition adalah pengalaman pembelajaran (learning experiences) yang harus diterima siswa agar Cp tercapai. 
·         D adalah degree atau derajad atau tingkat penguasaan siswa terhadap isi pelajaran.  Dalam hal ini tingkat yang dituntut oleh guru adalah sebuah kegunaan tulang pelipis. 
A.   Dimensi dan Subdimensi Pengetahuan
Setelah pengkajian berbagai fakta spesifik tentang tipe-tipe pengetahuan, khususnya perkembangan-perkembangan psikologi kognitif yang telah terjadi sejak penyusunan karya pertama kerangka-kerja ini, Anderson dkk. (2001) berketetapan dengan empat tipe umum pengetahuan: Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif. Tabel 3.2 mengikhtisarkan keempat tipe utama pengetahuan dan subtipe-subtipenya.
                Pengetahuan faktual adalah pengetahuan lainan (discrete), unsur-unsur isi yang terisolasi—“keping-keping informasi”. Ia mencakup pengetahuan terminologi dan pengetahuan rincian dan unsur spesifik.
                Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan tentang “bentuk-bentuk pengetahuan terorganisasi, lebih kompleks”.  Ia mencakup pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, prinsip dan generalisasi, dan teori, model, dan struktur.
                Pengetahuan prosedural adalah “pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu”.  Ia mencakup pengetahuan tentang keterampilan-keterampilan, logaritme, teknik dan metode, juga pengetahuan tentang kriteria yang digunakan untuk menetukan dan/atau menjustifikasi “kapan melakukan apa” dalam ranah-ranah spesifik dan disiplin-disiplin.
                Pengetahuan metakognitif adalah “pengetahuan tentang kognisi pada umumnya juga kesadaran akan dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri”.  Ia mencakup pengetahuan strategis; pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, mencakup pengetahuan kontekstual dan kondisional; dan pengetahuan-diri. 
Table 9  Tipe-tipe Utama Dimensi Pengetahuan dan Sub-subnya

TIPE-TIPE UTAMA DAN SUB-SUB TIPE

CONTOH-CONTOH

A.  PENGETAHUAN FAKTUAL—Unsur-unsur dasariah yang para siswa harus ketahui agar
       memahami sebuah disiplin atau memecahkan masalah di dalamnya

A.1  Pengetahuan tentang Terminologi


Kosa kata teknis, simbol-simbol  musik

A.2  Pengetahuan tentang rincian dan
         unsur spesifik
Sumber-sumber alami yang utama, sumber-sumber informasi yang reliabel


B.  Pengetahuan Konseptual—Saling-perhubungan antarunsur dasariah dalam sebuah struktur 
      besar yang membuat mereka berfungsi secara bersamaan

B.1  Pengetahuan tentang Klasifikasi
         dan Kategori


Periode-periode waktu geologis, bentuk-bentuk kepemilikan bisnis
B.2  Pengetahuan tentang Prinsip dan
         Generalisasi


Teorema Pithagorean, hukum supply and demand
B.3  Pengetahuan tentang Teori, Model,  
         dan  Struktur
Teori evolusi, struktur Konggres Amerika Serikat



C.  Pengetahuan Prosedural—Bagaimana melakukan sesuatu, metode-metode inquiri, dan kriteria 
      untuk penggunaan keterampilan, algoritma, teknik-teknik, dan metode-metode

C.1  Pengetahuan tentang Subject-
        specific Skill dan algoritma


Keterampilan-keterampilan yang digunakan dalam melukis dengan watercolors, whole number division algorithm

C.2  Pengetahuan tentang Subject-
         specific  Techniques dan metode-
         metode
Teknik-teknik interviu, metode ilmiah


C.3  Pengetahuan tentang Kriteria
         untuk menentukan kapan
         menggunakan prosedur-prosedur
         yang sesuai
Kriteria yang digunakan untuk menentukan kapan menerapkan sebuah prosedur yang melibatkan hukum Newton kedua, kriteria yang digunakan untuk men-judge  kelayakan penggunaan sebuah metode tertentu untuk mengestimasi biaya-biaya bisnis

D.  Pengetahuan Metakognitif—Pengetahuan kognisi pada umumnya juga kesadaran dan
      pengetahuan tentang kognisi yang dimiliki diri sendiri

D.1  Pengetahuan Strategik


Pengetahuan tentang kerangka sebagai sebuah sarana penangkapan struktur dari sebuah unit materi ajar dalam sebuah buku ajar, pengetahuan tentang penggunaan heuristics

D.2  Pengetahuan tentang Tugas-tugas
         Kognitif, mencakup pengetahuan
          kondisional dan  kontekstual yang
          sesuai
Pengetahuan tentang tipe-tipe tes yang digunakan para guru, pengetahuan tentang tuntutan-tuntutan kognitif dan tugas-tugas kognitif

D.3  Pengetahuan Diri
Pengetahuan bahwa pengeritikan esai-esai adalah sebuah kekuatan pribadi, sedangkan penulisan esai-esai adalah sebuah kelemahan pribadi; kesadaran tentang tingkat pengetahuan yang dimiliki diri sendiri
(Sumber: Anderson at al, 2001: 67-68)

B.   Kategori-kategori Dimensi Proses Kognitif
Dalam bagian berikut ini akan didefinisikan proses-proses dalam masing-masing dari enam kategori secara rinci, membandingkannya dengan proses-proses kognitif lainnya, kita memungkinkan.  Juga, disajikan contoh tujuan-tujuan pendidikan (ICK) dan asesmen dalam berbagai mata ajar dan versi-versi alternatif tugas asesmen.  Masing-masing tujuan ilustratif dalam material berikut hendaknya dibaca sebagai didahului oleh frasa “Siswa mampu/dapat . . . “ atau “Siswa belajar . . .”.
Table 10  Dimensi Proses Kognitif
KATEGORI-KATEGORI & PROSES-PROSES KOGNITIF
NAMA-NAMA
ALTERNATIF
DEFINISI-DEFINISI DAN CONTOH-CONTOH

1.  MENGINGAT—Mencari dan menemukan pengetahuan dari memori jangka-panjang

1.1  Mengenali ulang





Mengidentifikasi





Menentukan pengetahuan dalam memori jangka-panjang yang konsisten dengan material yang tersaji (yakni, Mengenali tahun-tahun dari kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia)
1.2  Mengingat ulang
Mencari-temu
Mencari-temu pengetahuan relevan dari memori jangka-panjang (yakni, Mengingat ulang tahun-tahun kejadian penting dalam sejarah Indonesia)
2.  Memahami—Mengkonstruksi makna dari pesan-pesan instruksional, mencakup
      komunikasi lisan, tertulis, dan grafis

2.1  Menginterpretasi
         (Menafsir)


Klarifikasi, paraphrasing, menyajikan-ulang, translasi
Mengubah sebuah bentuk sajian (yakni, sajian numerik) ke bentuk lainnya (yakni, sajian verbal) (yakni, Mem-paraphrase-kan pembicaraan-pembicaraan dan dokumen-dokumen penting)
2.2  Mengeksemplifikasi
         (Menyontohkan)



Mengilustrasikan, mencontohkan

Menemukan sebuah contoh spesifik atau ilustrasi dari sebuah konsep atau prinsip (yakni, Memberi contoh-contoh berbagai gaya lukisan artistik yang penting)
2.3  Mengklasifikasi




Kategorisasi, subsuming



Menentukan bahwa sesuatu termasuk kedalam sebuah kategori (yakni, konsep atau prinsip) (yakni, Mengklasifikasi kasus-kasus nirtatanan mental yang terobservasi atau terdeskripsikan)

2.4  Summarizing
        (Mengikhtisarkan)

Mengabstraksi, generalisasi

Mengabstraksi sebuah tema umum atau poin-poin pokok (yakni, Menulis sebuah summary ringkas tentang kejadian-kejadian yang tersaji pada sebuah videotape)
2.5  Menyimpulkan




Menyimpulkan, mengekstrapolasi, menginterpolasi, memprediksi
Menggambarkan sebuah simpulan logis dari informasi yang tersaji (yakni, Dalam pembelajaran bahasa asing, menyimpulkan prinsip-prinsip gramatis dari contoh-contoh)
2.6  Membandingkan


Mengkontraskan, memetakan, memadankan

Mendeteksi korespondensi antara dua ide, objek, dan lain-lain (yakni, Membandingkan kejadian-kejadian historis dengan situasi-situasi kontemporer)
2.7  Menjelaskan,
        mengeksplanasi
Mengkonstruksi model-model
Mengkonstruksi sebuah model sebab-akibat dari sebuah sistem (yakni, Menjelaskan sebab-sebab dari pentingnya kejadian-kejadian abad ke-18 di Perancis)

3.  Mengaplikasi/Menerapkan—Melaksanakan atau menggunakan sebuah prosedur dalam sebuah  
      situasi yang ada
3.1  Mengeksekusi




Melaksanakan



Mengaplikasikan sebuah prosedur ke sebuah tugas akrab (yakni, Membagi sebuah bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya, keduanya melibatkan bilangan bulat lebih dari satu digits)
3.2 Mengimplementasikan
Menggunakan
Mengaplikasikan sebuah prosedur ke sebuah tugas tak-akrab (yakni, Menggunakan Hukum Kedua Newton dalam situasi-situasi yang sesuai dengannya)


4.  Menganalisis—Menguraikan material menjadi bagian-bagian pembentuknya dan
      menentukan bagaimana bagian-bagian ini saling berkaitan dan dengan struktur
      totalnya atau tujuannya

4.1  Membeda-
        bedakan






Diskriminasi, membedakan, memfokuskan, memilih




Membedakan bagian yang relevan dan yang tak-relevan atau yang penting dan yang tak-penting dari material yang tersaji (yakni, Membedakan antara bilangan-bilangan yang relevan dan yang                tak-relevan dalam dalam sebuah masalah kata-kata matematis (a mathematical word problem) 


4.2  Mengorganisasi





Menemukan koherensi, mengintegrasikan, menyusun kerangka, parsing, menstrukturkan
Menentukan bagaimana unsur-unsur sesuai atau berfungsi dalam sebuah struktur (yakni, Menstrukturkan evidensi dalam sebuah deskripsi historis menjadi evidensi untuk dan menentang sebuah eksplanasi historis)


4.3  Mengatribusi
Mendekonstruksi
Menentukan sebuah titik pandang, bias, nilai-nilai, atau maksud yang mendasari material yang tersaji (yakni, Menentukan titik pandang pengarang sebuah esai dalam kaitannya dengan perspektif politisnya)

5.  Mengevaluasi—Membuat judgement didasarkan atas kriteria dan standar


5.1  Mengecek






Mengkoordinasi, mendeteksi, memantau, mentes





Mendeteksi inkonsistensi atau kekeliruan dalam sebuah proses atau produk; menentukan apakah sebuah proses atau produk memiliki konsistensi internal; mendeteksi efektivitas sebuah prosedur ketika ia diimplementasikan (yakni, Menentukan apakah simpulan-simpulan seorang ilmuwan berdasarkan data yang terobservasi)

5.2  Mengkritik
Men-judge
Mendeteksi inkonsistensi antara sebuah produk dengan kriteria eksternal, menentukan apakah sebuah produk memiliki konsistensi eksternal; mendeteksi kesesuaian sebuah prosedur untuk sebuah masalah yang ada (yakni, Men-judge metode yang mana dari dua metode yang ada yang bersifat terbaik untuk memecahkan sebuah masalah yang ada)

6.  Mengkreasi—Menyusun unsur-unsur secara bersamaan untuk membentuk sebuah
      keseluruhan yang koheren atau fungsional; mereorganisasi unsur-unsur menjadi
      sebuah pola atau struktur baru

6.1  Generate 
        (Memunculkan)



Menghipotesiskan




Memunculkan hipotesis-hipotesis alternatif didasarkan atas kriteria (yakni, Men-generate hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan sebuah fenomena yang terobservasi)

6.2  Merencanakan


Mendisain


Menggawaikan sebuah prosedur untuk menyelesaikan suatu tugas (yakni, Merencanakan sebuah research paper tentang sebuah topik historis yang ada)

6.3  Memproduksi
Mengkonstruksi
Menciptakan sebuah produk (yakni, Membangun lingkungan buatan untuk sebuah kepentingan spesifik)





 (Sumber: Anderson at al, 2001: 67-68)

1.   MENGINGAT (REMEMBER)
Ketika tujuan pengajaran adalah mempromosikan penyimpanan material yang tersaji dalam bentuk yang sangat sama dengan ketika ia diajarkan, kategori proses yang relevannya adalah Mengingat.  Pengingatan melibatkan pencari-temuan pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang.  Dua proses kognitifnya yang terkait adalah pengenalan-ulang dan pengingatan-ulang.  Pengetahuan yang relevan dengan pengingatan adalah Faktual, Konseptual, Prosedural, atau Metakognitif, atau suatu kombinasi dari hal-hal ini. 
                Untuk meng-ases pembelajaran siswa dalam kategori proses yang paling sederhana ini, siswa diberi tugas mengenali-ulang atau mengingat-ulang di bawah kondisi yang sangat sama dengan ketika ia mempelajari material ajarnya.  Perluasan yang melampaui kondisi ini, diharapkan terbatas.  Misalnya, jika seorang siswa sudah mempelajari padanan bahasa Indonesia untuk 20 kata Inggris, maka tes pengingatannya akan melibatkan permintaan kepada siswa untuk untuk memadankan kata-kata Inggris dalam kolom pertama dengan kata-kata bahasa Indonesia pada kolom ke dua (yakni, mengenali ulang) atau menuliskan kata-kata bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kata-kata Inggris yang tersedia (yakni, mengingat-ulang).
                Rote learning adalah ketika siswa diminta hanya mengingat pengetahuan.  Tetapi meaningful learning terjadi ketika pengingatan pengetahuan adalah bagian terpadu dari tugas yang lebih luas untuk pengkonstruksian pengetahuan baru atau pemecahan masalah baru.
1.1   MENGENALI-ULANG
Pengenalan-ulang melibatkan pencaritemuan pengetahuan relevan dari memori jangka panjang dalam rangka membandingkannya dengan informasi yang tersaji.  Dalam pengenalan-ulang, siswa mencari dalam memori jangka panjangnya sekeping informasi yang identik atau sangat sama dengan informasi yang tersaji (sebagaimana tersaji dalam memori kerja).  Ketika disuguhi informasi baru, siswa menentukan apakah informasi ini berhubungan dengan pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya, pencarian padanan.  Istilah alternatif untuk pengenalan-ulang adalah pengidentifikasian.
Contoh Tujuan dan Asesmen yang sesuai    Dalam IPS, sebuah tujuan pembelajarannya bisa jadi siswa harus mengenali-ulang tanggal-tanggal kejadian penting dalam sejarah Indonesia.  Item tesnya yang sesuai adalah: “Benar atau Salah: Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945”.  Dalam pelajaran Sastra Indonesia, salah satu tuannya dapat berupa siswa harus mengenali-ulang penulis-penulis dari karya sastra Indonesia.  Asesmennya yang sesuai adalah tes menjodohkan yang terdiri atas sebuah daftar sepuluh pengarang (mencakup Asrul Sani) dan sebuah daftar lebih sedikit dari sepuluh novel (mencakup Benyamin S.).  Dalam matematika, tujuannya bisa jadi agar siswa dapat mengenali-ulang jumlah sisi bentuk-bentuk geometri.  Asesmennya yang sesuai adalah suatu tes pilihan-ganda dengan item-item sebagai berikut: “Berapa banyak sisi yang dimiliki sebuah pentagon?  (a) empat, (b) lima, (c) enam, (d) tujuh.
Format Asesmen    Sebagaimana diilustrasikan di atas, tiga metode utama penyajian suatu tugas pengenalan-ulang untuk kepentingan asesmen adalah verifikasi, menjodohkan, dan pilihan tertentu.  Dalam tugas-tugas verifikasi, siswa diberi suatu informasi dan harus memilih apakah ia benar atau salah.  Format benar-salah adalah contoh yang paling umum.  Dalam menjodohkan, dua daftar disajikan, dan siswa harus memilih bagaimana masing-masing item dalam sebuah daftar berkesesuaian dengan sebuah item dalam daftar lainnya.  Dalam tugas-tugas pilihan tertentu, siswa diberi sebuah petunjuk yang disertai dengan beberapa jawaban yang mungkin dan harus memilih jawaban yang mana yang tepat atau “jawaban terbaik”.   Pilihan-ganda adalah formatnya yang paling umum.


1.2   MENGINGAT-ULANG
Pengingatan-ulang melibatkan pencaritemuan pengetahuan relevan dari memori jangka panjang ketika diberi petunjuk untuk melakukannya.  Petunjuknya sering berupa sebuah sebuah pertanyaan.  Dengan pengingatan-ulang, seorang siswa mencari sekeping informasi dari memori jangka panjang dan membawa informasi ini kedalam memori kerja untuk dapat diproses.  Sebuah istilah alternatif untuk pengingatan-ulang adalah pencaritemuan.
Contoh Tujuan dan Asesmen yang sesuai    Dalam mengingat-ulang, seorang siswa mengingat informasi yang sebelumnya sudah dipelajari ketika diberi sebuah petunjuk.  Dalam IPS, salah satu tujuannya dapat berupa siswa harus mengingat-ulang ekspor-ekspor utama pulau Sumatera.  Sebuah item tesnya yang sesuai adalah “Apa ekspor utama Palembang?”  Dalam pembelajaran sastra Indonesia, tujuannya dapat berbentuk agar siswa mampu mengingat-ulang sejumlah penyair yang menulis berbagai puisi.  Sebuah pertanyaan tesnya yang sesuai adalah “Siapa yang menulis Rembulan Di Atas Kuburan?”  Dalam matematika, tujuannya dapat berbentuk mengingat-ulang fakta-fakta perkalian bilangan bulat.  Sebuah item tesnya meminta siswa memperkalikan 7 X 8 (atau “7 X 8 = ?”).
              Format asesmen    Tugas-tugas asesmen untuk pengingatan-ulang dapat berbeda-beda dalam jumlah dan kualitas petunjuk yang disediakan untuk siswa.  Dengan petunjuk rendah, siswa tidak diberi petunjuk atau informasi relevan apapun (seperti “Apa satu meter itu?”).  Dengan petunjuk tinggi, siswa diberi beberapa petunjuk (seperti “dalam sistem pengukuran, satu meter adalah sebuah ukuran mengenai __________________”.).
                Tugas-tugas asesmen dapat juga berbeda-beda dalam jumlah  atau tingkat ketertanaman item-item ditempatkan dalam suatu konteks makna yang lebih luas.  Dengan ketertanaman rendah, tugas pengingatan-ulang disajikan sebagai sebuah hal tunggal, terisolasi, seperti dalam contoh-contoh di atas.  Dengan ketertanaman tinggi, tugas pengingatan-ulang tercakup dalam konteks suatu masalah yang lebih luas, seperti meminta seorang siswa mengingat formula untuk  sebuah bidang dari sebuah lingkaran ketika memecahkan sebuah masalah kata yang mempersyaratkan formula tersebut.

2.   MEMAHAMI
Sebagaimana sudah ditunjukkan, ketika tujuan utama pengajaran adalah mempromosikan penyimpanan, fokusnya adalah pada tujuan yang menekankan Mengingat.  Ketika tujuan pengajaran mempromosikan transfer, bagaimanapun, fokusnya beralih ke lima proses kognitif lainnya, Memahami hingga Kreasi.  Mengenai hal-hal ini, dapat dipahami jika kategori terbesar dari tujuan-tujuan pendidikan berbasis-transfer yang ditekankan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas adalah Memahami.  Para siswa dikatakan Memahami ketika mereka mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan instruksional, mencakup pesan oral, tertulis, dan grafis, bagaimanapun semua pesan ini disajikan pada siswa: selama ceramah-ceramah, dalam buku-buku, atau pada monitor-monitor komputer.  Contoh-contoh dari pesan-pesan instruksional potensial mencakup suatu demonstrasi fisika di kelas, formasi geologis yang tampak dalam suatu karya-wisata, suatu simulasi komputer tentang suatu perjalanan mengelilingi sebuah musium seni, dan suatu karya musik yang dimainkan oleh sebuah orkestra, sebagaimana juga halnya dengan representasi-representasi verbal, gambar, dan simbolik pada kertas.
                Para siswa memahami ketika mereka membangun koneksi antara pengetahuan “baru” yang akan diperoleh dengan pengetahuan mereka sebelumnya.  Secara lebih spesifik, pengetahuan yang masuk diintegrasikan dengan skema-skema dan kerangka-kerangka-kerja yang ada.  Karena konsep-konsep adalah semacam batu-bata untuk skema-skema dan kerangka-kerangka-kerja ini, Pengetahuan Konseptual menyediakan sebuah pangkalan untuk pemahaman.  Proses-proses kognitif dalam kategori Memahami  mencakup interpretasi, eksemplifikasi (pencontohan), klasifikasi, summarizing, penyimpulan, pembandingan, dan eksplanasi.   
2.1   MENGINTERPRETASI
Penginterpretasian terjadi ketika seorang siswa dapat mengubah informasi dari sebuah bentuk representasi (gambaran, wakilan) ke bentuk lainnya.  Interpretasi dapat melibatkan pengubahan kata-kata ke kata-kata lainnya (yakni, paraphrasing), gambar-gambar ke kata-kata, kata-kata ke gambar-gambar, angka-angka ke kata-kata, kata-kata ke angka-angka, notasi-notasi musik ke nada-nada, dan yang sejenis.
                Istilah-istilah alternatifnya adalah translasi (menerjemahkan, mengalihbentukkan), paraphrasing (menyatakan dengan kata-kata lain, khususnya secara singkat), representasi (menggambarkan), dan klarifikasi (menerangkan, membuat menjadi terang).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam penginterpretasian, ketika diberi informasi dalam sebuah bentuk representasi, seorang siswa dapat mengubahnya ke bentuk lain.  Dalam IPS, misalnya, salah satu tujuannya agar siswa dapat menyatakan dengan kata-kata sendiri atau secara singkat pidato-pidato dan dokumen-dokumen penting dari periode sejarah sekitar menjelang kemerdekaan RI.  Salah satu asesmen yang sesuai adalah meminta seorang siswa membuat pernyataan secara singkat atau dengan kata-kata sendiri sebuah pidato terkenal, seperti pidato Ir. Soekarno dalam sidang PPKI.  Dalam IPA, sebuah tujuannya dapat agar siswa mampu merepresentasikan dengan gambar tentang berbagai fenomena alam.  Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa menggambar sebuah rangkaian diagram-diagram yang mengilustrasikan foto sintesis.  Dalam matematika, contoh tujuannya agar siswa mampu mengalihbentukkan kalimat-kalimat bilangan dalam kata-kata kedalam persamaan aljabar yang diungkapkan dalam simbol-simbol.  Sebuah itemasesmennya yang sesuai meminta seorang siswa menuliskan sebuah persamaan (menggunakan B untuk jumlah anak laki-laki dan G untuk jumlah anak perempuan) yang sesuai dengan pernyataan “Ada dua kali lebih banyak anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki di kelas ini”.
FORMAT ASESMEN    Format-format item tes yang sesuai mencakup baik respon yang sudah terkonstruksi (yakni, berikanlah sebuah jawaban) dan respon terpilih (yakni, pilih sebuah jawaban).  Informasi disajikan dalam sebuah bentuk, dan para siswa diminta apakah mengkonstruksi atau memilih informasi yang sama dalam sebuah bentuk yang berbeda.  Misalnya, sebuah tugas dengan respon terkonstruksi adalah: “Tuliskan sebuah persamaan yang sesuai dengan pernyataan berikut, gunakanlah T untuk biaya total dan K untuk jumlah kilo-graman.  Biaya total pengiriman sebuah paket adalah Rp. 2.000,00 untuk satu kilo-gram pertama ditambah masing-masing Rp. 1.500,00 per kilo-gram untuk tambahan berikutnya.  Sebuah versi pemilihan mengenai tugas ini adalah:
“Persamaan mana yang sesuai dengan pernyataan berikut, dimana T mewakili biaya total dan K untuk jumlah kilo-graman?  Biaya total pengiriman sebuah paket adalah Rp. 2.000,00 untuk satu kilogram pertama ditambah Rp. 1.500,00 untuk tiap satu kilogram tambahannya. 
(a) T = Rp. 3.500 + P
(b) T = Rp. 2.000,00 + Rp. 1.500,00
(c) T = Rp. 2.000,00 + Rp. 1.500,00(P-1)
                Untuk meningkatkan peluang bahwa yang diases adalah penginterpretasian ketimbang hanya pengingatan, informasi yang disertakan dalam asesmen harus bersifat baru.  “Baru” di sini artinya bahwa para siswa tidak pernah menjumpainya selama pengajaran.  Jika aturan ini tidak dipatuhi, kita tidak dapat memastikan bahwa yang kita ases adalah penginterpretasian, dan bukan pengingatan.  Jika tugas asesmen adalah identik dengan sebuah tugas atau contoh yang digunakan selama pengajaran, kita barangkali meng-ases pengingatan.
                Aturan tersebut berlaku untuk semua kategori proses dan proses-proses kognitif yang bukan Mengingat.  Pada bagian berikutnya hal ini tidak akan diulang lagi.  Pembaca diharapkan dapat mengingat hal ini ke depan.  Jika tugas-tugas asesmen adalah untuk membidik proses-proses kognitif tingkat tinggi, mereka harus mempersyaratkan para siswa tidak bisa menjawab dengan benar jika dengan bertumpu pada memori belaka.
2.2   MENCONTOHKAN
Pencontohan atau pemberian contoh terjadi ketika seorang siswa memberikan sebuah contoh khusus dari sebuah konsep atau prinsip umum.  Pencontohan melibatkan pengidentifikasian ciri-ciri penentu dari konsep atau prinsip umum (yakni, segi tiga sama kaki harus memiliki dua sisi yang sama) dan menggunakan ciri-ciri ini untuk memilih atau mengkonstruksi sebuah contoh spesifik (yakni, menjadi mampu memilih segi-tiga sama sisi dari tiga segi-tiga yang disajikan).  Istilah alternatifnya adalah mengilustrasikan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam pencontohan, seorang siswa diberi sebuah konsep atau prinsip dan harus memilih atau menghasilkan sebuah contoh khusus yang tidak dijumpai selama pengajaran.  Dalam pendidikan kesenian, salah satu tujuannya adalah agar siswa dapat memberikan contoh-contoh berbagai gaya lukisan artistik.  Sebuah asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa memilih memilih gaya impresionistik dari empat lukisan yang tersedia.  Dalam IPA, sebuah tujuannya dapat agar siswa mampu memberikan contoh-contoh berbagai jenis senyawa kimia.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai meminta siswa menentukan sebuah senyawa inorganik dalam sebuah karya-wisata dan mengatakan mengapa ia adalah inorganik (yakni, menspesifikasi ciri-ciri penentunya).  Dalam pendidikan sastra, sebuah tujuan dapat agar siswa mampu mencontohkan berbagai genre drama.  Asesmennya dapat dengan cara memberi sketsa ringkas dari empat drama (hanya satu yang merupakan komedi romantik) dan meminta siswa menyebutkan drama yang adalah sebuah komedi romantik.
FORMAT-FORMAT ASESMEN    Tugas-tugas pencontohan dapat melibatkan format respon terkonstruksi—dalam mana siswa harus menciptakan sebuah contoh—atau format respon terpilih—dalam mana siswa harus memilih sebuah contoh dari sehimpunan contoh yang tersedia.  Contoh IPA, “Berikan sebuah senyawa inorganik dan katakan mengapa ia inorganik”, mempersyaratkan sebuah respon terkonstruksi.  Berbeda halnya, item “Yang mana dari senyawa-senyawa ini yang merupakan sebuah senyawa inorganik? (a) besi, (b) protein, (c) darah, (d) kompos” mempersyaratkan sebuah respon terpilih.
2.3   MENGKLASIFIKASI
Pengklasifikasian terjadi ketika seorang siswa mengenali-ulang bahwa sesuatu  (yakni sebuah contoh tertentu) termasuk atau menjadi milik sebuah kategori tertentu (yakni, konsep atau prinsip).  Pengklasifikasian melibatkan pendeteksian ciri-ciri atau pola-pola relevan yang “sesuai” dengan contoh spesifik dan konsep atau prinsip.  Pengklasifikasian  adalah sebuah proses pelengkap bagi pencontohan.  Jika pencontohan dimulai dengan sebuah konsep atau prinsip umum dan mempersyaratkan siswa untuk menemukan sebuah contoh khusus, pengklasifikasian dimulai dengan sebuah contoh khusus dan mempersyaratkan siswa menemukan sebuah konsep atau prinsip umum.  Istilah-istilah alternatifnya adalah pengkategorian, ketermasukan (subsuming), pengelompokkan, penghimpunan, dan penggolongan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam IPS, salah satu tujuannya agar siswa dapat mengklasifikasi kasus-kasus disorder mental yang sudah diobservasi atau sudah dideskripsikan.  Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa mengamati sebuah video tentang perilaku seseorang dengan penyakit mental dan kemudian menunjukkan disorder mental yang tampak.  Dalam IPA, salah satu tujuannya agar siswa dapat mengkategorikan spesies-spesies dari hewan-hewan prasejarah.  Sebuah asesmennya menyediakan sejumlah gambar hewan prasejarah dengan petunjuk untuk mengelompokkan mereka kedalam spesies-spesies yang sesuai.  Dalam matematika, sebuah tujuannya agar siswa dapat menentukan kategori-kategori untuk angka-angka yang tersedia.  Sebuah tugas asesmennya menyediakan sebuah contoh dan meminta seorang siswa melingkari semua angka dalam sebuah daftar berdasarkan kategori yang sesuai.
FORMAT ASESMEN    Dalam tugas-tugas respon terkonstruksi, seorang siswa diberi sebuah contoh dan harus memproduksi konsep atau prinsipnya yang terkait.  Dalam tugas-tugas respon terpilih, seorang siswa diberi sebuah contoh dan harus memilih konsep atau prinsipnya dari sebuah daftar.  Dalam tugas pemilahan, seorang siswa diberi sehimpunan kejadian dan harus menentukan yang mana yang termasuk kedalam sebuah kategori khusus, atau harus menempatkan masing-masing kejadian kedalam salah satu dari kategori-kategori yang tersedia.
2.4  MENGIKHTISARKAN    
Pengikhtisaran terjadi ketika seorang siswa memberikan sebuah pernyataan yang menggambarkan informasi tersaji atau abstraksi dari sebuah tema umum.  Pengikhtisaran melibatkan pengkonstruksian sebuah gambaran mengenai sebuah informasi, seperti arti dari sebuah adegan  dalam sebuah drama, dan mengabstraksi sebuah ikhtisar dari adegan tersebut, seperti penentuan sebuah tema atau butir-butir utama.  Istilah-istilah alternatifnya adalah pengeneralisasian, pengabstraksian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam pengikhtisaran, ketika disediakan informasi, seorang siswa memberikan sebuah ikhtisar atau abstraksi sebuah tema umum.  Sebuah contoh tujuan dalam pelajaran sejarah adalah agar siswa dapat menuliskan ikhtisar-ikhtisar singkat mengenai kejadian-kejadian yang disajikan melalui gambar-gambar.  Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa menonton sebuah videotape tentang Revolusi Perancis dan kemudian menulis sebuah ikhtisar singkat.  Sama halnya, sebuah contoh tujuan dalam IPA dapat agar siswa mampu belajar membuat ikhtisar tentang kontribusi-kontribusi utama para ilmuwan terkenal setelah membaca beberapa karya tulis mereka.  Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa membaca tulisan-tulisan terpilih tentang Charles Darwin dan mengikhtisarkan butir-butir pokoknya.  Dalam ilmu komputer, sebuah tujuannya dapat agar siswa belajar membuat ikhtisar tujuan-tujuan berbagai subroutines dalam sebuah program.  Sebuah item asesmennya yang sesuai menyajikan sebuah program dan meminta seorang siswa menulis sebuah kalimat yang mendeskripsikan sub-tujuan yang dicapai oleh masing-masing bagian dari program dalam keseluruhan program.
FORMAT ASESMEN    Tugas-tugas asesmen dapat disajikan dalam format respon terkonstruksi ataupun respon terpilih, melibatkan baik tema-tema ataupun ikhtisar-ikhtisar.  Tema bersifat lebih abstrak ketimbang ikhtisar.  Misalnya, dalam sebuah tugas respon terkonstruksi, siswa dapat diminta membaca sebuah bacaan tanpa judul tentang sejarah kerajaan Sriwijaya dan kemudian menuliskan judul yang sesuai untuk bacaan tersebut.  Dalam sebuah tugas dengan respon terpilih, seorang siswa dapat diminta membaca sebuah bacaan tentang sejarah kerajaan Sriwijaya dan kemudian memilih judul yang palin sesuai dari empat judul yang mungkin atau menyusun judul-judul ini secara berperingkat berdasarkan tingkat “kecocokannya” dengan isi bacaan.   
2.5  MENYIMPULKAN
Penyimpulan melibutkan penemuan suatu pola dalam suatu rangkaian contoh atau kejadian.  Penyimpulan terjadi ketika seorang siswa mampu mengabstraksi sebuah konsep  atau prinsip yang menjelaskan sehimpunan contoh atau kejadian dengan mendeskripsikan ciri-ciri relevan dari masing-masing kejadian dan, sangat penting adanya, mendeskripsikan perhubungan di antara mereka.  Misalnya, ketika diberi serangkaian bilangan seperti 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, seorang siswa mampu fokus pada nilai numerik dari masing-masing digit ketimbang pada ciri-ciri tak-relevan seperti bentuk dari masing-masing digit atau apakah masing-masing digit adalah bilangan genap atau ganjil.  Ia kemudian mampu membedakan pola dalam rangkaian bilangan-biliangan tersebut (yakni, setelah dua bilangan pertama, masing-masingnya adalah jumlah dari dua bilangan yang mendahuluinya).
                Proses penyimpulan melibatkan pembuatan perbandingan dari kejadian-kejadian dalam konteks keseluruhannya.  Misalnya, menentukan bilangan apa yang akan muncul dalam rangkaian di atas, seorang siswa harus mengidentifikasi polanya. Sebuah prosesnya yang terkait adalah menggunakan pola untuk menciptakan sebuah kejadian baru (yakni, bilangan berikutnya pada rangkaian tersebut adalah 34, jumlah dari 13 dan 21).  Ini adalah sebuah contoh pengeksekusian, yang adalah sebuah proses kognitif yang terkait dengan Penerapan.  Penyimpulan dan pengeksekusian sering digunakan secara bersamaan pada tugas-tugas kognitif.
                Yang terakhir, penyimpulan adalah berbeda dari pengatribusian (sebuah proses kognitif yang terkait dengan Analisis).  Sebagaimana dibahas pada bagian berikutnya, pengatribusian fokus semata-mata pada isu pragmatik mengenai penentuan sudut pandang atau maksud penulis, sedangkan penyimpulan fokus pada isu penginduksian sebuah pola yang didasarkan atas informasi yang tersedia.  Cara lainnya untuk membedakan kedua proses ini adalah bahwa pengatribusian adalah dapat diterapkan secara luas pada situasi-situasi seseorang harus “mendeduksi sesuatu yang implisit”, khususnya ketika seseorang sedang berupaya menentukan suatu sudut pandang si penulis.  Penyimpulan pada sisi lainnya, terjadi dalam sebuah konteks yang menyediakan suatu harapan tentang apa yang akan disimpukan.  Istilah-istilah alternatif untuk penyimpulan adalah ekstrapolasi, interpolasi, prediksi, dan pengkonklusian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam penyimpulan, ketika disediakan sehimpunan atau serangkaian contoh atau kejadian, seorang siswa menemukan sebuah konsep atau prinsip yang menjelaskannya.  Misalnya, dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sebuah contoh tujuannya ialah siswa dapat menyimpulkan konsep-konsep tata bahasa dari contoh-contoh yang tersedia.  Untuk asesmennya, seorang siswa diberi beberapa kata yang didahului oleh di atau ke, seperti dimakam, dimakamkan, kemakam, orang kedua, kedua orang itu, dipangkuan, dipangku; kemudian diminta merumuskan konsep-konsep yang relevan untuk masing-masing di dan ke tersebut.  Dalam matematika, salah satu tujuannya adalah agar siswa dapat menyimpulkan perhubungan yang diungkapkan sebagai sebuah persamaan yang mewakili beberapa observasi dari nilai-nilai untuk dua variabel.  Sebuah item asesmennya meminta seorang siswa mendekripsikan perhubungan sebagai sebuah persamaan yang melibatkan x dan y  untuk situasi-situasi dalam mana jika x adalah 1, maka y adalah 0; jika x adalah 2, maka y adalah 3; dan jika x adalah 3, maka y adalah 8.
FORMAT ASESMEN    Tiga tugas umum yang mempersyaratkan penyimpulan (sering disertai dengan pengimplementasian) adalah tugas-tugas melengkapi, tugas-tugas analogi, dan tugas-tugas keanehan.  Dalam tugas melengkapi, seorang siswa diberi serangkaian item dan harus menentukan apa yang akan muncul berikutnya, seperti dalam rangkaian bilangan-bilangan di atas.  Dalam tugas analogi, seorang siswa diberi sebuah analogi dengan bentuk A adalah analogi dengan B seperti C ke D, seperti “bangsa” adalah dengan “presiden” seperti “provinsi” adalah dengan _________________.  Tugas siswa adalah memproduksi atau memilih sebuah istilah yang sesuai untuk bagian yang rumpang dan menuliskan analoginya (seperti “gubernur”).  Dalam tugas keanehan, seorang siswa diberi tiga atau lebih item dan harus menentukan yang mana yang tidak termasuk.  Misalnya, seorang siswa dapat diberi tiga masalah fisika, yang dua melibatkan sebuah prinsip dan yang lainnya melibatkan prinsip yang berbeda.  Agar semata-mata fokus pada proses penyimpulan, pertanyaan dalam masing-masing tugas asesmen dapat agar siswa menyatakan konsep atau prinsip yang mendasari yang siswa gunakan untuk memperoleh jawaban yang benar.
2.6   MEMBANDINGKAN
Pembandingan melibatkan pendeteksian kesamaan dan perbedaan antara dua atau lebih benda, kejadian, ide, masalah, atau situasi, seperti penentuan bagaimana sebuah kejadian yang terkenal (yakni, skandal politik yang baru terjadi) adalah mirip sebuah kejadian yang kurang terkenal (yakni, skandal politik dalam sejarah).  Pembandingan mencakup penemuan unsur-unsur dan pola-pola dalam sebuah objek, kejadian, atau ide yang memiliki kesesuaian dengan unsur-unsur dan pola-pola dalam objek, kejadian, atau ide lainnya.  Ketika digunakan bersamaan dengan penyimpulan (yakni, pertama, mengabstraksi sebuah prinsip dari situasi yang lebih dikenali) dan pengimplementasian (yakni, kedua, menerapkan prinsip tersebut pada situasi yang kurang dikenali),  pembandingan dapat kontributif pada penalaran dengan analogi.  Istilah-istilah alternatifnya adalah peng-kontras-an, pemadanan, dan pemetaan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam pembandingan, ketika disediakan informasi baru, seorang siswa mendeteksi kesesuaian-kesesuaiannya  dengan pengetahuan yang lebih diakrabi.  Misalnya, dalam IPS, sebuah tujuannya ialah agar siswa memahami kejadian-kejadian historis dengan membandingkan mereka dengan situasi-situasi yang akrab.  Sebuah pertanyaan asesmennya yang sesuai adalah “Bagaimana Revolusi Amerika seperti suatu pertengkaran keluarga atau suatu perdebatan antarteman?”  Dalam IPA, sebuah contoh tujuannya agar siswa belajar membandingkan sebuah sirkuit elektirk dengan sebuah sistem yang lebih akrab.  Dalam asesmennya, kita bertanya “Bagaimana sebuah sirkuit elektrik seperti air yang mengalir melalui sebuah pipa?”
                Pembandingan dapat juga melibatkan penentuan korespondensi antara dua atau lebih objek, kejadian, atau ide yang tersaji.  Dalam matematika, sebuah contoh tujuannya ialah agar siswa belajar membandingkan masalah-masalah kata yang sama secara struktural.  Sebuah pertanyaan asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa mengatakan bagaimana sebuah masalah campuran tertentu mirip sebuah masalah kerja tertentu.
FORMAT ASESMEN    Sebuah teknik utama untuk meng-ases proses kognitif pembandingan  adalah pemetaan.  Dalam pemetaan, seorang siswa harus mempertunjukkan bagaimana masing-masing bagian dari sebuah objek, ide, masalah, atau situasi berkesesuaian dengan masing-masing bagian dari objek lainnya.  Misalnya, seorang siswa dapat diminta merinsi bagaimana batere, kabel, dan resistor dalam sebuah sirkuit elektrik adalah seperti pompa, pipa, dan konstruksi pipa dalam sebuah sistem aliran air, begitu juga sebaliknya.
2.7   MENGEKSPLANASI
Pengeksplanasian terjadi ketika seorang siswa mampu mengkonstruksi dan menggunakan sebuah model sebab-akibat dari sebuah sistem.  Modelnya dapat diturunkan dari sebuah teori formal (sebagaimana sering dilakukan dalam IPA) atau dapat dibangun dari bawah (grounded) berdasarkan riset atau pengalaman (sebagaimana sering dilakukan dalam sains sosial dan humaniora).  Sebuah eksplanasi yang lengkap melibatkan pengkonstruksian sebuah model sebab-akibat, mengikutsertakan masing-masing bagian utama dalam sebuah sistem atau masing-masing kejadian utama dalam suatu rangkaian mata-rantai, dan menggunakan model ini ini untuk menentukan bagaimana sebuah perubahan atau sebuah “link” dalam rantai ituy mempengaruhi sebuah perubahan pada bagian lainnya.  Sebuah istilah alternatifnya adalah pengkonstruksian sebuah model.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam pengeksplanasian, ketika diberi sebuah deskripsi tentang sebuah sistem, seorang siswa mengembangkan dan menggunakan sebuah model sebab-akibat tentang sistem tersebut.  Misalnya, dalam IPS, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat mengeksplanasi sebab-sebab dari kejadian-kejadian historis yang penting dalam abad ke-18.  Sebagai sebuah asesmennya, setelah membaca dan diskusi sebuah unit tentang sejarah Indonesia, siswa diminta mengkonstruksi sebuah rantai sebab-akibat dari kejadian-kejadian yang menjelaskan dengan sebaik-baiknya mengapa perang terjadi.  Dalam IPA, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat mengeksplanasi bagaimana hukum-hukum dasar fisika bekerja.  Asesmennya yang sesuai meminta siswa yang telah mempelajari hukum Ohn untuk mengeksplanasi apa yang terjadi pada tingkat arus ketika sebuah batere ke dua ditambahkan pada sebuah sirkuit, atau meminta para siswa yang sudah menyaksikan sebuah video tentang badai kilat untuk mengeksplanasi bagaimana perbedaan-perbedaan temperatur mempengaruhi pembentukan kilat.
FORMAT ASESMEN    Beberapa tugas dapat ditujukan untuk peng-ases-an kemampuan siswa mengeksplanasi, termasuk penalaran, pemecahan masalah, perancangan-ulang, dan pemrediksian.  Dalam tugas-tugas penalaran, seorang siswa diminta untuk memberikan sebuah penalaran tentang sebuah kejadian yang ada.  Misalnya, “Mengapa udara memasuki sebuah pompa ban sepeda ketika anda menarik pegangannya?”  Dalam kasus ini, sebuah jawaban seperti “Ia terdorong kedalam karena tekanan udara adalah rendah di dalam pompa ketikbang di luar” melibatkan penemuan sebuah prinsip yang menjelaskan sebuah kejadian yang ada.
                Dalam pemecahan masalah, seorang siswa diminta mendiagnosis kesalahan apa yang sudah terjadi dalam sebuah sistem yang malafungsi.  Misalnya, “Andaikan anda menarik dan menekan pegangan sebuah pompa ban sepeda beberapa kali tetapi tidak ada udara yang keluar.  Apa yang salah?”  Dalam kasus ini, siswa harus menemukan sebuah eksplanasi untuk malafungsi tersebut, seperti “Silinder pompanya bolong” atau “Sebuah katup macet dalam posisi terbuka.”
                Dalam perancangan-ulang, seorang siswa diminta mengubah suatu sistem untuk mencapai suatu tujuan.  Misalnya, “Bagaimana anda dapat meningkatkan sebuah pompa ban sepeda agar ia menjadi lebih efisien?”  Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang siswa harus membayangkan perubahan sebuah atau lebih komponen dalam suatu sistem, seperti “Memberi pelumas antara piston dan silinder”.
                Dalam pemrediksian, seorang siswa ditanya bagaimana sebuah perubahan dalam sebuah bagian sistem akan mempengaruhi sebuah perubahan dalam bagian lainnya dari sistem tersebut.  Misalnya, “Apa yang akan terjadi jika anda meningkatkan diameter silinder dari pompa ban sepeda?”  Pertanyaan ini mempersyaratkan siswa “mengoperasikan” model mental pompa untuk melihat bahwa jumlah udara yang bergerak melalui pompa dapat ditingkatkan melalui peningkatan diameter silindernya.

3.   MENGAPLIKASIKAN/MENERAPKAN
Menerapkan melibatkan penggunaan prosedur untuk melaksanakan kegiatan (praktik, latihan) atau memecahkan masalah.  Dengan demikian, Menerapkan terkait erat dengan Pengetahuan Prosedural.  Sebuah kegiatan adalah sebuah tugas yang prosedurnya sudah diketahui siswa penggunaannya, karena itu siswa sudah mengembangkan suatu pendekatan yang terutinkan untuk tugas tersebut.  Sebuah masalah adalah sebuah tugas yang prosedurnya pada awalnya siswa tidak diketahui siswa penggunaannya, maka siswa harus mengupayakan sebuah prosedur untuk memecahkan masalah itu.  Kategori Menerapkan terdiri atas dua proses kognitif: pengeksekusian—ketika tugasnya adalah sebuah kegiatan (sudah akrab)—dan pengimplementasian—ketika tugasnya adalah sebuah masalah (tidak akrab).
                Ketika tugasnya adalah sebuah kegiatan yang sudah diakrabi, para siswa umumnya tahu prosedur apa yang harus digunakan.  Ketika diberi sebuah kegiatan (atau sehimpunan kegiatan), para siswa khasnya melaksanakan prosedurnya dengan kurang berpikir.  Misalnya, seorang siswa yang belajar aljabar dihadapkan dengan kegiatan ke-50 yang melibatkan persamaan-persamaan kuadrat dapat langsung mengerti dan menyelesaikan tugasnya. 
                Ketika tugasnya adalah sebuah masalah yang tidak akrab atau masih asing, bagaimanapun, para siswa harus menentukan pengetahuan apa yang akan mereka gunakan.  Jika tugasnya tampak menuntut Pengetahuan prosedural dan tidak ada prosedur yang tersedia yang cocok dengan situasi masalah secara eksak, maka modifikasi-modifikasi dalam Pengetahuan prosedural dapat menjadi niscaya.  Berbeda halnya dengan pengeksekusian, maka, pengimplementasian mempersyaratkan suatu derajad pemahaman tentang masalah juga prosedur solusinya.  Dalam kasus pengimplementasian, maka, memahami pengetahuan konseptual adalah sebuah prasyarat untuk mampu menerapkan pengetahuan prosedural.
3.1   MENGEKSEKUSI
Dalam pengeksekusian, seorang siswa melaksanakan secara rutin suatu prosedur ketika dihadapkan dengan sebuah tugas akrab (yakni, kegiatan, praktik, latihan).  Keakaraban akan situasinya sering menyediakan isyarat yang cukup untuk memandu pilihan tentang prosedur tepat yang akan digunakan.  Pengeksekusian lebih sering terkait dengan penggunaan keterampilan-keterampilan dan algoritme-algoritme (prosedur pemecahan masalah) ketimbang dengan teknik-teknik dan metode-metode (lihat pembahasan tentang Pengetahuan prosedural di atas).  Keterampilan dan algoritme memiliki dua kualitas yang membuat mereka secara khusus memudahkan untuk melakukan eksekusi.  Pertama, mereka terdiri atas seruntunan langkah yang umumnya diikuti dalam sebuah tatanan yang tetap.  Kedua, ketika langkah-langkahnya dilaksanakan secara tepat, hasil akhirnya adalah sebuah jawaban yang pratentu (predetermined).  Sebuah istilah alternatif untuk pengeksekusian adalah pelaksanaan (carrying out).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam pengeksekusian, seorang siswa dihadapkan dengan suatu tugas akrab dan mengetahui apa yang akan dilakukan dalam rangka menyelesaikannya.  Siswa langsung melaksanakan sebuah prosedur yang sudah diketahui untuk menyelesaikan tugas.  Misalnya, sebuah contoh tujuannya dalam matematika tingkat dasar ialah agar siswa belajar membagi sebuah bilangan bulat dengan bilangan lainnya, keduanya bilangan banyak digit.  Petunjuk “membagi” menunjukkan algoritme pembagian, yang niscayanya adalah Pengetahuan prosedural.  Meng-ases tujuan ini, seorang siswa diberi sebuah LKS yang memiliki latihan-latihan pembagian 15 bilangan bulat (yakni, 784/15) dan diminta menemukan hasilnya.  Dalam IPA, sebuah contih tujuannya dapat berupa agar siswa belajar menghitung nilai dari variabel-variabel dengan menggunakan formula-formula saintifik.  Untuk meng-ases tujuan ini, seorang siswa diberi formula Berat Jenis = Massa/Volum dan harus menjawab pertanyaan “Berapa berat jenis sebuah materi dengan massa 9 kilo gram dan volum 9 inci kubik?”
FORMAT ASESMEN    Dalam pengeksekusian, seorang siswa diberi sebuah tugas akrab yang dapat dikerjakan dengan menggunakan sebuah prosedur yang sudah dikenali dengan baik.  Misalnya, sebuah tugas eksekusi adalah “Pecahkan untuk x dimana x2 + 2x – 3 = 0 dengan menggunakan teknik penyelesaian kuadrat”.  Para siswa dapat diminta memberi jawaban, atau jika sesuai, memilih dari sejumlah jawaban yang mungkin.  Lebih jauh lagi, karena tekanannya pada prosedur sebagaimana juga pada jawabannya, para siswa dapat dipersyaratkan untuk tidak hanya menemukan jawabannya tetapi juga memperlihatkan jalannya.   
3.2   MENGIMPLEMENTASI   
Pengimplementasian terjadi ketika seorang siswa memilih dan menggunakan sebuah prosedur untuk melaksanakan sebuah tugas tak-akrab.  Karena pemilihan dipersyaratkan, para siswa harus memiliki suatu pemahaman tentang tipe masalah yang dijumpai sebagaimana juga sejumlah prosedur yang tersedia.  Dengan demikian, pengimplementasian digunakan bersamaan dengan kategori-kategori proses kognitif lainnya, seperti Memahami dan Mengkreasi.
                Karena siswa dihadapkan dengan sebuah masalah tak-akrab, ia tidak secara langsung mengetahui prosedur yang mana yang akan digunakan.  Lebih jauh lagi, tidak terdapat prosedur tunggal yang dapat “cocok sempurna” untuk masalahnya; suatu modifikasi dalam prosedur bisa jadi dibutuhkan.  Pengimplementasian lebih sering terkait dengan penggunaan teknik-teknik dan metode-metode ketimbang dengan keterampilan- keterampilan dan algoritme-algoritme (lihatlah pembahasan Pengetahuan prosedural di atas).  Teknik-teknik dan metode-metode memiliki dua kualitas yang membuat mereka secara khusus memudahkan pada pengimplementasian.  Pertama, prosedurnya bisa jadi mirip sebuah “bagan alur” ketimbang sebuah runtunan yang tetap; yakni, prosedurnya bisa jadi memiliki “titik-titik pembuatan putusan” yang terbangun di dalamnya (yakni, setelah menyelesaikan Langkah 3, haruskah saya melakukan Langkah 4A atau Langkah 4B?).          Ke dua, sering terjadi tidak adanya jawaban tetap, tunggal, yang diharapkan ketika prosedurnya diterapkan secara tepat.
                Ide bahwa tidak ada jawaban tunggal, tetap, khususnya berlaku untuk tujuan-tujuan yang menuntut penerapan pengetahuan konseptual seperti teori, model, dan struktur, dalam mana tidak ada prosedur yang telah dikembangkan untuk penerapannya.  Perhatikan sebuah tujuan seperti “Siswa diharapkan mampu menerapkan sebuah teori psikologis sosial  tentang perilaku kerumunan untuk kontrol kerumunan.  Teori psikologis sosial adalah pengetahuan konseptual bukan prosedural.  Ini adalah jelas sebuah tujuan Penerapan, bagaimanapun, dan tidak ada prosedur untuk melakukan penerapan.  Meskipun demikian teorinya akan terstruktur dengan sangat jelas dan memandu siswa dalam melakukan penerapan, tujuan ini sudah termasuk pada sisi Menerapkan dari Mengkreasi, tetapi ia adalah Penerapan.  Karena itu ia akan diklasifikasi sebagai pengimplementasian.
                Untuk memahami mengapa demikian halnya, pikirkanlah kategori Menerapkan sebagai terstruktur sepanjang sebuah malar (continuum).  Malar ini dimulai dengan eksekusi, yang sempit, sangat terstruktur, dalam mana Pengetahuan prosedural yang sudah diketahui diterapkan hampir secara rutin.  Malar ini bergerak ke pengimplementasian, yang lebar, sangat tak-terstruktur, dalam mana, pada awalnya, prosedurnya harus dipilih agar cocok dengan sebuah situasi baru.  Di tengahnya, , prosedurnya bisa jadi harus dimodifikasi dalam rangka pengimplementasiannya.  Di ujungnya yang jauh, pengimplementasian, dalam mana tidak terdapat Pengetahuan prosedural untuk dimodifikasi, sebuah prosedur harus dimanufaktur dari Pengetahuan konseptual dengan menggunakan teori, model, atau struktur sebagai sebuah pemandu.  Maka, meskipun Penerapan adalah terkait erat dengan Pengetahuan prosedural, dan kaitan ini terdapat pada hampir semua kategori Menerapkan, terdapat sejumlah kejadian dalam pengimplementasian orang juga menerapkan Pengetahuan konseptual.  Sebuah istilah alternatif untuk pengimplementasian adalah penggunaan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam matekatika, sebuah contoh tujuannya adalah agar siswa dapat belajar memecahkan sejumlah masalah keuangan pribadi.  Asesmennya yang sesuai adalah dengan menyajikan kepada para siswa sebuah masalah dalam mana mereka harus memilih paket pendanaan yang paling ekonomis untuk sebuah mobil baru.  Dalam IPA, sebuah contoh tujuannya adalah agar siswa belajar menggunakan metode yang paling efektif, efisien, dan terjangkau untuk melaksanakan sebuah studi riset mengenai sebuah pertanyaan riset spesifik.  Asesmennya yang sesuai adalah memberi para siswa sebuah pertanyaan riset dan meminta mereka mengusulkan sebuah studi riset yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan mengenai efektivitas, efisiensi, dan keterjangkauan.  Perhatikanlah bahwa dalam kedua pernyataan tugas ini, siswa harus tidak hanya menerapkan sebuah prosedur (yakni, terlibat dalam pengimplementasian) tetapi juga menyandarkan diri pada pemahaman konseptual tentang masalah, prosedur, atau keduanya.
FORMAT ASESMEN    Dalam pengimplementasian, seorang siswa diberi sebuah masalah tak-akrab yang harus dipecahkan.  Dengan demikian, banyak format asesmen dimulai dengan spesifikasi (perincian ketentuan) masalah.  Para siswa diminta menentukan prosedur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah itu, memecahkan masalah menggunakan prosedur terpilih (melakukan modifikasi jika diperlukan), atau biasanya keduanya.
4.   MENGANALISIS                 
Analisis melibatkan penguraian material menjadi bagian-bagian yang membentuknya dan menetukan bagaimana bagian-bagian berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan suatu struktur keseluruhannya.  Kategori proses ini mencakup proses-proses kognitif pembeda-bedaan, pengorganisasian, dan pengatribusian.  Tujuan-tujuan yang diklasifikasikan sebagai Menganalisis mencakup belajar untuk menentukan keping-keping dari sebuah pesan yang penting atau relevan (membeda-bedakan), cara-cara bagaimana keping-keping sebuah pesan itu di organisasi (mengorganisasikan), dan tujuan yang mendasari dari suatu pesan (mengatribusi).  Meskipun belajar Menganalisis dapat dipandang sebagai sebuah tujuan itu sendiri, lebih mungkin adanya untuk dipertahankan secara pedagogis untuk menganggap analisis sebagai suatu perluasan dari Memahami atau sebagai suatu penduluan untuk Mengevaluasi atau Mengkreasi.
                Peningkatan keterampilan-keterampilan siswa dalam penganalisisan informasi-informasi kependidikan adalah sebuah tujuan dalam banyak lapangan studi.  Guru-guru IPA, IPS, humaniora, dan seni sering memberi “pembelajaran untuk menganalisis” sebagai salah satu tujuan yang penting.  Tujuan-tujuan ini, misalnya, ingin mengembangkan kemampuan siswa untuk:
·         membedakan fakta dari pendapat (atau realitas dari fantasi);
·         menghubungkan simpulan-simpulan dengan pernyataan-pernyataan pendukung;
·         membedakan material relevan dengan material yang hubungannya tak-langsung;
·         menentukan bagaimana ide-ide berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya;
·         menegaskan asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan yang terlibat dalam apa yang dikatakan;
·         membedakan ide-ide atau tema-tema dominan dari ide-ide bawahan dalam puisi atau musik; dan
·         menemukan evidensi yang mendukung tujuan-tujuan si penulis.
                Kategori proses-proses Memahami, Menganalisis, dan Mengevaluasi adalah saling berkaitan dan sering digunakan berulang dalam pelaksanaan tugas-tugas kognitif.  Bagaimanapun, pada saat yang sama, penting adanya untuk mempertahan mereka sebagai kategori-kategori proses yang terpisah-pisah.  Seseorang yang memahami suatu informasi bisa jadi tidak mampu menganalisisnya dengan baik.  Sama halnya, seseorang yang terampil dalam penganalisisan suatu informasi bisa jadi menilainya secara buruk.
4.1   MEMBEDA-BEDAKAN
Membeda-bedakan melibatkan pembeda-bedaan bagian-bagian dari sebuah struktur keseluruhan dalam kaitan relevansi atau penting-tidaknya mereka.  Membeda-bedakan terjadi ketika seorang siswa memisah-misahkan informasi yang relevan dan yang tak-relevan, atau informasi penting dan yang tak-penting, dan kemudian memperhatikan informasi yang relevan atau penting.  Membeda-bedakan adalah berbeda dari proses-proses kognitif yang terkait dengan Memahami karena ia melibatkan organisasi struktural dan, khususnya, melibatkan penentuan bagaimana bagian-bagian berkesesuaian dengan struktur keseluruhan adau keseluruhan.  Secara lebih spesifilknya, pembeda-bedaan berbeda dari pembandingan dalam penggunaan konteks yang lebih luas untuk menentukan apa yang relevan atau penting dan apa yang tidak penting atau tidak relevan.  Misalnya, dalam pembeda-bedaan apel-apel dan jeruk-jeruk dalam konteks buah-buahan, biji internal adalah relevan, tetapi warna dan bentuk adalah tak-relevan.  Dalam pembandingan,  semua aspek ini (biji, warna, dan bentuk) adalah relevan.  Istilah-istilah alternatif untuk membeda-bedakan adalah mendiskriminasi, memilih, dan memusatkan perhatian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI    Dalam IPS, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat belajar menentukan butir-butir utama dalam laporan riset.  Sebuah item asesmennya yang sesuai mempersyaratkan seorang siswa melingkari butir-butir utama dalam sebuah laporan arkeologi tentang sebuah kota suku Maya purba (seperti kapan sebuah kota dimulai dan kapan berakhir, penduduk kota selama perjalanan kota itu, lokasi geografis kota, gedung-gedung dalam kota, fungsi ekonomi dan budaya, organisasi sosial kota, mengapa kota dibangun dan mengapa ditinggalkan penduduknya).
                Sama halnya, dalam IPA, sebuah tujuannya agar siswa dapat memilih langkah-langkah utama dalam sebuah deskripsi tertulis tentang bagaimana sesuatu bekerja.  Sebuan item asesmennya meminta seorang siswa membaca sebuah bab dalam sebuah buku yang mendeskripsikan pembentukan petir dan kemudian memilah prosesnya menjadi langkah-langkah utama (mencakup peningkatan udara lembab hingga membentuk awan, penciptaan updrafts dan downdrafts di dalam awan, dan seterusnya).
                Yang terakhir, dalam matematika, sebuah tujuannya agar siswa dapat membedakan bilangan-bilangan matematika dalam sebuah masalah kata.  Sebuah item asesmennya mempersyaratkan seorang siswa melingkari bilangan-bilangan relevan dan memberi tanda silang bilangan-bilangan tak-relevan dalam sebuah masalah kata.
FORMAT ASESMEN    Pembeda-bedaan dapat di-ases dengan tugas-tugas terkonstruksi atau terpilih.  Dalam sebuah tugas respon terkonstruksi, seorang siswa diberi suatu material dan diminta menunjukkan bagian-bagian mana yang sangat penting atau relevan, seperti dalam contoh ini:  “Tuliskan bilangan-bilangan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah ini:  Sejumlah Pinsil dalam kotak yang masing-masing berisi 12 pinsil dan harganya masing-masing kotak adalah Rp. 2.000,00.  Andi punya uang Rp. 5.000,00 dan ingin membeli 24 pinsil.  Berapa kotak yang harus ia beli?”  Dalah sebuah tugas pilihan, seorang siswa diberi suatu material dan diminta memilih  bagian mana yang paling penting atau relevan, seperti dalam contoh: “Bilangan-bilangan yang mana yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah ini?  Pensil-pensil dalam kotak yang berisi 12 pinsil dan harganya per kotak Rp. 2.000,00.  Andi memiliki  Rp. 5.000,00 dan ingin membeli 24 pinsil.  Berapa kotak yang harus ia beli?  (a) 2 kotak, (b) 1 kotak, (c) 3 kotak, (d) 2 ½ kotak.
4.2   MENGORGANISASI
Mengorganisasi melibatkan pengidentifikasian unsur-unsur informasi atau situasi dan mengenali bagaimana mereka secara bersamaan membentuk sebuah struktur yang koheren.  Dalam pengorganisasian, seorang siswa membangun hubungan-hubungan sistematik dan koheren di antara keping-keping informasi yang tersaji.  Pengorganisasian  biasanya terjadi bersamaan dengan pembeda-bedaan.  Siswa pertama-tama mengidentifikasi unsur-unsur relevan atau penting dan kemudian menentukan struktur keseluruhannya.  Pengorganisasian dapat juga terjadi bersamaan dengan pengatribusian, dalam mana fokusnya adalah penentuan maksud atau sudut pandang si penulis.  Istilah-istilah alternatif untuk pengorganisasian adalah penstrukturan, pengintegrasian, penemuan koherensi, penyusunan kerangka-pikir (outlining), dan parsing (penguraian sebuah kalimat menjadi bagian-bagian gramatiikalnya seperti subjek, predikat, dan seterusnya).
CONTOH  TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam pengorganisasian, ketika diberi sebuah deskripsi tentang sebuah situasi atau masalah, seorang siswa mampu mengidentifikasi sistematika, perhubungan-perhubungan koheren antarunsur yang relevan.  Sebuah contoh tujuannya dalam IPS adalah agar siswa dapat belajar membuat struktur sebuah deskripsi historis yang terbentuk oleh bukti-bukti yang mendukung sebuah eksplanasi tertentu.  Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa menulis sebuah kerangka-pikir yang memperlihatkan fakta-fakta yang mana dalam sebuah bacaan tentang sejarah Reformasi Indonesia tahun 1998 yang mendukung dan yang mana yang tidak mendukung simpulan bahwa Reformasi itu disebabkan oleh sentralisasi kekuasaan pada sebuah partai berkuasa, pada eksekutif, dan pada pemerintahan pusat.  Sebuah contoh tujuannya dalam IPA ialah agar siswa dapat belajar menganalisis laporan-laporan riset dalam kaitannya dengan empat bagian: hipotesis, metode, data, dan simpulan.  Sebagai sebuah asesmen, para siswa diminta memproduksi sebuah kerangka-pikir dari sebuah laporan riset yang disajikan.  Dalam matematika, sebuah contoh tujuannya adalah agar siswa belajar menyusun kerangka-pikir pelajaran-pelajaran dari buku ajar.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa membaca sebuah pelajaran dari buku ajar tentang statistika dasar dan kemudian menciptakan sebuah matriks yang mengikutsertakan nama statistik, formula, dan persyaratan penggunaannya.
FORMAT ASESMEN   Pengorganisasian melibatkan pemberlakuan sebuah struktur pada material (seperti kerangka-pikir, tabel, matriks, atau diagram hirarkhis).  Dengan demikian asesmennya dapat didasarkan pada tugas-tugas terkonstruksi atau pemilihan.  Dalam sebuah tugas respon terkonstruksi, seorang siswa dapat diminta memproduksi sebuah kerangka-pikir tertulis tentang sebuah bacaan.  Dalam sebuah tugas respon pemilihan, seorang siswa dapat diminta untuk memilih empat alternatif hierarkhi-hierarkhi grafis yang sangat sesuai dengan organisasi dari sebuah bacaan yang tersaji.
4.3  MENGATRIBUSI
Pengatribusian  terjadi ketika seorang siswa mampu menentukan sudut pandang, bias, nilai-nilai, atau maksud-maksud yang mendasari suatu komunikasi atau informasi.  Pengatribusian melibatkan sebuah proses dekonstruksi, dalam mana seorang siswa menentukan maksud-maksud dari si penulis dari material yang disajikan.  Berbeda halnya dengan penginterpretasian, dalam mana siswa berupaya untuk Memahami makna dari material yang tersaji, pengatribusian melibatkan suatu pemerluasan melampaui pemahaman dasar untuk menyimpulkan maksud atau sudut pandang yang mendasari material yang tersaji.  Misalnya, dalam membaca sebuah bacaan tentang perang DI/TII dalam sejarah Perang Saudara Indonesia, seorang siswa perlu menentukan apakah si pengarang mengadopsi sudut pandang nasionalis atau sudut pandang sebuah kelompok muslim yang berkembang di Indonesia pada waktu itu.  Istilah alternatifnya adalah dekonstruksi.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam pengatribusian, ketika diberi informasi, seorang siswa mampu menentukan sudut pandang atau maksud yang mendasari dari si penulis.  Misalnya, dalam pelajaran sastra, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat belajar menentukan motif-motif dari serangkaian tindakan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai adalah setelah membaca  Macbeth dari Shakespeare siswa ditanya apa motif (motif-motif) yang Shakespeare atribusi-kan  kepada Macbeth untuk membunuh King Duncan.  Dalam IPS, sebuah contoh tujuannya agar siswa dapat belajar menentukan sudut pandang si penulis sebuah esai tentang sebuah topik kontroversial dalam kaitan perspektif teoritisnya.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai bertanya kepada siswa apakah sebuah laporan tentang hutan hujan Amazon ditulis dari sudut pandang seorang pro-lingkungan atau seorang pro-bisnis.  Tujuan ini juga berlaku untuk IPA.  Sebuah tugas asesmennya  meminta seorang siswa menentukan apakah behavioris atau psikologiwan kognitif yang menulis sebuah esai tentang pembelajaran.
FORMAT ASESMEN    Pengatribusian dapat di-ases dengan menyajikan suatu material tertulis atau lisan dan kemudian meminta seorang siswa untuk mengkonstruksi atau memilih sebuah deskripsi sudut pandang, maksud, dan yang sejenis dari si penulis atau si pembicara.  Misalnya, sebuah tugas respon terkonstruksi  adalah “Apa tujuan si penulis dalam menulis esai yang anda baca tentang hutan hujan Amazon?”  Sebuah seleksi pemilihan dari tugas ini adalah “Tujuan si penulis menulis esai yang anda baca adalah: (a) menyediakan informasi faktual tentang hutan hujan Amazon, (b) membuat pembaca waspada akan pentingnya melindungi hutan hujan, (c) mendemonstrasikan keuntungan-keuntungan ekonomis dari pengembangan hutan hujan, atau (d) mendeskripsikan konsekuensi-konsekuensi bagi manusia jika hutan hujan dikembangkan”.  Alternatifnya, siswa dapat diminta untuk menunjukkan apakah si penulis esai akan (a) sangat setuju, (b) setuju, (c) tidak setuju juga tidak tidak-setuju, (d) tidak setuju, atau (e) sangat tidak setuju karena beberapa pernyataan.  Pernyataan-pernyataannya seperti “Hutan hujan adalah sebuah tipe unik dari sistem ekologis”.

5.    MENGEVALUASI
Mengevaluasi didefinisikan sebagai pembuatan judgements (putusan, pertimbangan) didasarkan atas kriteria atau standar.  Kriteria yang sangat sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi.  Kriteria ini bisa jadi ditentukan oleh siswa atau oleh orang lain.  Standar bisa jadi kuantitatif (yakni, Apakah ini suatu jumlah yang cukup?) atau kualitatif (yakni, Apakah ini cukup baik?).  Standar diberlakukan untuk kriteria (yakni, Adakah proses ini cukup efektif?  Adakah produk ini memiliki kualitas cukup?).  Kategori Mengevaluasi mencakup proses-proses kognitif pengecekan (putusan/ pertimbangan tentang konsistensi internal) dan pengritrikan (putusan/pertimbangan yang didasarkan atas kriteria eksternal).
                Hendaknya ditekankan bahwa tidak semua putusan/pertimbangan adalah evaluatif.  Misalnya, misalnya siswa-siswa membuat putusan/pertimbangan tentang apakah sebuah contoh khusus sesuai dengan sebuah kategori.  Mereka membuat putusan/pertimbangan tentang ketepatan dari sebuah prosedur tertentu untuk sebuah masalah khusus.  Mereka membuat putusan/pertimbangan tentang apakah dua benda adalah sama atau berbeda.  Faktanya, banyak proses kognitif mempersyaratkan suatu bentuk pembuatan putusan/pertimbangan.  Apa yang paling jelas membedakan Mengevaluasi sebagaimana didefinisikan di sini putusan/pertimbangan lainnya yang dilakukan para siswa adalah penggunaan standar kinerja dengan kriteria yang didefnisikan dengan jelas.  Adakah mesin ini bekerja seefisien yang seharusnya?  Adakah metode ini adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan?  Adakah pendekatan ini lebih efektif biaya ketimbang pendekatan lainnya?  Pertanyaan-pertanyaan yang demikian ini dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam Mengevaluasi.
5.1   MENGECEK
Pengecekan melibatkan pengetesan inkonsistensi atau kesalahan internal dalam sebuah operasi atau sebuah produk.  Misalnya, pengecekan terjadi ketika seorang siswa mengetes apakah sebuah simpulan itu sebagai keharusan dari  premis-premisnya, apakah data mendukung atau mendiskonfirmasi sebuah hipotesis, atau apakah material yang tersaji berisi bagian-bagian yang kontradktif antara yang satu dengan yang lainnya.  Ketika dikombinasikan dengan merencanakan (sebuah proses kognitif dalam kategori Mengkreasi) dan mengimplementasikan (sebuah proses kognitif dalam kategori Menerapkan), pengecekan melibatkan penentuan seberapa baik suatu rencana berjalan.  Istilah-istilah alternatifnya adalah pengetesan, pendeteksian, pemantauan, dan pengkoordinasian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam pengecekan, para siswa mencari inkonsistensi internal.  Sebuah contoh tujuan dalam IPS misalnya agar siswa dapat belajar mendeteksi inkonsistensi-inkonsistensi dalam pesan-pesan persuasif.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai meminta siswa menyaksikan sebuah iklan televisi untuk seorang kandidat politik dan menunjukkan cacat-cacat logis dalam pesan persuasifnya.  Sebuah contoh tujuan dalam IPA adalah agar siswa dapat belajar menentukan apakah simpulan seorang ilmuwan dihasilkan dari data yang diobservasi.  Sebuah tugas asesmennya meminta seorang siswa membaca sebuah laporan tentang eksperimentasi kimia dan menentukan apakah simpulannya berdasarkan hasil-hasil eksperimen atau tidak.
FORMAT ASESMEN    Tugas-tugas pengecekan dapat melibatkan operasi-operasi atau produk-produk yang disajikan kepada para siswa atau sesuatu yang diciptakan oleh siswa sendiri.  Pengecekan dapat juga terjadi dalam konteks pelaksanaan sebuah solusi untuk sebuah masalah  atau pelaksanaan sebuah tugas, dimana terdapat kepentingan untuk menjaga konsistensi dari implementasi aktual.
5.2   MENGERITIK
Mengeritik melibatkan pembuatan putusan/pertimbangan tentang sebuah produk atau operasi didasarkan atas kriteria atau standar eksternal.  Dalam pengeritikan, seorang siswa mencatat ciri-ciri positif dan negatif dari sebuah produk dan membuat sebuah putusan/pertimbangan didasarkan atas sekurang-kurangnya sebagian dari ciri-ciri tersebut.  Pengeritikan terletak di inti dari apa yang disebut berpikir kritis.  Sebuah contoh pengeritikan adalah pembuatan putusan/pertimbangan mengenai manfaat-manfaat dari sebuah solusi tertentu untuk masalah hujan asam dalam kaitannya dengan kemungkinan efektivitasnya dan kaitannya dengan biaya (yakni, mempersyaratkan semua pabrik energi di seluruh negara untuk membatasi emisi pipa asap mereka hingga ke suatu batas).  Istilah alternatif untuk pengertikan adalah judging (pemberian putusan/pertimbangan).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam mengeritik, para siswa membuat putusan/pertimbangan mengenai manfaat-manfaat sebuah produk atau operasi didasarkan atas kriteria atau standar khusus atau yang ditentukan siswa. Dalam IPS, tujuannya misalnya agar siswa dapat belajar mengevaluasi sebuah solusi yang diusulkan (seperti “menghapuskan pemberian nilai”) pada sebuah masalah sosial (seperti “bagaimana meningkatkan pendidikan jenjang kelas 12)” dalam kaitan dengan kemungkinan efektivitasnya.  Dalam IPA, sebuah tujuannya agar siswa dapat belajar mengevaluasi kemasukakalan sebuah hipotesis (seperti hipotesis bahwa straeberi tumbuh dengan ukuran luar biasa karena penyatuan bintang-bintang secara luar biasa).  Yang terakhir, dalam matematika, sebuah tujuannya agar siswa dapat belajar membuat putusan/pertimbangan tentang yang mana dari dua alternatif metode yang lebih efektif dan lebih efisien untuk memecahkan masalah yang ada (seperti membuat putusan/pertimbangan apakah lebih baik menemukan semua faktor prima dari 60 atau memproduksi sebuah persamaan aljabar untuk memecahkan masalah “Apa saja cara-cara yang mungkin agar anda dapat mengalikan dua bilangan bulat untuk mendapatkan 60?”).
FORMAT ASESMEN    Seorang siswa dapat diminta untuk mengeritik hipotesis atau keasinya atau yang dihasilkan oleh orang lain.  Kritiknya dapat didasarkan kriteria positif, negatif, atau keduanya dan menghasilkan baik konsekuensi-konsekuensi positif maupun negatif.  Misalnya, dalam mengeritik sebuah proposal dinas pendidikan yang menuntut belajar setahun penuh, seorang siswa akan menghasilkan konsekuensi positif seperti terhapusnya kerugian belajar akibat libur musim panas, dan konsekuensi negatifnya, seperti terganggunya libur keluarga.                         

6.   MENGKREASI
Mengkreasi melibatkan menyusun unsur-unsur bersamaan untuk membentuk sebuah keseluruhan yang koheren atau fungsional.  Tujuan-tujuan yang diklasifikasikan sebagai Mengkreasi  menghendaki para siswa membuat sebuah produk baru dengan mreorganisasi secara mental sejumlah unsur atau bagian menjadi sebuah pola atau struktur yang sebelumnya tersaji tidak jelas.  Proses yang terlibat dalam Mengkreasi umumnya terkoordinasi dengan pengalaman-pengalaman belajar siswa sebelumnya.  Meskipun Mengkreasi mempersyaratkan pemikiran kreatif dari siswa, hal ini bukan ekspresi krestif yang sepenuhnya bebas tanpa dikendalai oleh tuntutan-tuntutan tugas belajar atau situasi.
                Bagi sebagian orang, kreativitas adalah produksi produk-produk luar biasa, sering sebagai sebuah hasil dari suatu keterampilan istimewa.  Mengkreasi, sebagaimana digunakan di sini, bagaimanapun, meskipun ia mencakup tujuan-tujuan yang menghendaki produksi unik, juga merujuk pada tujuan-tujuan yang menghendaki produksi yang semua siswa dapat dan akan lakukan.  Dalam memenuhi tujuan ini, banyak siswa akan mengkreasi dalam arti memproduksi sintesis-sintesis informasi atau material mereka sendiri untuk membentuk sebuah keseluruhan yang baru, seperti dalam menulis, melukis, mengukir, membuat gedung, dan seterusnya..
                Meskipun banyak tujuan dalam kategori Mengkreasi menekankan orsinalitas (atau keunikan), para pendidik harus mendefinisikan apa orisinal atau unik itu.  Dapatkah istilah unik digunakan untuk mendeskripsikan karya seorang individu siswa (yakni, “Ini adalah unik untuk Andini”) atau dapatkah ia digunakan untuk sekelompok siswa (yakni, “Ini adalah unik untuk sekelompok siswa kelas V”)?  Bagaimanapun, penting untuk dicatat bahwa banyak tujuan dalam kategori Mengkreasi tidak menyandarkan diri pada orsinalitas atau keunikan.  Maksud guru dengan tujuan-tujuan ini adalah agar siswa mampu men-sintesis material menjadi sebuah keseluruhan.  Sintesis ini sering dipersyaratkan dalam makalah-makalah dalam mana siswa diharapkan menyusun material yang diajarkan sebelumnya menjadi sebuah sajian yang terorganisasi.
                Meskipun kategori-kategori proses Memahami, Menerapkan, dan Menganalisis dapat melibatkan pendeteksian perhubungan di antara unsur-unsur,  Mengkreasi adalah berbeda karena ia juga melibatkan konstruksi produk orsinil.  Tidak seperti Mengkreasi, kategori-kategori lainnya melibatkan kerja dengan sehimpunan unsur yang sudah tersedia yang adalah bagian dari sebuah keseluruhan yang ada; yaitu, mereka adalah bagian dari sebuah struktur yang lebih besar yang sedang dicoba dipahami oleh siswa.  Dalam Mengkreasi, pada sisi lainnya, siswa harus menggunakan unsur-unsur dari banyak sumber dan menyusun mereka menjadi sebuah struktur atau pola baru berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.  Mengkreasi  menghasilkan sebuah produk baru, yaitu, sesuatu yang dapat diobservasi dan yang lebih dari material awal siswa.  Sebuah tugas yang mempersyaratkan Mengkreasi memuat kemungkinan mempersyaratkan dalam batas tertentu aspek-aspek dari masing-masing kategori proses kognitif yang berada pada tingkatan sebelumnya, tetapi tidak niscaya dalam tatanan sebagaimana dalam Tabel Taksonomi.
                Kita tahu bahwa composition (termasuk menulis) sering, tapi tidak selalu, mempersyaratkan proses-proses kognitif yang berkaitan dengan Mengkreasi.  Misalnya, Mengkreasi tidak terlibat dalam menulis yang mewakili pengingatan ide-ide atau interpretasi material.  Kita juga tahu bahwa pemahaman mendalam yang melampaui pemahaman dasar dapat mempersyaratkan proses-proses kognitif yang berkaitan dengan Mengkreasi.  Dalam hal pemahaman mendalam adalah sebuah tindakan pengkonstruksian atau insight, proses kognitif Mengkreasi adalah terlibat.
                Proses kreatif dapat dipecah menjadi tiga bagian: masalah penggambaran (representation), dalam mana seorang siswa berupaya memahami tugas yang dihadapi dan membangkitkan (generate) solusi-solusi yang mungkin; perencanaan solusi, dalam mana seorang siswa mengkaji kemungkinan-kemungkinannya dan menciptakan sebuah rencana yang dapat dilaksanakan; dan eksekusi solusi, dalam mana seorang siswa melaksanakan rencana itu dengan berhasil.  Dengan demikian, proses kreatif dapat dipikirkan sebagai dimulai dengan sebuah tahapan banyak arah dalam mana berbagai solusi yang mungkin dikaji ketika siswa berupaya memahami tugasnya (generating, membuat solusi yang mungkin).  Ini diikuti oleh sebuah tahap satu arah, dalam mana siswa merancang sebuah metode solusi dan mengalihkannya menjadi sebuah rencana tindakan (merencanakan).  Terakhir, rencananya dieksekusi ketika siswa mengkonstruksi solusi (mem-produksi).  Tidaklah mengherankan adanya, maka, bahwa Mengkreasi  terkait dengan tiga proses kognitif: memunculkan (generating), merencanakan, dan mem-produksi.
6.1   MEMUNCULKAN (GENERATING)
Memunculkan melibatkan menggambarkan masalah dan berupaya memiliki alternatif-alternatif atau hipotesis-hipotesis yang memenuhi kriteria tertentu.  Seringkali cara sebuah masalah digambarkan pada awalnya menyarankan solusi yang mungkin; bagaimanapun, redefinisi atau dihasilkannya lagi sebuah gambaran baru dari masalah dapat menyarankan solusi-solusi yang berbeda.  Ketika pemunculan melampaui batas-batas atau kendala-kendala pengetahuan sebelumnya dan teori-teori yang ada, ia melibatkan berpikir banyak arah dan membentuk inti dari apa yang disebut berpkir kreatif.
                Pemunculan di sini digunakan dalam sebuah arti terbatas.  Memahami juga mempersyaratkan proses-proses pembangkitan, yang mencakup pen-translasi-an, pencontohan, pengikhtisaran, menyimpulan, pengklasifikasian, pembandingan, dan peng-eksplanasi-an.  Bagaimanapun, tujuan Memahami adalah lebih sering satu arah (yakni, untuk mendapatkan sebuah makna tunggal).  Berbeda halnya, tujuan pemunculan dalam Mengkreasi adalah banyak arah (yakni, untuk mendapatkan berbagai kemungkinan).  Sebuah istilah  alternatif untuk pemunculan adalah meng-hipotesis-kan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam pemunculan, seorang siswa diberi sebuah deskripsi sebuah masalah dan harus memproduksi solusi-solusi alternatif.  Misalnya, dalam IPS, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat belajar membangkitkan berbagai solusi bermanfaat yang mungkin untuk masalah-masalah sosial.  Sebuah item asesmennya yang sesuai adalah: “Sarankan sebanyak yang dapat anda berikan untuk menjamin setiap orang memilki asuransi kesehatan yang memadai”.  Untuk meng-ases respon siswa, guru harus mengkonstruksi sehimpunan kriteria bersama dengan siswa.  Hal ini dapat mencakup jumlah alternatif, kemasukakalan berbagai alternatif, praktikalitas berbagai alternatif, dan seterusnya.  Dalam IPA, sebuah tujuannya agar siswa dapat belajar memunculkan hipotesis-hipotesis untuk mengeksplanasi fenomena yang diobservasi.  Sebuah tugas asesmenya yang sesuai meminta para siswa menulis sebanyak mungkin hipotesis untuk mengeksplanasi pertumbuhan strawberi hingga memiliki ukuran yang luar biasa.  Lagi, guru harus membangun kriteria yang didefinisikan dengan terang untuk memutuskan/mempertimbangkan kualitas respon-respon dan menyampaikannya kepada para siswa.  Terakhir, sebuah tujuan dari matematika ialah agar siswa dapat memunculkan metode-metode alternatif untuk mendapatkan sebuah hasil tertentu.  Sebuah item asesmennya yang sesuai adalah: “Apa metode-metode alternatif yang dapat anda gunakan untuk menemukan berapa bilangan-bilangan bulat yang menghasilkan 60 ketika dikalikan bersamaan?”  Untuk masing-masing asesmen dibutuhkan kriteria pen-skoran yang tersurat, dipahami bersama.     
FORMAT ASESMEN    Meng-ases pemunculan khasnya melibatkan format-format respon terkonstruksi dalam mana seorang siswa diminta memproduksi alternatif-alternatif atau hiposis-hipotesis.  Dua subtipe tradisional adalah tugas-tugas konsekuensi dan tugas-tugas penggunaan.  Dalam sebuah tugas konsekuensi, seorang siswa harus membuat daftar semua konsekuensi yang mungkin dari sebuah kejadian tertentu, seperti “Apa yang akan terjadi jika terdapat pajak penghasilan yang datar ketimbang pajak penghasilan berperingkat?”  Dalam sebuah tugas penggunaan, seorang siswa harus mendaftar semua penggunaan yang mungkin dari sebuah objek, seperti “Apa saja penggunaan yang mungkin dari World Wide Web?”  Hampir tidak mungkin adanya menggunakan format pilihan jamak untuk meng-ases proses-proses pemunculan.
6.2   MERENCANAKAN 
Merencanakan melibatkan perancangan sebuah metode solusi yang memenuhi sebuah kriteria masalah, yakni, mengembangkan sebuah rencana untuk memecahkan masalah.  Dalam merencanakan, seorang siswa dapat membuat sub-sub-tujuan, atau memecah sebuah tugas menjadi sub-sub-tugas yang akan dilaksanakan ketika memecahkan masalah.  Guru-guru sering tidak melakukan langkah menyatakan tujuan perencanaan, malahan menyatakan tujuan-tujuan dalam kaitannya dengan memproduksi, tahap akhir dari proses kreatif.  Ketika hal ini terjadi, merencanakan diasumsikan atau tersirat dalam tujuan memproduksi.  Dalam kasus ini, merencanakan kemungkinan dilaksanakan oleh siswa secara tertutup selama kegiatan mengkonstruksi sebuah produk (yakni, memproduksi).  Sebuah istilah alternatif untuk merencanakan adalah mendesain.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam merencanakan, ketika diberi sebuah pernyataan masalah, seorang siswa mengembangkan sebuah metode solusi.  Dalam sejarah, sebuah contoh tujuannya adalah agar siswa mampu merencanakan sebuah makalah riset tentang topik-topik sejarah yang tersedia.  Sebuah tugas asesmennya meminta siswa, sebelum menulis sebuah makalah riset tentang sebab-sebab munculnya gerakan Kebangkitan Nasional pada era kolonialisme Belanda di Indonesia, menyampaikan sebuah kerangka-pikir dari makalahnya, mencakup langkah-langkah yang akan diikutinya untuk melaksanakan risetnya.  Dalam IPA, sebuah contoh tujuannya ialah agar siswa dapat belajar mendesain studi-studi untuk mengetes berbagai hipotesis.  Sebuah tugas asesmennya meminta siswa merencanakan sebuah cara untuk menentukan yang mana dari tiga faktor yang menentukan tingkat osilasi sebuah pendulum.  Dalam matematika, sebuah tujuannya ialah agar siswa mampu menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah geometri.  Sebuah tugas asesmennya meminta para siswa merancang sebuah rencana untuk menentukan volum dari bagian dasar sebuah piramida (sebuah tugas yang sebelumnya tidak dipelajari di kelas).  Rencana ini dapat melibatkan penghitungan volume piramida besar, kemudian menghitung volum piramid kecil, dan terakhir mengurangkan volume yang lebih besar dengan volum yang lebih kecil.
FORMAT ASESMEN    Merencanakan dapat di-ases dengan meminta para siswa mengembangkan solusi-solusi yang terkaji, mendeskripsikan rencana solusi, atau memilih rencana solusi untuk suatu masalah yang tersedia.
6.3   MEMPRODUKSI
Memproduksi melibatkan pelaksanaan sebuah rencana untuk memecahkan sebuah masalah yang ada yang memenuhi spesifikasi-spesifikasi tertentu.  Sebagaimana sudah kita ketahui, tujuan-tujuan dalam kategori Mengkreasi dapat atau tidak dapat mengikutsertakan orsinalitas atau keunikan sebagai salah satu spesifikasi.  Demikian juga halnya dengan tujuan-tujuan memproduksi.  Memproduksi dapat mempersyaratkan koordinasi empat tipe pengetahuan yang dideskripsikan dalam Tipe-tipe Pengetahuan di atas.  Sebuah istilah alternatifnya adalah mengkonstruksi.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI    Dalam memproduksi, seorang siswa diberi sebuah deskripsi fungsional tentang sebuah tujuan dan harus mengkreasi sebuah produk yang memenuhi deskripsi tersebut.  Ia melibatkan pelaksanaan sebuah rencana solusi untuk sebuah masalah yang ada.  Contoh tujuan-tujuannya melibatkan pem-produksian produk-produk baru dan bermanfaat yang memenuhi persyaratan tertentu.  Dalam sejarah, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat belajar menulis makalah mengenai periode historis tertentu yang memenuhi standar yang dispesifikasi oleh para ahli.  Sebuah tugas asesmennya meminta siswa menulis sebuah kisah singkat yang terjadi selama masa jaya Gajah Mada.  Dalam IPA, sebuah tujuannya ialah agar siswa dapat belajar mendesain habitat untuk spesies tertentu dan kepentingan tertentu.  Sebuah tugas asesmennya yang sesuai meminta siswa mendesain wilayah-wilayah penghidupan dari sebuah stasiun angkasa luar.  Dalam sastra Indonesia, sebuah tujuannya ialah agar siswa dapat belajar mendesain latar (set) untuk suatu drama.  Sebuah tugas untuk asesmennya yang sesuai meminta siswa mendesain latar untuk sebuah produksi siswa dengan judul Kecap Buatan Indonesia.  Dalam semua contoh ini, spesifikasi-spesifikasi menjadi kriteria untuk pengevaluasian kinerja siswa berkaitan dengan tujuannya.  Spesifikasi-spesifikasi ini, maka, hendaknya diikutsertakan dalam rubrik penskoran yang diberikan kepada siswa sebelum asesmen dilakukan.
FORMAT ASESMEN    Sebuah tugas umum untuk peng-ases-an pemroduksian  adalah sebuah tugas desain, dalam mana siswa diminta mengkreasi sebuah produk yang sesuai dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu.  Misalnya, para siswa dapat diminta memproduksi rencana skematik untuk sebuah SMA baru yang mengikutsertakan cara-cara baru bagi para siswa untuk menyimpan secara nyaman barang-barang pribadi mereka.



Mengenali-ulang
Mengingat-ulang
Menginterpretasi
Menyontohkan
Mengklasifikasi
Mengikhtisarkan
Menyimpulkan
Membandingkan
Mengeksplanasi
Mengeksekusi
Mengimplementasi
Membeda-bedakan
Mengatribusi
Mengecek
Mengeritik
Memunculkan
Merencanakan
Memproduksi
Diagram 8    Ikhtisar Taksonomi Bloom
Mengorganisasi








·     Pedagogical zone
·     Higher ordered thinking
·     Meaningful learning

·     Dangerous zone jika pembelajaran hanya ini
·     Lower ordered thinking
·     Rote learning

                                                Diagram 9     TBT - Pedagogi























IV.   ICK AFEKTIF


A.   Pendidikan Afektif Krathwohl

Taksonomi ranah afektif Krathwohl, disusun bersama Bloom dan Masia (1973), barangkali taksonomi yang paling dikenal orang dalam bidang afektif. "Taksonomi ini ditata sesuai dengan prinsip internalisasi.  Internalisasi merujuk pada proses perasaan/sikap terhadap sebuah objek yang berkisar dari sebuah tingkatan kesadaran yang umum/hanya menyadari sesuatu/menjadi melek nilai, ke tingkatan dimana perasaan tersebut ‘terinternalisasi’ dan secara konsisten membimbing atau mengontrol tingkah laku seseorang (Seels & Glasgow, 1990, p. 28)."  Demikianlah, bahwa afeksi adalah proses mental atau kesadaran pada sisi emosi utamanya, berkenaan dengan perasaan atau sikap positif-negatif; juga, bahwa puncak pendidikan afeksi dengan kata lain adalah habits of mind, kebiasaan kesadaran atau batin atau jiwa.  Tetapi ini tidak berarti tidak diikutsertakannya habits of action dalam perilaku-perilaku ideal.  
"Taksonomiartinya adalahklasifikasi”, maka taksonomi tujuan-tujuan belajar adalah sebuah upaya untuk mengklasifikasi bentuk-bentuk dan tingkat-tingkat belajar. Taksonomi mengidentifikasi tiga “ranah” belajar, masing-masing ranah ini diorganisasikan sebagai serangkaian tingkatan atau secara pre-requisites.  Ini menyarankan bahwa seseorang tidak dapat secara efektif – jangan mencoba untuk – menguasai tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi sebelum tingkatan yang lebih rendah dikuasai.  Taksonomi menyarankan topik-topik dalam kurikulum disajikan secara runtunan, juga menyarankan suatu cara kategorisasi tingkatan-tingkatan belajar. Karena itu, misalnya, dalam ranah kognitif, pendidikan untuk teknisi bisa jadi mencakup pengingatan, pemahaman dan penerapan, tetapi tidak berkepentingan dengan analisis dan yang di atasnya, sedangkan untuk pendidikan profesional bisa jadi mencakup analisis, evaluasi, dan kreasi.
Adapun susunan taksonomi afektif Krathwohl  (Krathwohl dkk.,1964, tersedia di: http://www.learningandteaching.info/learning/ bloomtax.htm. 01.08.10) sebagaimana disajikan pada diagram di bawah ini.

Ranah afektif (Krathwohl, Bloom, Masia, 1973) cara kita menghadapi suatu hal secara emosional, seperti perasaan-perasaan, nilai-nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Lima kategorinya dimulai dari perilaku yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks:



Tabel 10  Taksonomi Krathwohl
Kategori
Contoh dan Kata Kunci (Verba)


Receiving/Menerima fenomena:
·         Individu mulai sadar secara positif akan fenomena
Contoh: Mendengarkan orang lain dengan hormat.  Memperhatikan dan mengingat nama orang yang baru diperkenalkan.
Kata Kunci: bertanya, memilih, mendekripsikan, mengikuti, memberi, mengidentifikasi, menunjukkan tempat, menyebutkan nama, menunjukkan, memilih, duduk, berdiri, menjawab, menggunakan.


Responding/Merespon terhadap fenomena:
·         Berpartisipasi aktif mempelajari sesuatu.  Memperhatikan dan mereaksi terhadap fenomena tertentu.
·         Hasil-hasil belajar dapat menekankan keinginan untuk merespon, kepatuhan dalam merespon, atau kepuasan dalam merespon.
Contoh: Berpartisipasi dalam diskusi kelas. Memberikan sebuah presentasi. Mengajukan pertanyaan tentang cita-cita, konsep-konsep, model-model baru, dan lain-lain dalam rangka memahami secara penuh. Mengetahui peraturan keamanan dan mempraktikkannya.
Kata Kunci: menjawab, membantu, menyediakan bantuan, mematuhi, menyesuaikan diri, mendiskusikan, menyambut, memnberi label, melaksanakan, mempraktikkan, menyajikan, membaca,  melaporkan, memilih, mengatakan, menulis.
Valuing/Menilai:
·         Harga,  nilai atau anggapan penting yang seseorang berikan pada sebuah fenomena tertentu.
·         Ini berkisar dari persetujuan sederhana hingga keadaan komitmen yang lebih kompleks terhadap nilai.
·         Penilaian didasarkan atas internalisasi sehimpunan nilai spesifik  
·         Keping-keping petunjuk untuk nilai-nilai ini terekspresikan dalam perilaku terbuka (overt) si pebelajar dan sering dapat didentifikasi.
Contoh: Mendemonstrasikan keyakinan terhadap proses demokratis.  Peka terhadap perbedaan individual dan kultural (keanekaragaman nilai). Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah. Mengajukan sebuah rencana untuk pembaikan sosial dan melaksanakannya dengan komitmen. Memberitahukan kepada manajer hal-hal yang dirasakan dengan kuat.
Kata Kunci: menyelesaikan, mendemonstrasikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti, membentuk, berprakarsa, mengundang, bergabung, menjustifikasi, mengusulkan, membaca, melaporkan, memilih, berbagi, melakukan studi, bekerja.




Organization/Mengorganisasi:
·         Mengorganisasai nilai-nilai menjadi prioritas-prioritas melalui: mempertentangkan berbagai nilai, memecahkan konflik di antara nilai-nilai ini, dan menciptakan sebuah sistem nilai yang unik.   
Contoh: Mengenali kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan perilaku bertanggung jawab. Menerima tanggung jawab atas perbuatan sendiri. Menjelaskan peranan dari perencanaan sistematis dalam memecahkan masalah. Menyetujui standar etis profesional. Menciptakan sebuah rencana kehidupan yang harmoni dengan kemampuan, minat, dan keyakinan. Memprioritaskan waktu secara efektif untuk memenuhi kebutuhan organisasi, keluarga, dan diri sendiri.
Kata kunci: menganut, mengubah, menyusun, mengkombinasikan, membandingkan, menyelesaikan, mempertahankan, menjelaskan, memformulasikan, mengeneralisasi, mengidentifikasi, memadukan, memodifikasi, menata, mengorganisasi, mempersiapkan, menghubungkan, mensintesis.


 Characterization/Karakterisasi/Internalisasi nilai:
·         Memiliki sebuah sistem nilai yang mengontrol perilaku.
·         Perilaku adalah pervasive (hadir dimana-mana, selalu ada), konsisten, prediktif, dan yang paling penting, merupakan karakteristik seseorang.
Contoh: Memperlihatkan kebergantungan pada diri sendiri ketika bekerja secara mandiri. Bekerja sama dalam aktivitas kelompok (memperlihatkan kerja-tim). Menggunakan sebuah pendekatan objektif dalam memecahkan masalah. Memperlihatkan komitmen profesional pada praktik etis secara harian. Memperbaiki pertimbangan-pertimbangan dan mengubah perilaku berdasarkan evidensi baru. Menghargai orang sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampakannya.
Kata Kunci: bertindak, membedakan, memperlihatkan, mempengaruhi, mendengarkanmemodifikasi, mengerjakan, mempraktikkan, mengusulkan, mengkualifikasi, bertanya, memperbaiki, melayani/bertugas, memecahkan, memverifikasi.
     Catatan penulis: Utamakan untuk memahami kategori/konsepnya, jangan hanya menggunakan kata-kata kuncinya sementara tidak memahami konsepnya.

Kita dapat bayangkan posisi siswa sebelum diperkenalkan dengan nilai-nilai baru adalah nol, tidak tahu, netral, atau mungkin negatif atau menolak. Ini harus dipersiapkan oleh guru sebelum memulai pengajarannya. Karena itu, menurut penulis, tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl ini ketika dimanfaatkan oleh guru dalam pengajaran, lengkapnya adalah sebagaimana berikut ini:

 
                                                                                                                         
                                   Diagram 10   Taksonomi Krathwohl



                Implementasi Krathwohl.  Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa taksonomi ini berkenaan dengan perasaan/sikap terhadap sesuatu, misalnya, perasaan individu siswa terhadap ide demokrasi,  konsep gotong royong (PKn), atau ide solat (PAI).  Perasaan ini harus tumbuh natural/sewajarnya pada diri siswa.  Sangat mungkin adanya perasaan ini tumbuh dalam waktu yang lama, khususnya untuk pencapaian tingkatan tertinggi: karakterisasi oleh nilai.
                Perasaan yang sudah tumbuh hendaknya relatif ajek (reliable) dan dengan frekuensi yang cukup atau muncul berkali-kali.  Jika perasaan negatif saling berganti dengan perasaan positif, apa lagi hanya perasaan negatif yang sering muncul (dalam bentuk penolakan, skeptis, tidak acuh/peduli, menghindar, antipati, benci), ini pertanda tingkatan yang pertama saja (receiving/menerima) belum tercapai oleh siswa.
                Barangkali tidak semua SK-KD (standar kompetensi dan kompetensi dasar), misalnya, dalam mata pelajaran IPA menuntut dilaksanakannya pendidikan karakter ini.  Tetapi SK-KD yang mana saja yang menuntut pelaksanaan pendidikan karakter?  Ini sebuah pertanyaan yang belum banyak terjawab oleh para guru.  Kurikulum IPA SD internasional Cambridge, sejak kelas tiga hingga kelas enam, menghendaki para siswa menguasai kompetensi keterampilan proses inquiri, di samping isi IPA (konsep dan fakta IPA).  Dapat dibayangkan para siswa ini selama empat tahun pelajaran IPA belajar keterampilan inquiri, dan ini tidak mungkin hanya berupa keterampilan mekanis belaka.  Akan lebih baik jika pendidikan karakter menyertai pendidikan keterampilan ini, yaitu dalam rangka pengembangan karakter ilmuwan/saintis. Dalam hal ini guru dapat menerapkan taksonomi Krathwohl.  Puncak keberhasilannya adalah siswa yang dikarakterisasi oleh nilai-nilai metode inquiri, antara lain: menolak mengambil simpulan jika tidak ada datanya, menghindari pengambilan putusan berdasarkan perasaan belaka, meminta teman-temannya untuk turut meninjau apa yang dikerjakannya, menuntut pengujian empiris atas suatu ide, memiliki rasa ingin tahu yang kuat.
                Tugas guru IPA SD internasional Cambridge yang baik, tidak hanya mengajar isi IPA dan metode inquiri, tetapi juga memfasilitasi agar karakter ilmuwan tumbuh pada para siswanya.  Fasilitasinya adalah dalam bentuk penyediaan pengalaman belajar yang sesuai.




Tabel 11  Isi dan Pengalaman Belajar Utuh
Jenis Pendidikan
Isi Pendidikan
Pengalaman Belajar
Ilustrasi
Pendidikan kognitif
Isi ilmu (konsep dan fakta)
Pengalaman empiris dan konseptualisasinya
Eksperimen pemuaian logam melalui pemanasan dan berupaya memahami hukum pemuaian logam
Pendidikan psikomotor
Keterampil-an metode inquiri
Pengalaman empiris dan konseptualisasi/pemaham-an logika inquiri, dan berlatih menggunakannya.
Eksperimen pemuaian logam melalui pemanasan dan berupaya memahami logika eksperimen.
Pendidikan afektif
Karakter ilmuwan
Belajar menyukai metode inquri, atau perkembangan sikap positif siswa selama mempraktikkan metode inquiri
Upaya pengembangan respon-respon perasaan /sikap (positif) siswa selama mempraktikkan metode inquiri.


                Memperhatikan rumusan pengalaman belajar pendidikan afektif di atas, dan dengan menghubungkannya dengan pengalaman belajar pendidikan psikomotor dan kognitif, dapat disimpulkan bahwa pendidikan afektif harus menyertai pendidikan psikomotor dan kognitif, dan jika tidak demikian, diduga kuat pendidikan akan gagal.
Hasil-hasil belajar, kognitif, psikomotor, dan afektif, ada yang dicapai dalam jangka panjang (satu semester, satu tahun, atau selama bersekolah) dan ada yang dicapai dalam jangka pendek dalam satu atau dua pertemuan.  Kebiasaan para guru dewasa ini adalah berorientasi pada hasil-hasil jangka pendek pembelajaran, melalui sebuah RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) diharapkan seperangkat tujuan pembelajaran selesai dicapai oleh para siswa di kelas.  Tetapi sebetulnya, ada tujuan-tujuan pembelajaran yang pencapaiannya dilakukan dalam jangka panjang.
                Tujuan pembelajaran dalam pendidikan afektif sebagaimana dideskripsipkan di atas, cenderung dicapai dalam jangka panjang.  Dalam kasus SD internasional Cambridge tersebut, tujuan afektif karakter ilmuwan dicapai melalui mata pelajaran IPA mereka mulai dari kelas tiga hinggak kelas enam.  Dalam kasus ini, guru IPA kelas tiga hingga kelas enam sebaiknya bekerja sama dalam rangka mengorganisasi pendidikan karakter ilmuwan ini dan bagaimana pembagiannnya di tiap jenjang kelas.  Untuk memenuhi hal ini, langkah pertama yang hendaknya mereka lakukan adalah merumuskan indikator-indikator karakter ilmuwan ini, kemudian mendistribusikannya untuk setiap jenjang kelas.
                Untuk menutup taksonomi Krathwohl ini, penulis menyajikan saran indikator-indikator karakter ilmuwan tersebut di atas berdasarkan taksonomi tersebut.


Tabel 12  Indikator Capaian Kompetensi Ilmuwan
Taksonomi
Beberapa Indikator Karakter Ilmuwan 
 Menerima
·         Berupaya mendengarkan dengan baik penjelasan guru tentang metode inquiri.
·         Merespon dengan perkataan rencana guru untuk penugasan pelaksanaan inquiri.
Merespon
·         Menggunakan waktu luang untuk bertanya-tanya tentang metode inquiri.
·         Memuji inquiri sebagai cara belajar penemuan.
·         Mengikuti proses inkuiri secara antusias.
 Menilai
·         Aktif dalam perancangan inquiri bersama anggota-anggota kelompok.
·         Berdebat (mendukung) tentang metode inquiri.
·         Mempunyai usul-usul untuk dilakukannya inkuiri.
Mengorganisasi
·        Mendiskusikan metode inquiri dalam hubungannya dengan hal lain (membandingkan nilai-nilai).
·        Menentukan prioritas nilai-nilai inquiri di tengah sistem nilai lainnya.
·        Memilah-milah inquiri dan cara lainnya
Karakterisasi diri oleh nilai
·         Menghendaki dilakukannya inkuiri
·         Memiliki proyek inquiri pribadi

B.   Pendidikan Karakter Lickona[1]
Dr. Thomas Lickona, seorang psikologiwan perkembangan dan pendidik, memiliki otoritas yang dihargai secara internasional dalam perkembangan moral dan pendidikan nilai.  Ia adalah Profesor Pendidikan di the State University of New York at Cortland, tempat ia mengerjakan karya pemenang penghargaan dalam pendidikan guru dan saat ini (1992) memimpin the Teachers for the 21st Century Project.  Ia pernah menjadi presiden dari the Association for Moral Education, juga pernah mengajar di universitas Boston dan Harvard dan sering menjadi pembicara di konferensi-konferensi dan lokakarya-lokakarya untuk para guru, orang tua, pendidik agama, dan kelompok-kelompok lainnya mengenai nilai-nilai dan karakter para pemuda. Ia telah memberikan kuliah di USA, Canada, Jepang, Irlandia, dan Amerika Latin.
                Kerja dua puluh tahun Dr. Lickona dalam pendidikan guru dan orang tua termasuk konsultasi dengan sekolah-sekolah di banyak kota tentang implementasi pendidikan nilai dan karakter.  Ia menyandang Ph.D. dalam psikologi dari the State University of New York at Albany dan telah mengerjakan riset tentang pertumbuhan pemahaman moral anak-anak.  Tulisannya Moral Development and Behavior digunakan luas di studi pascasarjana dan bukunya Raising Good Children (lebih dari 150.000 eksemplar) mendapat pujian karena menerjemahkan riset tentang perkembangan moral kedalam bahasa dan pengalaman orang tua.  Ia menjadi pembicara di banyak pertunjukkan wacana radio dan televisi, termasuk Good Morning America, Larry King Live, dan Latenight America.  Pada 1984 ia dianugrahi a State University of New York Exchange Scholar.
                Bagian tulisan ini akan menyajikan karya Lickona yang berjudul Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (1992), secara ringkas.  Karyanya ini fokus pada pendidikan sekolah secara komprehensif.  Isi bukunya dapat dikatakan terdiri atas tiga bagian: konsep nilai moral, kompetensi-kompetensi karakter, dan strategi-strategi pendidikan karakter.
                Nilai- nilai yang harus diajarkan sekolah.  Lickona (1992) memulai uraiannya tentang pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut ini:

(1)    Terdapat nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati secara universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan
(2)    sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga membantu mereka memahami, menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut.          

                Adapun yang dimaksudkannya dengan nilai, ada dua jenis: moral dan nonmoral.  Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketidakmemihakan mengandung kewajiban.  Kita merasa wajib memenuhi jani, membayar hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara.  Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan.  Kita harus terikat pada nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak menyukainya.
                Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian.  Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita inginkan atau sukai untuk kita lakukan.  Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan mendengarkan musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel yang  bagus.  Tapi jelas adanya saya tidak terkena kewajiban untuk melakukannya.
                Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi dua kategori: universal dan nonuniversal.  Nilai-nilai moral universal – seperti memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai penghidupan mereka, kebebasan, dan kesetaraan – mengikat semua orang dimanapun karena mereka nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental dan martabat manusia.  Kita memiliki hak dan bahkan suatu kewajiban untuk menuntut semua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral universal tersebut.
                Pada 1948 PBB mengakui validitas universal nilai-nilai moral dasariah dengan mengadopsi the Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Manusia).  Dokumen bermakna historis ini menegaskan bahwa setiap warga dari setiap bangsa memiliki hak untuk: kehidupan, kebebasan, dan bebas dari serangan pribadi; bebas dari perbudakan; diakui di depan hukum dan praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah; bebas dari penganiayaan; kebebasan nurani dan religi; kebebasan berekspresi; kehidupan pribadi, keluarga, dan berkorespondensi; kebebasan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas; pendidikan; dan standar penghidupan yang cukup untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan.  Memang, tidak semua bangsa secara konsisten menghargai hak-hak ini secara aktual dalam memperlakukan warga mereka.  Tetapi kegagalan-kegagalan menegakkan Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia ini tentunya menolak secara telak validitas universal nilai-nilai moral yang mendasari dokumen tersebut.
                Nilai-nilai moral nonuniversal, berbeda halnya, tidak mengandung kewajiban moral universal.  Ini adalah nilai-nilai – seperti kewajiban spesifik pada sebuah religi (yakni, bersembahyang, berpuasa, mengikuti hari suci) – yang dirasakan sebagai kewajiban pribadi serius bagi seseorang.  Tetapi saya tidak memberlakukan kewajiban yang dirasakan pribadi ini pada orang lain.
                Demikianlah pandangan Lickona tentang nilai-nilai  moral.  Namun penulis merasakan ada yang kurang, terdapat  nilai-nilai lainnya yang belum tercakup dalam sistem nilai Lickona tersebut, misalnya, membungkukkan badan sebagai tanda hormat.  Ini dapat dipandang sebagai wajib dilakukan dalam suatu kelompok sosial, tetapi yang tidak melakukannya rasanya tidak pantas untuk disebut tidak bermoral.  Hal tersebut berkenaan dengan sopan santun pergaulan.  Penulis menduga, etiket ini masih bagian dari nilai moral, dan statusnya mendukung nilai moral tersebut.  Etiket, sopan santun, seperti membungkukan badan, menganggukkan kepala, senyum, turut mendukung moralitas yang sifatnya lebih fundamental.   
                Sehubungan dengan hal tersebut ada yang membedakan nilai etik atau etis dan etiket.  Nilai etik sama dengan nilai moral, dan etiket adalah nilai-nilai sopan-santun dalam suatu kelompok sosial. Karena itu, menurut penulis, kita harus membedakan nilai-nilai demi survival kemanusiaan dan masyarakat secara menyeluruh, yaitu nilai moral; dan yang kurang berkenaan dengan hal ini tetapi mendukungnya, yakni etiket.

                                Diagram 11    Klasifikasi Nilai-Nilai
                  
                  

                Pilihan nilai Lickona.  Hukum moral natural yang mendefinisikan agenda moral sekolah publik dapat diekspresikan sebagai berikut: respect and responsibility (menghargai dan pertanggungjawaban).  Nilai-nilai ini membentuk inti dari moralitas publik, dan universal.  Nilai-nilai ini memiliki manfaat yang objektif, dapat dibuktikan dalam hal mereka mempromosikan kebaikan individu dan kebaikan masyarakat secara menyeluruh.  Nilai-nilai ini niscaya untuk:

·         Perkembangan pribadi yang sehat
·         Menjaga perhubungan antarpribadi
·         Sebuah masyarakat manusia dan demokratik
·         Sebuah dunia yang adil dan damai

                Respect and responsibility adalah “R ke empat dan ke lima” yang sekolah-sekolah tidak hanya dapat tetapi juga harus ajarkan agar sekolah-sekolah mengembangkan pribadi-pribadi yang melek etis yang dapat menempati posisi  sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab.

                                Diagram 12    Five Rs Lickona


                Respect berarti memperlihatkan rasa menghargai terhadap nilai/harga dari seseorang atau sesuatu.  Ia memiliki tiga bentuk utama: menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, dan menghargai semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang membuat kehidupan berkelanjutan.
                Menghargai diri mempersyaratkan kita memperlakukan kehidupan dan pribadi sendiri sebagai memiliki nilai bawaan (dari Sang Pencipta). Karena itu, terlibat dalam perilaku perusakan diri seperti penyalahgunaan ‘narkoba’ dan alkohol adalah salah.  Menghargai orang lain mempersyaratkan kita memperlakukan semua manusia lain – bahkan mereka yang tidak kita sukai – sebagai memiliki martabat dan hak-hak yang sama dengan kita.  Inilah inti dari the Golden Rule (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda berharap orang lain berbuat kepada anda”).  Menghargai keseluruhan jaringan kompleks kehidupan melarang kita menganiaya khewan dan menuntut kita bertindak dengan peduli terhadap lingkungan alam, ekosistem rapuh tempat semua kehidupan bergantung.
                Bentuk-bentuk penghargaan yang lainnya berasal dari hal-hal tersebut.  Menghargai hak milik, misalnya, berasal dari pemahaman bahwa hak milik adalah suatu perpanjangan dari suatu pribadi atau suatu komunitas pribadi-pribadi.  Menghargai otoritas berasal dari pemahaman bahwa figur-figur otoritas legitimatif diberi amanah untuk menjaga/mengurus orang-orang lain.  Tanpa figur-figur ini, anda tidak dapat menjalankan keluarga, sekolah, atau negara.  Jika orang-orang tidak menghargai otoritas, banyak hal tidak berjalan dengan baik dan setiap orang menderita.
                “Tenggang rasa”, yang adalah salah satu bentuk dari etiket, juga berasal dari penghargaan terhadap orang.  Contohnya antara lain, meminta maaf jika akan memotong pembicaraan, mengucapkan permisi ketika akan meminta jalan, mengucapkan terima kasih atas pujian orang lain.
                Menghargai manusia tidak hanya untuk kehidupan harian dalam lingkungan terbatas, nilai-nilai ini bahkan mendasari prinsip-prinsip demokrasi.  Karena saling menghargai, orang-orang menciptakan konstitusi yang menuntut pemerintah melindungi, bukan menzalimi, hak-hak dari orang-orang yang diperintah.
                Responsibility.  Pertanggungjawaban adalah perpanjangan dari penghargaan terhadap manusia.  Jika kita menghargai orang lain, kita menganggapnya bernilai.  Jika kita menganggapnya bernilai, kita merasakan suatu ukuran pertanggungjawaban atas kesejahteraannya. 
                Pertanggungjawaban (responsibility) secara harfiah berarti “kemampuan merespon”.  Ini berarti berorientasi terhadap orang-orang lain, mencurahkan perhatian terhadap mereka, merespon secara aktif terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka. Pertanggungjawaban menekankan kewajiban-kewajiban positif untuk saling menjaga antarorang.
                Arti lain dari pertanggungjawaban, yakni dapat dipercaya, tidak membiarkan orang lain mengalami kekecewaan.  Kita menolong orang dengan cara memenuhi komitmen kita, dan kita menciptakan masalah bagi mereka ketika kita tidak memenuhinya.  Pertanggungjawaban berarti pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas – dalam keluarga, di sekolah, di tempat kerja – sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan kita. 
                Nilai-nilai moral lainnya.  Kejujuran, ketidakmemihakan, toleransi, kehati-hatian, disiplin-diri, penolong, berbelas-kasih, kerja sama, keberanian, dan sehimpunan nilai demokratis.  Nilai-nilai spesifik ini adalah bentuk-bentuk dari menghargai orang dan/atau pertanggungjawaban atau membantu dalam berbuat secara berharga dan bertanggung jawab.
                Menghadapi orang lain dengan jujur, tidak menipu mereka, tidak meliciki mereka, atau mencuri dari mereka – adalah cara yang dasariah untuk menghargai mereka.  Demikian juga halnya dengan ketidakmemihakan, yang menuntut kita memperlakukan orang lain secara tidak memihak dan tidak menerapkan cara pilih kasih.
                Toleransi, juga mengekspresikan penghargaan terhadap orang lain.  Meskipun toleransi dapat tergelincir menjadi suatu relativisme netral yang terarah untuk menghindar dari pertimbangan etis, akar makna toleransi adalah salah satu marka penting dari peradaban.  Toleransi adalah sikap tidak memihak dan objektif terhadap mereka yang memiliki ide, ras, dan ajaran yang berbeda dari kita.  Toleransi adalah pencipta rasa aman bagi dunia yang beraneka ragam.
                Kehati-hatian, berarti tidak membiarkan diri kita berada dalam bahaya fisik dan moral.  Disiplin-diri berarti tidak mengizinkan diri untuk terlibat dalam kesenangan yang meruntuhkan martabat diri dan merusak diri tetapi berjuang untuk kebaikan kita – dan mengupayakan kesenangan yang sehat secara tidak berlebihan.  Disiplin diri juga membantu kita untuk menunda kesenangan, mengembangkan bakat-bakat kita, bekerja untuk tujuan jangka panjang, dan membuat sesuatu untuk penghidupan kita.  Ini semua adalah bentuk-bentuk dari penghargaan terhadap diri sendiri.
                Sama halnya, nilai-nilai seperti penolong, berbelas-kasih, dan kerja sama membantu kita dalam melaksanakan nilai etis yang lebih luas pertanggung jawaban.  Spirit penolong membuat orang merasa senang dalam mengerjakan kebaikan.  Berbelas-kasih (berarti “ikut merasa menderita”) membantu kita tidak hanya untuk mengetahui pertanggungjawaban kita tetapi juga merasakannya.  Kerja sama dimulai dengan pengetahuan bahwa manusia hidup bersama manusia lainnya dan bahwa, di dunia yang orang-orang dan masyarakat-masyarakat semakin saling bergantung, kita harus bekerja sama ke arah tujuan-tujuan yang dasariah untuk survival manusia.
                Keberanian moral bersifat membantu bagi penghargaan dan pertanggungjawaban.  Keberanian membantu anak-anak muda untuk menghargai diri mereka sendiri dengan menolak tekanan teman sebaya untuk melakukan hal-hal yang merugikan kesejahteraan mereka.  Keberanian membantu kita untuk menghargai hak-hak orang lain ketika kita menghadapi tekanan untuk bergabung dalam gerombolan yang akan melakukan kejahatan.  Keberanian juga membantu kita melakukan tindakan tegas, positif atas nama orang lain.
                NilaI-nilai demokrasi membantu menciptakan sebuah masyarakat yang berdasarkan atas penghargaan dan pertanggungjawban.  Kekuasaan berdasarkan hukum, kesempatan yang sama, hak warga akan keadilan, argumentasi bernalar, pemerintahan perwakilan, checks and balances, pembuatan putusan demokratis—semuanya adalah “nilai-nilai prosedural” yang membentuk demokrasi.
                Demokrasi pada giliran berikutnya, adalah cara terbaik yang kita ketahui hingga saat ini untuk menjamin hak-hak individu (penghargaan terhadap orang) dan mempromosikan kesejahteraan bersama (bertindak secara bertanggung jawab untuk kebaikan semua orang).  Mengajarkan pemahaman dan apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis ini—dan bagaimana nilai-nilai ini dibuat menjadi realitas melalui hukum—adalah peranan sentral sekolah.  Nilai-nilai ini juga membantu kita mendefinisikan jenis “patriotisme” yang harus diajarkan sekolah.  Dalam masyarakat demokratis, patriotisme tidak berarti “benar atau salah adalah negaraku”; patriotisme berati kesetiaan pada nilai-nilai demokrasi yang luhur yang menjadi dasar dari pendirian negara.
                Untuk kita, bangsa Indonesia, jenis-jenis nilai moral yang dikemukakan oleh Lickona bersifat kurang, ada satu tambahan yang kita perlukan, yaitu: respect and responsibility to God.  Karena itu lengkapnya jenis nilai moral fundamental ini lengkapnya sebagaimana bagan di bawah ini.

                                                Diagram 13   Jenis-jenis Nilai Moral

               
                Kompetensi-kompetensi karakter Lickona. Bagian berikut ini merupakan teori tentang sebuah sistem karakter Lickona, dengan tiga ranah: pengetahuan, perasaan, dan tindakan.  Ketiga ranah ini saling berhubungan, saling berinteraksi, dan saling merembesi.  Lickona berbeda dari Krathwohl, dalam hal dalam sistem Lickona pengetahuan, perasaan, dan tindakan terpisah secara tajam pada tataran analitik, sedangkan dalam sistem Krathwohl pemisahan yang demikian tidak terdapat.  Keduanya wajib dipelajari agar repertoire  (perbendaharaan kinerja) guru bertambah kaya.  Berikut ini akan dipaparkan sistem karakter Lickona ini, penulis menambahinya dengan interpretasi penulis dengan tujuan agar lebih mudah dipahami, juga pengalaman belajar yang relevan untuk masing-masing subkomponen dari setiap ranah merupakan tambahan penulis. Pengembangannya oleh guru, dapat dilakukan dengan cara memahami setiap subkomponen pendidikan karakter ini, kemudian memadankannya dengan SK-KD-Indikator yang terdapat dalam KTSP atau tujuan-tujuan pendidikan karakter yang menjadi visi-misi sekolah.

 

Diagram 14   Kompetensi-kompetensi Karakter Lickona

Tabel 13  Kompetensi-Kompetensi Karakter Lickona
Pengetahuan moral
1.       Kesadaran moral
Definisi:  Melek moral atau ketajaman (dalam menangkap/melihat)  moral, antonimnya adalah buta moral.  Ini adalah kemampuan menangkap isu moral, yang sering implisit, dari suatu objek/peristiwa.  Kompetensi ini menurut hemat penulis sama dengan kemampuan C2 (memahami, khususnya, interpretasi) dari Taksonomi Tujuan-Tujuan Kognitif Bloom.  Dalam bahasa Lickona sendiri, kesadaran moral adalah kemampuan: “… to use their intelligence to see when a situation requires moral judgment—and then to think carefully about what the right course of action is.” (… menggunakan kecerdasan mereka untuk melihat kapan sebuah situasi mempersyaratkan pertimbangan moral—dan kemudian berpikir secara cermat tentang apa tindakan yang sebaiknya.) 
Orang dapat menangkap secara intuitif sebuah isu moral dari sebuah objek/peristiwa; dan sebaliknya, buta moral.  Contoh orang yang buta moral yaitu orang yang menganggap martabat diri bergantung pada tampilan fisik atau harta.  Ketersinggungan kita ketika menyaksikan orang kaya menganiaya orang miskin adalah contoh ketajaman moral kita.  Rasa haru yang muncul ketika kita menyaksikan perbuatan luhur tertentu, adalah juga contoh ketajaman moral.  Kesadaran moral terjadi sebelum kita melakukan pertimbangan moral dan pembuatan-putusan moral. 


Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang penting bagi para pelajar agar melek moral adalah dengan hidup dalam lingkungan orang-orang yang melek moral (conditioning).  Pendidik harus menjadi teladan dalam ketajaman moral ini.  Selain conditioning, pengalaman-tak-langsung pun penting. Ini dapat dilakukan dengan mempelajari peristiwa-peristiwa historis yang relevan dan  biografi tokoh yang memiliki ketajaman penglihatan moral.  Kasus impresif pada remaja kita menuntut pendidik mendidik para pelajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap nilai-nilai yang penting dalam sebuah budaya dan nilai-nilai yang dapat menghancurkan jati diri para remaja.   Banyak remaja merasa gaul jika bergaya hidup western yang negatif, antara lain mengkonsumsi NAPZA, ber-dugem secara tidak proporsional, mengikuti trends budaya pop secara membabi buta.  Kebalikan dari remaja kita, banyak orang tua buta moral dalam hal korupsi dan yang mewabahi negeri kita.  Pendidik PLS dalam hal ini harus segera bekerja.
Hasil belajar: Dapat mengidentifikasi isu moral dari sebuah objek/peristiwa. Dapat mengeksplisitkan isu moral dari sebuah objek/peristiwa.

2.       Pengetahuan nilai moral
Definisi: Ini adalah ethical literacy, literasi etis, kemampuan hasil belajar teori-teori tentang berbagai nilai etis, seperti: menghargai kehidupan dan kebebasan, bertanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, ketidakmemihakan, toleransi, sopan-santun/tenggang rasa, disiplin diri, integritas (teguh pada prinsip moral), kebaikan hati, berbelas-kasih, dan keberanian.  Literasi etis termasuk pemahaman tentang bagaimana menerapkannya dalam berbagai situasi.  Ini berarti kemampuan menerjemahkan/mengalihbahasakan (translasi) nilai-nilai abstrak menjadi perilaku moral konkrit.
Menurut penulis, beda antara kesadaran moral dan pengetahuan nilai moral adalah bahwa kesadaran moral mempersyaratkan kemampuan menangkap langsung (ketajaman) nilai moral dari sebuah objek atau peristiwa konkrit; adapun pengetahuan nilai moral adalah kemampuan yang terbentuk setelah orang belajar teori-teori nilai (bukan peristiwa konkrit), dalam rangka memahami teori-teori tersebut termasuk memahami aplikasi mereka. 
Pengalaman belajar: Pengalaman belajarnya adalah melalui belajar kognitif, C1-C3 (mengingat, memahami, menerapkan), tentang teori-teori nilai ; dapat disebut sebagai pengajaran nilai-nilai (teaching of values).  Juga, diskusi-diskusi peristiwa-peristiwa konkrit yang melibatkan isu nilai dapat meningkatkan kognisi nilai-nilai pada tataran aplikasi.
Hasil belajar: Menyebutkan nilai moral tertentu. Menginterpretasi nilai moral dari sebuah peristiwa atau komunikasi.  Menerjemahkan nilai moral tertentu. Melakukan ekstrapolasi berdasarkan sebuah nilai tertentu.  Menerapkan nilai moral tertentu pada suatu situasi (baru).

3.       Memahami sudut pandang lain
Definisi: Memahami sudut pandang lain adalah kemampuan menerima sudut pandang orang lain, memahami sebuah situasi sebagaimana orang lain memahaminya, mengimajinasikan bagaimana orang lain berpikir, mereaksi, dan berperasaan.  Kemampuan ini sebuah prasyarat penting untuk perilaku moral sosial, menghargai dan bertanggung jawab terhadap orang lain.
Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang otentik untuk kemampuan ini adalah dengan mempraktikkan pengambilan perspektif (sudut pandang) orang lain pada para siswa.  Pengalaman belajar yang kognitif dapat dilakukan dengan menganalisis sudut pandang orang lain atau budaya lain.
Hasil belajar: Menginterpretasi secara objektif perasaan dan pikiran orang lain.  Menerjemahkan perasaan dan pikiran orang lain.  Mengekstrapolasi perasaan dan pikiran orang lain (Bloom: C2: interpretasi, translasi, ekstrapolasi).

4.       Penalaran moral
Definisi: Memahami makna apa itu bermoral dan mengapa harus bermoral?  Mengapa memenuhi janji itu penting?  Mengapa harus kerja dengan sebaik-baiknya?  Mengapa harus berbagi dengan orang yang membutuhkan?  Ini adalah kemampuan analisis hubungan (C4) dari Bloom.
Penalaran moral anak-anak berkembang, mereka belajar apa yang dapat dianggap sebagai alasan moral yang baik dan alasan moral yang buruk.
Pengalaman belajar: Pengalaman belajarnya adalah melalui belajar kognitif, C4 (analisis), tentang perbuatan bermoral.
Hasil belajar: Menyediakan alasan atas suatu perbuatan moral.  Menjelaskan alasan atas suatu perbuatan moral. Menginterpretasi alasan dari suatu perbuatan moral (Bloom: C2, interpretasi dan C6, kreasi).

5.       Pembuatan putusan
Definisi: Proses orang menjadi memiliki putusan.  Biasanya orang menghadapi masalah atau dilemma moral.  Apa pilihan saya? Apa konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan bagi orang yang terkena pengaruh putusan saya?  Apa tindakan yang memaksimalkan konsekuensi yang baik dan diyakini penting untuk nilai yang dpertaruhkan?
Pengalaman belajar: Mengalami secara simulatif konflik atau dilemma nilai, dapat juga konflik nilai yang dialami orang lain, kemudian membuat putusan nilai, dan mengkajinya.  Menurut Lickona, pendekatan apa-pilihan-saya dan apa-konsekuensi-konsekuensinya untuk membuat putusan-putusan moral telah diajarkan bahkan sejak pada anak pra sekolah.
Hasil Belajar: Memiliki putusan nilai lengkap dengan konsekuensinya yang sudah terkaji secara baik, atas konflik nilai yang tersedia (Bloom: C6, kreasi).
     
6.       Pengetahuan-diri: Kemampuan melihat-kembali perilaku sendiri dan mengevaluasinya.  Pengembangan pengetahuan-diri termasuk kekuatan dan kelemahan karakter diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi kelemahan tersebut, di antaranya yang hampir universal merupakan tendensi manusia, yaitu melakukan apa yang kita inginkan dan kemudian membelanya dengan cara yang tidak adil. 
Pengalaman belajar:  Ini dapat dilakukan dengan meminta siswa membuat “jurnal etis/akhlak/budi pekerti“–dengan mencatat kejadian-kejadian moral dalam penghidupan mereka, respon-respon mereka dalam kejadian moral tersebut, dan adakah respon ini dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Hasil belajar: Perkembangan kejujuran individu dalam melihat diri sendiri.  Perkembangan upaya-upaya mengatasi kelemahan diri.  Iklim sosial kejujuran dalam kelompok (dampak sosial yang mungkin, misalnya jika masing-masing jurnal tersebut didiskusikan dalam kelompok).


Perasaan moral
1.       Hati nurani/nurani
Definisi: Nurani memiliki dua sisi: sisi kognitif—pengetahuan tentang apa yang baik—dan sisi emosional—merasa wajib melakukan apa yang baik.
Nurani yang matang mencakup, di samping merasakan kewajiban moral, juga kapasitas untuk rasa bersalah konstruktif.  Jika nurani anda merasa wajib untuk berbuat sesuatu, anda akan merasa bersalah jika tidak melakukannya.  Ini berbeda dari rasa bersalah destruktif, yang menyebabkan seseorang berpikir, “Saya orang jahat”.  Orang dengan rasa bersalah konstruktif akan berkata, “Saya tidak dapat memenuhi standar saya sendiri. Saya merasakan ini sebagai keburukan, tetapi saya akan lebih baik pada waktu yang akan datang”.  Kapasitas untuk rasa bersalah konstruktif juga membantu kita dalam menolak godaan.
Pengalaman belajar: Berlatih menghadapi kasus-kasus yang menuntut individu mengekspresikan nuraninya adalah sebuah pengalaman belajar yang penting.  Latihan ini akan terbentuk salah satunya melalui stimulasi yang mendorong individu mengekspresikan nuraninya.  Perbuatan dan ucapan yang sesuai nurani perlu mendapat penghargaan atau “dirayakan” untuk menunjukkan bahwa masyarakat atau kelompok menuntut individu untuk berbuat sesuai dengan nurani.  Diskusi kasus-kasus penggunaan atau pengabaian nurani adalah juga pengalaman belajar yang penting.
Hasil belajar: Hasil belajarnya yang otentik adalah kapasitas untuk merasa bersalah dan merasa wajib untuk perbuatn moral.  Pada tatarannya lebih rendah, adalah ekspresi-ekspresi nurani ini melalui kata-kata.
  
2.       Harga diri
Definisi:  Ini adalah kemampuan merasa bermartabat karena memiliki kebaikan atau nilai luhur.
Studi-studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan harga diri yang tinggi lebih resisten terhadap tekanan dari teman-teman sebaya dan lebih mampu mengikuti putusan mereka sendiri ketimbang mereka dengan harga-diri rendah.  Ketika kita menilai secara positif diri kita sendiri, kita lebih mungkin memperlakukan orang lain dengan cara positif. Jika kita menilai rendah diri sendiri atau tidak memiliki harga-diri, akan sulit untuk memperpanjang penghargaan untuk orang-orang lain.  Harga-diri yang tinggi pada dirinya sendiri tidak menjamin karakter yang baik. Sangat mungkin adanya untuk memiliki harga-diri yang didasarkan atas hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan karakter baik—seperti harta, tampilan bagus, popularitas, atau kekuasaan.  Bagian dari tantangan kita sebagai pendidik adalah membantu anak-anak mengembangkan harga-diri positif yang didasarkan atas nilai-nilai seperti tanggungjawab, kejujuran, dan kebaikan hati dan keyakinan pada kapasitas sendiri untuk kebaikan.
Pengalaman belajar:  Perbuatan baik yang dilakukan seseorang sering membuat orang merasa senang atau bahagia karena melakukannya.  Refleksi dan diskusi-diskusi mengenai peritiwa ini barangkali merupakan suatu pengalaman belajar yang penting.
Hasil belajar:  Individu yang puas dengan dirinya sendiri dalam perbuatan baik, dan sebaliknya, merasa tidak senang atau tidak bahagia dalam perilaku buruk.

3.       Empati
Definisi: Empati adalah identifikasi diri pada, atau pengalaman tidak langsung tentang, keadaan orang lain.  Empati membantu kita keluar dari diri sendiri dan masuk kedalam diri orang lain.  Ini adalah sisi emosional dari pengambilan-perspektif.
Pengalaman belajar: Para peserta didik dapat berlatih melakukan empati di bawah bimbingan guru.  Setelah berlatih, guru dapat membimbing mereka untuk mendiskusikannya.
Hasil belajar: Mengungkapkan apa yang bdirasakan orang lain.  Bertoleransi.  Menghargai perbedaan sikap.

4.       Cinta kebaikan
Definisi: Bentuk tertinggi dari karakter mencakup ketertarikan sejati/tulus pada kebaikan.
Psikologiwan Boston College Kirk Kilpatrick menulis: “Dalam pendidikan untuk kebajikan, hati dilatih sebagaimana juga kesadaran.  Orang bijak belajar tidak hanya membedakan kebaikan dan keburukan tetapi juga mencintai kebaikan dan membenci keburukan”. 
Pengalaman belajar: Para guru dapat berpaling pada sastra sebagai cara mananamkan perasaan tentang kebaikan dan kejahatan.  Ketika anak-anak menjumpai para penjahat dan pahlawan dalam halaman-halaman dari sebuah buku yang baik, mereka merasa tertolak oleh kejahatan dan tertarik pada kebaikan tanpa kuasa menahannya. Ketika orang mencintai kebaikan, mereka mendapatkan rasa senang dalam melakukan kebaikan.  Mereka memiliki hasrat moral, bukan hanya kewajiban moral.  Potensi ini dikembangkan melalui program-program peer tutoring dan pelayanan masyarakat di sekolah-sekolah.
Hasil belajar: Upaya-upaya pribadi dan dalam kelompok untuk berbuat baik.

5.       Kontrol diri
Definisi: Emosi dapat menenggelamkan penalaran.  Inilah mengapa kontrol-diri adalah sebuah kebajikan moral yang niscaya.  Kontrol-diri membantu kita bermoral bahkan ketika kita tidak ingin bermoral, ketika sedang marah pada sesuatu, misalnya. Kontrol-diri juga niscaya untuk mengekang kesukaan-diri.
Pengalaman belajar: Pengalaman-pengalaman belajar dalam bentuk menolak kesenangan atau kebencian demi kebaikan.
Hasil belajar: Tekun belajar/bekerja, menunda kesenangan.  Tugas-tugas belajar diselesaikan dengan baik.  Memiliki kegiatan harian yang baik untuk pengembangan diri dan lingkungannya.

6.       Rendah hati
Definisi: Rendah hati adalah sisi afektif dari pengetahuan-diri.  Rendah hati terdiri atas keterbukaan yang sejati pada kebenaran dan kemauan untuk bertindak memperbaiki kesalahan-kesalahan kita. 
Rendah hati juga membantu kita mengatasi rasa bangga.  Rasa bangga adalah sumber dari arogansi, prasangka, dan merendahkan orang lain.  Rasa bangga yang terluka mengempani kemarahan dan menutup munculnya sikap memaafkan.   Rendah hati adalah penjaga terbaik melawan perbuatan jahat.
Pengalaman belajar: Berlatih terbuka terhadap kebenaran, dari mana pun sumbernya, dan mau memperbaiki kesalahan-kesalahan diri sendiri.
Hasil belajar: Mengakui kebenaran pendapat orang lain.  Mengaku bersalah jika melakukan kesalahan.  Memberikan penghargaan terhadap pendapat orang lain.


Tindakan moral
1.       Kompetensi
Definisi: Kompetensi moral adalah kemampuan mengubah putusan dan perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif. 
Pengalaman belajar:  Psikologiwan Ervin Staub menemukan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman yang terbimbing dalam role-playing dalam serangkaian situasi bermasalah yang di dalamnya seorang anak membantu anak lainnya pada waktu berikutnya lebih mungkin (dibandingkan dengan anak-anak tanpa pengalaman yang demikian) untuk menyelidiki suara tangisan seorang anak dalam sebuah ruangan.  Sebuah studi baru-baru ini atas 400 orang yang membantu orang-orang Yahudi lari dari Nazi menemukan bahwa para penyelamat ini memiliki, di samping nilai-nilai simpati, pemahaman yang kuat tentang kompetensi personal.  Kompetensi moral  sering merupakan suatu tantangan pribadi bagi seseorang. Seseorang bisa jadi sudah memahami makna solat wajib dan ingin melaksanakannya, tetapi ia tetap saja tidak melaksanakannya.  Ini adalah tantangan bagi pendidik ketika menghadapi peserta didik yang demikian.
Pendidik harus mengerahkan berbagai cara untuk menumbuhkan kompetensi moral ini.  Pengalaman individual secara mandiri, pengalaman terbimbing, pengalaman dalam kelompok, pemodelan, dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkannya.
Hasil belajar: Kemampuan melaksanakan tindakan moral.  Berbuat baik.  Membantu orang lain berbuat baik.

2.       Keinginan moral
Definisi: Menjadi baik sering mempersyaratkan sebuah tindakan nyata dari kemauan, suatu mobilisasi energi moral untuk melakukan apa yang menurut kita harus dilakukan.   Kemauan memerlukan emosi berada di bawah kontrol nalar.  Kemauan memerlukan penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi moral dari sebuah situasi.  Kemauan diperlukan agar kewajiban diletakkan mendahului kesenangan.  Kemauan membutuhkan kemampuan untuk menolak godaan, teguh menghadapi tekanan teman sebaya, dan melawan arus.  Kemauan adalah inti dari keberanian moral.
Pengalaman belajar:  Kemauan sebagai sebuah potensi diri perlu dipahami dan disadari oleh peserta didik melalui bantuan guru.  Langkah berikutnya peserta didik diminta mencatat kemauan-kemauan moral apa saja yang tidak dipenuhinya; setelah ini adalah praktik-praktik mewujudkan kemauan ini. 
Hasil belajar: Individu yang berupaya memiliki kemauan melakukan tindakan moral.  Konsisten melaksanakan kewajiban moral.  Berbuat adil sekalipun terhadap orang yang tidak disukainya.  Berdisiplin melakukan suatu tindakan moral.

3.       Kebiasaan (habit)
Definisi: Dalam banyak situasi tingkah laku moral diuntungkan oleh habit. Orang yang memiliki karakter yang baik, sebagaimana William Bennett tunjukkan, “bertindak benar, setia, berani, simpati, dan adil tanpa banyak tergoda oleh hal yang sebaliknya”.  Mereka bahkan sering tidak berpikir secara sadar tentang “pilihan yang baik”.  Mereka melakukan hal yang baik oleh kekuatan habit.
Pengalaman belajar:  Anak-anak membutuhkan, sebagai bagain dari pendidikan moral mereka, banyak kesempatan untuk mengembangkan habit yang baik, banyak praktek menjadi orang yang baik.
Hasil belajar: Kebiasaan dalam hal tertentu.  Biasa sopan-santun tertentu.  Biasa menolong.  Biasa adil.
 


                Pendekatan komprehensif untuk pendidikan nilai dan karakter.  Lickona menyarankan suatu pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif, melibatkan berbagai komponen terkait dan berbagai latar (setting).  Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide besar” berikut:

1.       Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu orang-orang menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi baik.
2.       “Baik” dapat didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang memiliki kemanfaatan objektif—nilai-nilai yang mengakui martabat manusia dan mempromosikan kebaikan individu dan masyarakat.
3.       Dua nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan dan pertanggungjawaban).
4.       Penghargaan berarti menunjukkan rasa hormat terhadap nilai seseorang atau sesuatu.  Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-hak dan martabat semua orang, dan menghargai lingkungan  yang membuat semua kehidupan berkelanjutan.  Penghargaan adalah sisi perlarangan dari moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita hargai.
Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari moralitas.  Ia mencakup melaksanakan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kontributif terhadap komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan membangun dunia yang lebih baik.
5.       Mendidik penghargaan dan pertanggungjawaban—membuat hal-hal ini menjadi nilai-nilai operatif dalam penghidupan para siswa—adalah mendidikkan karakter.  Karakter terdiri atas:
·         pengetahuan moral (kesadaran moral, menegetahui nilai-nilai moral, melihat dengan sudut pandang orang lain, penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri)
·         perasaan moral (hati-nurani, harga-diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati)
·         tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan kebiasaan)
6.       Dihadapkan dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-sekolah yang berharap membangun karakter harus menyediakan pendekatan yang komprehensif, yang merangkul banyak hal, terhadap pendidikan nilai yang menggunakan semua tahap kehidupan sekolah untuk membantu perkembangan karakter.  Ini mencakup 12 strategi ruang kelas dan sekolah, yang tertuju pada penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan dan pertanggungjawaban dalam karakter para siswa.
               
                Dalam ruang kelas, suatu pendekatan komprehensif menuntut guru untuk:

1.       Bertindak sebagai pemerduli (caregiver, pemberi kepedulian, perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2.       Menciptakan sebuah komunitas moral di kelas, membantu para siswa untuk saling kenal, menghargai dan peduli antara siswa yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan keanggotaan yang berharga dalam kelompok.
3.       Mempraktikkan disiplin moral, menggunakan penciptaan dan penegakan aturan-aturan sebagai peluang-peluang untuk menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan penghargaan terhadap orang lain.
4.       Menciptakan sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis, melibatkan para siswa dalam pembuatan-putusan dan berbagi tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi tempat yang baik untuk berada dan belajar.
5.       Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-mata pelajaran sebagai wahana untuk menkaji isu-isu etis.  (Ini secara serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum menangani kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks, anti narkoba, alkohol, dan kekerasan remaja.)
6.       Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-anak dengan watak dan keterampilan tolong-menolong dan bekerja sama.
7.       Mengembangkan the “conscience of craft” dengan menumbuhkan tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap nilai dari belajar dan kerja.  ( The “conscience of craft”, nurani tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja sebaik-baiknya.)
8.       Mendorong refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi, pembuatan-putusan, dan debat.
9.       Ajarkan pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak dan tanpa kekerasan.

                Suatu pendekatan yang komprehensif menuntut sekolah untuk:

10.   Menumbuhkan kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan model-model peranan yang memberi inspirasi dan peluang-peluang untuk sekolah dan pengabdian komunitas untuk membantu para siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian.
11.   Menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan seluruh lingkungan sekolah (melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu kepekaan sekolah terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu komunitas moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk menangani kepentingan-kepentingan moral) yang mendukung dan meningkatkan nilai-nilai yang diajarkan di ruang-ruang kelas.)
12.   Rekruitasi orang tua dan anggota komunitas sebagai mitra dalam pendidikan nilai, dukung orang tua sebagai guru moral pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah dalam upaya-upaya menumbuhkan nilai-nilai yang baik; dan mengupayakan bantuan komunitas (yakni, masjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh sekolah.  
               
                  
                                                Diagram 15   Strategi-strategi Pendidikan Karakter
                      


Pendidikan Karakter versi Pusat Pengkajian Pedagogik.  Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) Universitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 2009 sudah mengembangkan sebuah model pendidikan karakter.  Model ini sudah ditawarkan kepada sejumlah sekolah di Jakarta untuk diterapkan.  Melalui buku ini P3 ingin berbagi pengalaman dan pemikiran tentang hal ini.  Untuk itu, di sini disajikan cuplikan silabus untuk Pendidikan Agama Islam jenjang SMA  dan sedikit penjelasannya.

Tabel 14  Sebuah Silabus PAI
Standar kompetensi: Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME
Kompetensi dasar: Beriman kepada malaikat.
Indikator:
1.   Dapat mendefinisikan secara luas dan mendalam konsep iman menurut ajaran Islam.

2.   Dapat menganalisis berbagai argumentasi yang mendasari keimanan dan ketidak-berimanan

3.   Dapat menjelaskan  tanda-tanda orang beriman kepada malaikat.

4.   Dapat mempraktikan perilaku beriman kepada malaikat.

5.   Dapat menjadi teladan dalam praktik perilaku beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian.

6.   Dapat sabar dalam praktik beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian.

7.   Dapat mendakwahkan kehidupan beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian dan dalam situasi khusus

Pengalaman belajar:
Pembelajaran kognitif.

idem



idem


Kegiatan Pengembangan Diri

Idem



Idem



Idem
Penilaian:
Tes esai dan kinerja individual diskusi kelompok kecil dan diskusi kelas.
idem



idem


Jurnal Siswa


Idem



Idem



Idem

Indikator-indikator di atas mengikuti pola di bawah ini; dan dibandingkan dengan pola-pola yang lainnya yang disajikan dalam buku ini:





















Bloom


 Kognisi:
·     Mengkreasi
·     Mengevaluasi
·     Menganalisis
·     Menerapkan
·     Memahami
·     Mengingat

Krathwohl


 Afektif:
·     Karakterisasi diri
·     Mengorganisasi
·     Menilai
·     Merespon
·     Menerima
 Tindakan moral:
·     Kompetensi
·     Kemauan
·     Kebiasaan

Lickona
 Perasaan moral:
·     Nurani
·     Harga diri
·     Empati     
·     Cinta kebaikan
·     Kontrol-diri
·     Rrendah hati

 Kognisi moral:
·      kesadaran moral
·      pengetahuan nilai moral
·      memahami sudut pandang yang lain
·      penalaran moral
·      pembuatan-putusan
·      pengetahuan-diri


 Tindakan moral:


·     Dakwah
·     Sabar
·     Teladan
·     Praktik

P3
 Kognisi moral:

·     Bloom, atau
·     Lickona

 























                                Diagram 16   Komparasi Kompetensi-kompetensi

P3 mempertimbangkan teladan, sabar, dan dakwah sebagai perincian secara khusus tingkat karakterisasi-diri Krathwohl atau tingkat tindakan Lickona.  

C.  Rambu-Rambu Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan RPP untuk  
      Pendidikan  Karakter

Terdapat sejumlah hal yang sekurang-kurangnya harus menjadi rambu-rambu bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran): (1) dokumen-dokumen resmi kurikulum yang tercakup dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (2) pedoman penyusunan silabus dan RPP, dan (3) teori-teori pendidikan karakter.
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.  Pada bagian sebelumnya ada disimpulkan bahwa Kelompok Mata Pelajaran dan Cakupannya tidak lepas dari misi pendidikan karakter.  Ini berarti pembelajaran yang semata-mata kognitif, adalah tidak sejalan dengan misi ini.  Juga, dengan demikian, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan rincian lanjutan dari Kelompok Mata Pelajaran tersebut sudah sewajarnya tidak menolakserta (to exclude) keberadaan nilai-nilai. 
                Di samping itu, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dari mulai jenjang pendidikan dasar, menengah, dan menengah kejuruan, juga mempertegas misi pendidikan karakter.  Begitupun halnya dengan Standar Kompetensi Mata Pelajaran, konsisten dengan misi pendidikan karakter.
                ‘Permendiknas’ Nomor 22 Tahun 2006 tersebut mengartikan kompetensi sebagai kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik.  Kata “bersikap” dan “bertindak” pada rumusan kompetensi ini, jelas memuat esensi karakter.
Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).  Tidak ada sesuatu yang baru yang harus dikerjakan guru dalam menyusun silabus dan RPP ketika guru akan mengembangkan pendidikan karakter dalam mata pelajaran yang diampunya, kecuali harus memahami SK-KD secara lebih cermat dan dengan menggunakan perspektif pendidikan karakter.  Masalahnya, perspektif pendidikan karakter ini merupakan barang baru bagi banyak guru yang selama ini dibelenggu oleh perspektif pendidikan kognitif.  Bagian bacaan di atas tentang pendidikan karakter, diharapkan dapat membantu guru untuk memiliki perspektif pendidikan karakter ketika memahami SK-KD.  Dengan perspektif ini, SK-KD yang memuat pendidikan karakter atau memang fokus utamanya pendidikan karakter, akan diperlakukan sebagai pendidikan karakter, dan bukan pengajaran pengetahuan secara eksklusif.  Berikut ini disajikan beberapa contoh silabus pendidikan karakter dengan harapan para guru terbantu dalam mengembangkan silabus dan RPP yang menerapkan pendidikan karakter.
Tabel 15     Contoh Standar Isi
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Tarikh
3. Menceritakan kisah Nabi
3.1    Menceritakan kisah Nabi Ayyub AS
3.2   Menceritakan kisah Nabi Musa AS
3.3   Menceritakan kisah Nabi Isa AS
Akhlak
4. Membiasakan perilaku terpuji
4.1    Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS
4.2    Meneladani perilaku Nabi Musa AS
4.3    Meneladani perilaku Nabi Isa AS
Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kelas V semester I.

Tabel 16    Sebuah Contoh Silabus PAI*) 
Standar kompetensi: 3. Menceritakan kisah Nabi
Kompetensi dasar
3.1 Menceritakan kisah Nabi Ayyub AS
Materi pokok
Kisah Nabi Ayyub AS:
1. Jalan cerita kisah Nabi Ayyub AS
2. Latar (setting) kejadian kisah Nabi Ayyub AS
3. Tokoh-tokoh dan karakter dalam kisah Nabi Ayyub AS
4. Pesan yang terkandung dalam kisah Nabi Ayyub AS
5. Perilaku teladan Nabi Ayyub AS
Kegiatan pembelajaran
1.       Membaca secara individual kisah Nabi Ayyub AS sesuai panduan yang disediakan guru (dalam rangka para siswa membacanya secara intensif melalui pencapaian indikator-indikator di bawah)
2.       Diskusi kelompok kecil tentang hasil membaca secara individual tersebut.
3.       Beberapa anak terpilih secara acak membacakan kisah tersebut di depan kelas (guru dapat memberikan contoh cara membaca cerita secara baik)
4.       Diskusi kelas dalam rangka koreksi, penguatan, dan pengembangan hasil belajar siswa.
Indikator
1.       Menemutunjukkan jalan/alur cerita kisah Nabi Ayyub AS
2.       Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri latar kejadian kisah Nabi Ayyub AS
3.       Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri tokoh-tokoh dan karakter/perbuatan dari mereka yang terdapat dalam kisah Nabi Ayyub AS
4.       Menginterpretasi pesan yang terkandung dalam kisah Nabi Ayyub AS
5.       Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri secara utuh (niat, perilaku, konsekuensi) perilaku teladan Nabi Ayyub AS
6.       Memiliki apresiasi yang baik terhadap kisah Nabi Ayyub AS
Penilaian
Laporan individual hasil tugas baca dan diskusi kelas
Alokasi waktu
-
Sumber belajar
Buku:

Standar kompetensi: 4. Membiasakan perilaku terpuji
Kompetensi dasar
4.1  Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS
Materi pokok
Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS
1.       Perilaku teladan (niat, perilaku, konsekuensi) Nabi Ayyub AS
2.       Pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS.
3.       Bagaimana meneladaninya
Kegiatan pembelajaran
1.       Memotivasi siswa: pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS (misalnya, kontraskan dengan perilaku orang atau kelompok yang bertentangan)
2.       Pemodelan di kelas agar siswa mampu melakukan role playing di kelas
3.       Role playing di kelas
4.       Praktik perilaku teladan Nabi Ayyub AS dalam kehidupan harian dan mencatat dan merefleksinya dalam jurnal siswa.
5.       Mengajak orang lain untuk meneladani Nabi Ayyub AS.
6.       Diskusi kelompok tentang jurnal siswa, atau konsultasi dengan guru tentang jurnal siswa
Indikator
1.       Memerankan keteladanan Nabi Ayyub AS dalam latar kelas
2.       Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub AS
3.       Mengajak orang lain untuk meneladani Nabi Ayyub AS
Penilaian
Evaluasi jurnal siswa
Alokasi waktu
-
Sumber belajar
-
*)Silabus ini dikembangkan secara sederhana.  Gurulah yang mampu menyusunnya secara canggih berkat pengalamannya dalam materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.
Catatan: Silabus yang pertama adalah bagian dari pelajaran tarikh (biasanya barangkali diajarkan sebagai semata-semata pelajaran kognitif).  Kisah atau cerita sering menjadi sarana untuk pendidikan karakter.  Karena itu penting adanya siswa membacanya secara intensif/mendalam, dengan disediakan panduan/LKS.  Juga, puncak dari pelajaran kisah ini adalah kemampuan siswa mengapresiasi kisah tersebut.  Apresiasi dalam hal ini jelas sebuah fasilitasi penting untuk penumbuhan karakter siswa.  Dalam taksonomi Krathwohl, apresiasi termasuk kedalam kemampuan valuing (menilai).  Adapun dalam sistem Lickona, apresiasi dapat memfasilitasi berkembangnya kemampuan cinta kebaikan.
Silabus yang kedua adalah bagian dari pelajaran akhlak.  Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub AS adalah bagian dari tindakan moral (kompetensi), yang harus dibiasakan dalam kehidupan harian.  Pembuatan jurnal jika dikerjakan sungguh-sungguh dan pendidik menyediakan umpan-baliknya, dapat memperkuat perilaku siswa.  Adapun diskusi dan konsultasi jurnal, di samping memperkuat perilaku yang sudah ada, dapat juga berfungsi koreksi terhadap kelemahan yang ditemukan, atau juga mengembangkan/meningkatkan perilaku yang ada.  Dengan pendidikan karakter, latar tempat terjadinya pembelajaran tidak hanya di kelas.  Kegiatan pembelajaran nomor 4 dan 5 silabus SK-KD akhlak di atas, mengimplikasikan pembelajaran terjadi juga di luar kelas, dan semua hal ini di bawah manajemen guru.


















REFERENSI

Anderson, Lorin W.; Krathwohl David R.; Airasian, Peter W.; Cruikshank, Kathleen A.; Mayer, Richard E.; Pintrich, Paul R.; Raths, James; Wittrock, Merlin C. (2001).  A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing; A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.  New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional (2006).  Permen no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Lickona, Thomas (1991).  Educating For Character, How our schools can teach respect and responsibility.  New York:  Bantam Books.
Spencer, JR, Lile M. & Spencer Signe M. (1993).  Competence At Work. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Taksonomi Afektif Krathwohl  (Krathwohl dkk.,1964), tersedia di: http://www.learningandteaching.info/learning/ bloomtax.htm. 01.08.10)



[1] Dikutip dari Buku ……………………………………………..

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan berkomentar sesuai artikel diatas