I. Kompetensi
A. Definisi Kompetensi
Sebuah kompetensi adalah adalah
sebuah karakteristik yang mendasari dari
seorang individu yang berkaitan secara
kausal dengan kinerja efektif
beracuan-kriteria dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau
situasi (Spencer & Spencer,1993: 13).
Karakteristik yang mendasari berarti
kompetensi adalah sebuah bagian yang cukup mendalam dan bertahan dari
kepribadian seseorang dan dapat memprediksi perilaku dalam berbagai situasi dan
tugas-tugas pekerjaan. Prinsip ini
menghendaki pembelajaran untuk pencapaian suatu kompetensi harus intensif atau mendalam dan ekstensif melibatkan berbagai pengalaman
belajar, juga diulang-ulang (dapat melalui kurikulum berorganisasi spiral atau
dengan suatu cara pedagogis lainnya).
Jika prinsip ini terpenuhi, logisnya, para siswa akan lulus dengan mutu
bagus pada setiap ujian sekolah.
Berkaitan secara kausal artinya bahwa
sebuah kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Suatu kompetensi murid, misalnya, ketika
dikuasai secara berhasil dalam pembelajaran di kelas III SD, maka ketika dites
atau diuji di kelas VI murid ini akan lulus tes/ujian dengan berhasil pula
(jika tesnya sahih dan si murid ini dalam kondisi normal).
Beracuan kriteria artinya bahwa sebuah
kompetensi memprediksi secara aktual siapa yang bekerja baik atau buruk, ketika
diukur dengan sebuah kriteria spesifik
atau standar. Dalam kasus ICK di atas, adalah siswa yang
berhasil menemutunjukkan sifat benda
padat yang keras dan yang tetap ketika berpindah tempat, dan siswa yang gagal
dalam hal ini. Dalam kasus penjaja (salesmen) adalah jumlah rupiah yang
diperolehnya atau jumlah klien yang tetap “bersih” dari penyalahgunaan alkohol
bagi konselor.
Karakteristik-karakteristik yang
Mendasari
Kompetensi adalah
karakteristik-karakteristik yang mendasari orang-orang dan mengindikasikan
“pola perilaku atau pemikiran, berlaku pada berbagai situasi, dan bertahan selama
waktu yang cukup panjang” (Boyatzis, 1982 dalam Spencer & Spencer, 1999:
9).
Lima Tipe
Karakteristik Kompetensi:
1. Motif. Motif
adalah hal-hal yang orang secara konsisten pikirkan dan inginkan yang
menyebabkan lahirnya tindakan. Motif
“mendorong, mengarahkan, dan memilih” perilaku ke arah tindakan-tindakan atau
tujuan-tujuan tertentu dan menjauhi yang lainnya.
Contoh: Orang yang memiliki motif berprestasi secara
konsisten mengatur tujuan-tujuan yang menantang untuk dirinya sendiri,
mengambil tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan mereka, dan memanfaatkan
umpan-balik untuk bekerja lebih baik.
2. Traits (sifat). Traits adalah
karakteristik-karakteristik fisik dan respon-respon konsisten terhadap situasi
atau informasi.
Contoh:
Waktu reaksi dan penglihatan yang baik adalah kompetensi-kompetensi sifat fisik
dari pilot pesawat tempur.
Kontrol-diri
emosional dan inisiatif adalah “respon-respon konsisten terhadap situasi” yang
lebih kompleks”. Beberapa orang tidak
“mempersalahkan” orang lain dan bertindak “di atas dan melampaui tuntutan
tugasnya” untuk memecahkan masalah yang ada.
Traits ini adalah
karakteristik dari para pimpinan yang berhasil
Motiv dan kompetensi adalah operant atau master traits yang
intrinsik yang memprediksi apa yang akan orang lakukan dalam pekerjaan mereka
jangka panjang, tanpa supervisi yang ketat.
3.
Konsep-diri-sendiri. Sikap-sikap, nilai-nilai, atau
imaji-diri-sendiri.
Contoh: Keyakinan-diri,
kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menjadi efektif dalam hampir semua
situasi adalah bagian dari konsep seseorang tentang dirinya.
4.
Pengetahuan. Informasi yang seseorang miliki dalam
bidang pengetahuan khusus.
Contoh: Pengetahuan seorang ahli bedah tentang
syaraf-syaraf dan otot-otot pada badan manusia.
Pengetahuan
adalah sebuah komptensi yang kompleks.
Skor-skor dalam tes pengetahuan sering gagal memprediksi kinerja
pekerjaan karena mereka gagal mengukur pengetahuan dan keterampilan dalam
cara-cara aktual penggunaannya dalam pekerjaan.
Pertama, banyak tes pengetahuan mengukur memori dangkal, ketika apa yang
sesungguhnya penting adalah kemampuan menemukan informasi. Memori tentang fakta-fakta khusus adalah
kurang penting ketimbang mengetahui fakta-fakta yang mana yang ada yang relevan
dengan sebuah masalah khusus, dan dimana menemukannya ketika
memerlukannya. Ke dua, tes-tes
pengetahuan ditujukan pada “responden”.
Tes-tes ini mengukur kemampuan pnerima tes untuk memilih respon yang
tepat dari beberapa respon yang tersedia, tetapi bukan berdasarkan apa yang
seseorang dapat perbuat berdasarkan pengetahuannya. Misalnya, kemampuan memilih dari lima item
yang mana yang merupakan argumentasi yang efektif adalah sangat berbeda dari
kemampuan untuk bertahan dalam sebuah situasi konflik dan berargumentasi secara
persuasif. Yang terakhir, pengetahuan
yang dimiliki seseorang sebaik-baiknya dapat memprediksi apa yang seseorang dapat lakukan, bukan apa yang ia akan
lakukan.
5.
Keterampilan. Kemampuan melaksanakan sebuah tugas fisik
atau mental tertentu.
Contoh: Keterampilan
fisik seorang dokter gigi adalah menambal sebuah gigi tanpa merusak syarafnya;
kemampuan seorang pemerogram komputer adalah mengorganisasi 50.000 lines of code dalam tatanan runtun
logis.
Kompetensi-kompetensi
keterampilan mental atau kognitif mencakup berpikir analitis (memproses
pengetahuan dan data, menentukan sebab-akibat, mengorganisasi data dan
perencanaan) dan berpikir konseptual (mengenali pola-pola dalam data
kompleks).
Tipe atau tingkatan dari sebuah
kompetensi memiliki implikasi-implikasi praktis untuk pendidikan manusia. Sebagaimana diilustrasikan dalam Diagram 1,
kompetensi-kompetensi pengetahuan dan keterampilan cenderung terlihat, dan
relatif bersifat permukaan, karakteristik dari orang-orang. Kompetensi-kompetensi konsep-diri, traits, dan motif adalah lebih
tersembunyi, “lebih dalam”, dan bersifat sentral untuk kepribadian.
Kompetensi-kompetensi
pengetahuan dan keterampilan permukaan adalah relatif mudah untuk dikembangkan;
pelatihan adalah cara yang paling efektif untuk pengembangan
kemampuan-kemampuan ini.
Kompetensi-kompetensi motif dan trait inti yang berada di pangkalan
gunung es kepribadian, bersifat lebih sulit untuk diakses dan dikembangkan.
Diagram
1 Kompetensi-kompetensi Permukaan
dan Sentral
(Sumber: Spencer & Spencer, 1993: 12)
|
Model
Gunung Es
|
Trait,
Motif
|
Konsep-diri
|
Sikap-sikap,
Nilai-nilai
|
Pengetahuan
|
Ketrampilan
|
Konsep-diri
Trait
Motif
|
Keterampilan
Pengetahuan
|
Teramati
|
Tersembunyi
|
Kompetensi-kompetensi
konsep-diri terletak di suatu tempat di antara permukaan kepribadian dan inti
kepribadian. Sikap-sikap dan nilai-nilai
seperti keyakinan-diri (memandang diri sendiri sebagai seorang “manajer” bukan
sebagai seorang “teknisi/profesional”) dapat diubah melalui pelatihan,
psikoterapi, dan/atau perkembangan positif dari pengalaman, meskipun
membutuhkan lebih banyak waktu dan kesulitan.
Banyak
pendidikan dan persekolahan beroperasi atas dasar kompetensi-kompetensi
keterampilan dan pengetahuan permukaan dan kompetensi-komptensi motif dan traits yang sifatnya mendasari
diabaikan, atau diasumsikan tumbuh melalui pendidikan dan persekolahan yang
baik. Tetapi jika sebaliknya barangkali
akan lebih sulit: pendidikan dan persekolahan memilih kompetensi-kompetensi traits dan motif dan mengajarkan pengetahuan
dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk mengerjakan tugas-tugas khusus.
Dalam tugas-tugas yang kompleks,
kompetensi bersifat lebih penting dalam memprediksi kinerja unggulan ketimbang
keterampilan-keterampilan terkait-tugas, kecerdasan, atau credentials (bukti kemampuan: ijazah, sertifikat, dan yang
sejenis). Dalam tugas-tugas tingkat
tinggi dalam bidang teknik, pemasaran, profesional, dan manajerial, hampir setiap orang memiliki IQ 120 atau lebih
dan derajad sarjana dari suatu universitas bagus. Apa yang membedakan orang dengan kinerja
unggul dalam tugas-tugas ini adalah motivasi, keterampilan interpersonal, dan
keterampilan politis, semuanya adalah kompetensi.
Perhubungan Kausal
Kompetensi-kompetensi motif,
traits, dan konsep-diri memprediksi
tindakan-tindakan perilaku keterampilan, yang pada giliran berikutnya
memprediksi dampak-dampak (outcomes) kinerja pekerjaan, sebagaimana
diperlihatkan dalam model alur kausal motif/trait perilaku dampak dalam Diagram 2.
Kompetensi-kompetensi
selalu menyertakan sebuah maksud (an
intent), yang dituju oleh motif dan trait
yang menyebabkan tindakan ke arah sebuah dampak. Misalnya,
kompetensi-kompetensi pengetahuan dan keterampilan selalu menyertakan sebuah
kompetensi motif, atau konsep-diri, yang adalah menyediakan “dorongan” untuk
digunakannya pengetahuan dan keterampilan.
Perilaku
tanpa maksud tidak didefinisikan sebagai kompetensi. Sebuah contoh berikut “memanajemeni dengan
cara berjalan keliling-keliling”. Tanpa
mengetahui mengapa seorang manajer
sedang berjalan keliling, anda tidak dapat mengetahui kompetensi yang mana yang
sedang didemonstrasikan. Maksud si
manajer dapat berupa rasa kesal, otot pegal, memantau pekerjaan untuk
mengetahui apakah kualitas tinggi, atau suatu keinginan “untuk tampak di mata
pasukan”.
Tindakan
perilaku dapat mencakup pemikiran, dalam mana pemikiran mendahului dan
memprediksi perilaku. Contohnya adalah
motif-motif (yakni, pemikiran tentang melakukan sesuatu lebih baik),
perencanaan, atau pemikiran tentang pemecahan masalah.
Karakteristik
Pribadi
|
Perilaku
|
Kinerja
Tugas
|
“Maksud”
|
“Tindakan”
|
“Dampak”
|
Motiv
Berprestasi
|
Penentuan tujuan,
Tanggungjawab Pribadi,
Pemanfaatan umpan-balik
|
Pembaikan
Terus-menerus
|
Pengambilan Resiko yang Diperhitungkan
|
Inovasi
|
Kualitas,
Produktivitas,
Pendapatan,
Penjualan
|
“Bekerja Lebih Baik”:
·
Kompetensi dengan standar unggulan
·
Capaian unik
|
Diagram 2
Model Alur Kausal Kompetensi
(Sumber: Spencer & Spencer, 1993: 13)
|
Contoh: Motif
Berprestasi
Acuan Kriteria
Acuan kriteria bersifat kritis
untuk definisi kompetensi ini. Sebuah karakteristik adalah bukan sebuah
kompetensi kecuali ia memprediksi sesuatu yang bermakna dalam dunia nyata. Psikologiwan William James mengatakan prinsip
pertama untuk para ilmuwan hendaknya bahwa “Sebuah perbedaan yang tidak membuat perbedaan adalah bukan perbedaan” (dalam Spencer & Spencer, 1993:
13). Sebuah karakteristik atau credential yang tidak membuat perbedaan
kinerja adalah bukan sebuah kompetensi dan hendaknya tidak digunakan untuk
menilai orang.
Kriteria
yang paling sering digunakan dalam studi-studi kompetensi adalah:
·
Kinerja
Unggulan. Hal ini didefinisikan
secara statistik sebagai sebuah simpangan baku di atas rerata kinerja,
kira-kira tingkatan yang dicapai oleh 1 orang puncak dari 10 dalam suatu
situasi kerja yang ada.
·
Kinerja
Efektif. Hal ini biasanya diartikan
sebagai sebuah tingkatan kerja yang “diterima secara minimal”
Ulasan
Spencer & Spencer tentang apa atau definisi kompetensi di atas, akan
diringkas kedalam sebuah rangkuman dalam bentuk diagram di bawah ini, setelah
ditambahi korelat-korelat pedagogisnya oleh penulis.
Diri Kompeten memiliki karakteristik yang
mendasarinya, atau pola-pola dalam drinya, terdiri atas:
|
Pola-pola ini berperanan sebagai maksud (ketertujuan) yang
memunculkan tindakan tertentu
|
“Tindakan”:
Perilaku
|
“Dampak”:
Kinerja Tugas
Unggulan atau Efektif berdasarkan Kriteria
|
Diagram 3 Model Kompetensi dan Korelat
Pedagogisnya
|
Traits dan Motif
|
Konsep-diri
|
Sikap-sikap
& Nilai-nilai
|
Pengetahuan
|
Keterampilan
|
Potensi
|
Aktual
|
Kontekstual
|
CTL
|
Pengajaran dan
Pembelajaran Konvensional
|
B. Kompetensi dan Korelat
Pedagogisnya
Kompetensi dan Latar Pendidikan.
Pendekatan kompetensi menghendaki latar (setting) pengajaran dan pembelajaran bukan hanya kelas yang
konvensional selama ini terjadi, tetapi ia juga menghendaki pengajaran dan
pembelajaran dalam latar kontekstual.
Dalam kasus pendidikan shalat yang dilakukan guru PAI (Pendidikan Agama
Islam), jika pendidikannya terbatas pada latar kelas belaka, maka produk
pendidikan shalat terbaik hanyalah pengetahuan shalat dan perilaku shalat,
tetapi bagaimana shalat dilaksanakan dalam kehidupan harian tidak mendasari
pendidikan dan asesmen-nya. Dan, sering
terjadi perilaku shalatnya bersifat mekanistis belaka tanpa kekayaan pengalaman
konkrit kehidupan yang penuh tantangan dan godaan seperti dalam kehidupan
konkrit harian.
Sebuah
ilustrasi bagus tentang pendidikan shalat pada anak-anak SD kelas bawah: subuh hari, Guru si anak tersebut menelefon
ke rumah si anak untuk mengingatkan si anak untuk melaksanakan shalat subuh. Ada lagi kasus lainnya, seorang anak dari SD
yang sama, ketika di rumah, orang tua belum pulang ke rumah tetapi ada rencang (pembantu) dan orang lainnya,
semua orang ini di minta shalat berjama’ah dan si anak menjadi imamnya.
Jika
kita petakan, pendekatan kompetensi dalam pendidikan yang menghendaki
implementasi CTL (contextual teaching and
learnig), adalah sebagaimana diagram di bawah ini. Masalah yang harus dipecahkan oleh praktisi
dan pemikir pendidikan, bagaimana fasilitasinya dapat dilakukan oleh pihak
sekolah dan guru? Fasilitasi dan pengalaman
belajar siswa dalam kehidupan harian, dalam contoh di atas adalah kegiatan
shalat di rumah. Juga, barangkali RPP
dan silabus yang selama ini dikerjakan guru perlu modifikasi.
Diagram 4 Latar-latar Pendidikan Kompetensi
Kompetensi dan Pengalaman Pelajar.
Benjamin S. Bloom, sebagaimana ditulis oleh mahasiswa
pascasarjananya, mengemukakan bahwa pengalaman belajar terdiri atas dua bagian:
pengalaman empiris dan pengalaman konseptual.
Siswa melakukan observasi dan memanipulasi benda-benda atau
kejadian-kejadian dalam rangka pembelajarannya, adalah pengalaman empiris; dan
dilanjutkan/atau disertai dengan penggunaan proses-proses kognitif untuk
menggeluti pengalaman empirisnya tersebut adalah merupakan pengalaman
konseptual. Proses-proses kognitif ini
akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
Mempertimbangkan
paparan tentang kompetensi di atas, dan tuntutan Pedagogi Indonesia, dua
pengalaman belajar di atas tidaklah cukup.
Penulis mengusulkan empat lapis pengalaman belajar sebagaimana diagram
di bawah ini.
Pengalaman
empiris
Pengalaman
konseptual
Pengalaman
afektif
Pengalaman
reflektif
|
Diagram
5 Pengalaman Belajar versi Pedagogi Indonesia
Pengalaman afektif dalam belajar
adalah dengan mengalami proses-proses afektif melalui fasilitasi guru. Proses-proses afektif dalam tulisan ini akan
memanfaatkan teori Krathwohl dan Lickona, akan dipaparkan di bagian berikut.
Pengalaman
reflektif, belum banyak ditulis orang.
Sebuah contohnya dikemukakan oleh Lickona (1991: 228-229). Di sebuah kelas II di sebuah SD dengan
seorang guru Ibu William, sedang mengerjakan proyek inkubasi bersama
murid-muridnya. Setiap minggu mereka
memecahkan sebutir telur untuk memantau perkembangan embrionik. Kemudian hari, dalam sebuah diskusi kelas,
seorang siswanya Nathaniel berbicara secara pribadi dengan ibu William: “Saya
sudah lama memikirkannya—terlalu biadab
rasanya membuka telur dan membunuh anak ayam di dalamnya”. Ibu William hanya mendengarkan tanpa
menanggapi apapun, dan berkata ia akan membawa masalah ini ke dalam diskusi
kelas. Kemudian diskusi kelas
dilaksanakan, ada yang pro dan ada yang kontra, tetapi akhirnya diputuskan
untuk mengganti telur ayam itu dengan gambar-gambar embrio anak ayam.
Nathaniel
dan teman-teman sekelasnya mengalami apa yang disebut refleksi. Salah satu tujuannya sebagaimana menurut
Lickona: Menyadari secara moral—melihat
dimensi-dimensi moral dalam situasi kehidupan.
Semua
siswa melihat pembunuhan embrio ayam, tapi tidak semua melihat dimensi moral dalam kejadian ini, sekurang-kurangnya pada
awalnya, baru kemudian dengan bantuan diskusi kelas yang difasilitasi ibu
William lebih banyak siswa dapat melihat dimensi
moral ini. Inilah salah satu pengertian refleksi,
yaitu melihat dengan kesadaran, atau mata kesadaran. Salah satu tujuan pendidikan adalah mengasah
mata kesadaran agar tajam dalam melihat dimensi-dimensi kehidupan yang
non-empiris. Indonesia dengan filsafat
bangsanya, Pancasila, yang sekaligus juga menjadi filsafat pendidikannya, sudah
seharusnya tidak menyingkirkan pengalaman reflektif ini dalam pengajaran dan
pembelajarannya, seperti yang selama ini banyak terjadi hanya karena kita
maunya hanya mengikuti pedagogi Barat.
Konsep refleksi dalam dunia pendidikan muncul dan menguat setelah masa
kuasa behaviorisme di dunia pendidikan menyusut.
Penulis
ingin mengemukakan lagi sebuah ilustrasi yang penulis temukan dalam
simulasi-simulasi pengajaran-pembelajaran bersama mahasiswa penulis di Program
Studi PGSD. Dalam IPA SD, para siswa di
kelas diajak mengagumi atau mengapresiasi ciptaan, badan manusia dengan
susunannya yang canggih, semua komponen dan bagiannya tersusun secara
canggih. Guru mendemonstrasikan tulang
dahinya kena tamparan, atau mungkin terjatuh ke tanah dengan posisi tulang dahi
menghadap tanah, matanya tidak rusak.
Rasanya semuanya sudah disusun teratur dan dengan berbagai kepentingan
atau tujuan yang tertentu. Ilustrasi-ilustrasi
lainnya dimunculkan guru melalui diskusi dan tanya jawab, maksudnya ingin
membangkitkan rasa kagum, apresiasi, dan respek pada Pencipta-nya. Semua proses ini dimaksudkan agar anak-anak
melakukan refleksi, melihat dengan mata kesadarannya Sang Pencipta melalui
ciptaannya.
Pembelajaran
di atas membidik dua pengalaman belajar, pengalaman afektif dan pengalaman
reflektif.
C. Kompetensi dalam dunia Persekolahan
Kita
Dunia persekolahan kita, meskipun
sejak tahun 2004 sudah mengadopsi pendekatan kompetensi dalam pendidikannya,
masih bertahan dengan tradisi pendidikan kognitif yang menguat sejak Kurikulum
1975. “Tradisi ‘75” ini sangat kuat,
tuntutannya: pengukuran hasil belajar hingga terjadi pelecehan terhadap konsep
dan praktik observasi kualitatif terhadap hasil belajar; behaviorisme,
menghendaki perilaku hasil belajar terobservasi dan terukur secara radikal,
dengan kata lain, menghendaki observasi oleh “mata telanjang” terhadap
hasil-hasil belajar seperti orang mengobservasi benda-benda material. Secara ringkasnya, behaviorisme ini
menghendaki “kaca mata kuda” dalam melakukan observasi (konsep ini dikemukakan
oleh Bogdan & Biklen {1992}) hingga kedalaman dan kekayaan pemandangan dari
observasi tidak diperoleh.
Demikianlah,
pendidikan persekolahan kita masif beroperasi di wilayah kognitif; dan masih
menggunakan taksonomi Bloom yang lama yang behavioristis. Itupun tidak banyak digunakan secara benar
oleh banyak guru. Bahkan para mahasiswa
PGSD saat ini, masih banyak menggunakan Bloom yang lama ini.
Pendekatan
kompetensi dalam pendidikan akan tidak cukup jika para guru hanya menggunakan
taksonomi kognitif dalam pengajaran, pembelajaran, dan peng-ases-an. Kompetensi jauh lebih kaya dan mendalam. Penulis menyarankan agar taksonomi afektif
juga menyertai taksonomi kognitif.
II. Indikator
A. Definisi indikator
Indikator lengkapnya adalah
Indikator Capaian Kompetensi (ICK).
Indikator secara etimologis (kamus umum, Encarta Dictionary, 2008;
saduran penulis) berarti: alat pengukuran atau sesuatu yang memberi
informasi. Dengan demikian ICK adalah
hal yang memberikan informasi (yang relatif jelas atau rinci) tentang SK-KD,
atau bahkan yang memberikan informasi kuantitatif tentang SK-KD – meskipun
tidak harus dalam bentuk informasi yang merupakan angka-angka atau
bilangan-bilangan, tetapi adalah berbentuk narasi atau kata-kata. Indikator sebagai alat pengukuran atau alat
ukur, implikasinya bahwa indikator harus bersifat discrete: terpisah secara utuh dan tak-berkaitan, atau terbatasi,
mendeskripsikan unsur-unsur dan variabel-variabel matematis yang tegas, tak
berkaitan, dan memiliki suatu bilangan-nilai-yang-terbatas (Encarta Dictionary,
2008).
Ide
bahwa alat ukur bersifat discrete
tersebut, mengimplikasikan bahwa ICK harus menyatakan/mengukur satu, dan hanya
satu hal. Yang dimaksud dengan mengukur
dalam hal ini adalah mengukur hasil belajar.
Contohnya sebagaimana diperikan di bawah ini:
Tabel 1 Penulisan Indikator 1
A. Standar Kompetensi
6.
Memahami beragam sifat dan perubahan wujud benda serta berbagai
cara penggunaan benda berdasarkan sifatnya.
B.
Kompetensi Dasar
6.1. Mengidentifikasi wujud benda padat, cair,
dan gas memiliki sifat tertentu.
C. Indikator
1. Menemutunjukkan (mengidentifikasi)
sifat benda padat.
2. Menemutunjukkan
sifat benda cair.
3. Menemutunjukkan
sifat benda gas.
4. Membedakan antara
sifat benda padat, cair, dan gas.
|
Jika C.1 di atas kita
ganti menjadi “Menemutunjukkan dan mengenali ulang sifat wujud benda padat”, maka ini
adalah sebuah kelemahan, karena tuntutan ide discrete tidak terpenuhi.
Ketika
kandungan pengetahuan dari sifat
benda padat lebih dari satu, misalnya, yaitu: bersifat keras dan tidak
mengalami perubahan bentuk ketika berpindah tempat, maka penulisan lengkap C.1 di atas adalah
sebagaimana berikut ini:
Tabel 2 Penulisan Indikator 2
C.1.1 Menemutunjukkan sifat keras dari benda
padat.
C.1.2 Menemutunjukkan sifat dari benda padat yang
bentuknya yang tetap ketika
berpindah tempat.
|
Atau ditulis dengan cara lainnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Penulisan Indikator 3
C.1.1 Menemutunjukkan sifat benda padat:
·
Keras
·
Bentuknya tetap
ketika berpindah tempat.
|
Sebuah
lagi karakteristik penting indikator, yaitu, bahasa indikator harus behavioral (tetapi bukan
behaviorisme). Ini karena indikator
harus mengimplikasikan observasinya.
Karena teori indikatornya tidak hanya bertumpu pada behaviorisme,
observasinya tidak hanya dengan teknik observasi ‘kasat mata’, tetapi dari yang tertangkap
secara kasat mata kita bermaksud menangkap proses-proses psikologis yang lebih
dalam. Proses-proses psikologis
‘dalaman’ ini dapat berdimensi kognitif dapat juga berdimensi afektif. Siswa yang sedang mengelompok-ngelompokkan
daun-daunan berdasarkan ciri masing-masing daun adalah terobservasi oleh guru
secara kasat mata. (Ini Indikator
Capaian Kompetensi [ICK]-nya adalah “Mengelompokkan daun-daunan sesuai dengan
ciri masing-masing daun”.) Untuk lebih
yakin bahwa kompetensi klasifikasi ini bertumpu pada proses kognitif yang
tepat, seorang guru menambahi pembelajaran tersebut dengan ICK berikut: “Mengeksplanasi
hubungan sebuah daun dengan klasifikasi yang ada”. Pembelajarannya tertulis atau juga lisan
melalui tanya-jawab: “Mengapa kamu memasukkan daun ini kedalam kelompok yang
ini?” “Ini kelompok apa, dan apa
hubungannya dengan daun yang ini”.
B. Elaborasi Kompetensi menjadi ICK
Kompetensi merupakan sebuah
gejala composite, terbentuk oleh
berbagai bagian yang berbeda-beda. Dalam
diri individu, kompetensi terbentuk oleh berbagai lapisan, dari lapisan dalaman
hingga lapisan luaran atau permukaan: trait
dan motif, konsep-diri,
sikap-sikap dan nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Ini sebagaimana dirumuskan oleh Spencer &
Spencer, versi lainnya dapat saja dirumuskan; misalnya, guru-guru agama ingin
menempatkan ke dalam posisi dalaman dari diri manusia adalah keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan YME.
Peranan ICK sebagai sarana pengukuran.
Kompetensi sebagaimana sudah diulas di atas, ternyata sebuah hal
yang besar, banyak bagian pembentuknya, bahkan ada bagiannya (dalamannya) yang
tersembunyi. Bahkan bagian luaran
(permukaannya), keterampilan dan pengetahuan, tidak gampang untuk langsung
diobservasi atau diukur. Sehubungan
dengan hal ini, kompetensi perlu dirinci menjadi ICK-ICK untuk memudahkan
pengukurannya. ICK adalah sarana
operasionalisasi observasi atau pengukuran suatu gejala.
Kategori ICK yang harus ada dalam pembelajaran di sekolah. Sehubungan dengan kompetensi yang composite demikian, pembelajaran
disekolah sudah selayaknya jangan hanya membidik lapisan kognitif
individu. Pembelajaran di sekolah
sekurang-kurangnya harus juga turut membidik aspek afektif individu. Dengan demikian, diharapkan ICK-ICK yang kita
kembangkan terdiri atas ICK-ICK untuk lapisan kognitif dan yang untuk lapisan
afektif (sikap-sikap dan nilai-nilai).
Banyak filsuf menyarankan perbedaan
antara realitas alam dan realitas manusia.
Implikasinya, tidak semua aspek manusia dapat diukur. Karena itu, jangan terlalu menuntut adanya
pengukuran kompetensi. Sebagian diukur,
khususnya pengetahuan dan keterampilan, aspek lainnya seperti sikap-sikap dan
nilai-nilai barangkali lebih bertumpu pada observasi kualitatif dan bukan
pengukuran. Atau bisa juga, kombinasi
pengukuran dan observasi kualitatif.
ICK sebagai hasil belajar harus permanen. ICK sudah dicapai individu jika ia
bersifat permanen dalam diri individu, atau bertahan lama. Sehubungan dengan hal ini, pembelajaran atau
pengalaman belajar yang disediakan pendidik untuk anak didik harus bersifat
intensif, meaningful learning (bukan rote learning), dan sesuai dengan
perkembangan dan minat dan kebutuhan individu. Pengalaman belajar reflektif dapat turut
memperkuat hasil-hasil belajar kognitif dan afektif.
Operasi elaborasi SK-KD menjadi ICK.
Serangkaian langkah yang pokok dalam mengelaborasi SK-KD menjadi ICK
adalah sebagaimana berikut ini:
1. Memahami
SK-KD secara utuh.
2. Menentukan
komponen-komponen pengetahuan yang terkandung dalam SK-KD
3. Menentukan
sub-sub-komponen dari tiap komponen pengetahuan, atau perincian lebih lanjut
dari langkah 2, disebut juga AMP (analisis materi pelajaran).
4. Menentukan
proses kognitif dan afektif yang relevan dengan: (1) tipe pengetahuan dari
pengetahuan-pengetahuan yang dirinci dalam langkah 3; (2) SK-KD-nya; (3)
tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; (4) waktu yang tersedia; dan
(5) konteks-konteks lingkungan fisik dan sosial yang ada.
5. Menuliskannya
sesuai dengan struktur kognitif yang dipaparkan pada bagian berikut ini.
(1) SK-KD
secara utuh. Ini dilakukan dengan
membaca secara cermat SK-KD. Sering
untuk memahami SK-KD, buku siswa pada bagian materi yang relevan harus dibaca
juga. Dan, sebaiknya jangan satu buku,
lebih banyak lebih baik.
(2) Menentukan komponen-komponen pengetahuan
yang terkandung dalam SK-KD. SK-KD,
rumusannya terdiri atas dua bagian, kata kerja dan kata benda. Contohnya:
Tabel 4 Sebuah SK-KD
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
1.
Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di
lingkungan kabupaten/kota dan provinsi
|
1.1 Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan
menggunakan skala sederhana
|
(Sumber: BSNP, 2006)
Kata/kata-kata yang diblok dengan
warna abu adalah kata benda, merujuk pada pengetahuan atau ilmu. Yang diblok warna hitam adalah kata kerja/verba,
dalam kasus ini merujuk pada proses kognitif.
Dalam kasus lainnya, dapat saja kata kerja ini merujuk pada proses
afektif atau reflektif.
Dalam
langkah 2 ini, kita harus fokus pada KD, SK untuk dipahami dan digunakan untuk
menentukan perincian KD. Dari KD di
atas, diketahui ada dua kata benda atau dua material pengetahuan: peta
lingkungan dan skala sederhana.
Dalam mata pelajaran lainnya,
terdapat kasus-kasus dalam mana pengetahuannya tidak tampak. Contoh, menyimak story telling atau pembacaan dongeng. Orang yang tidak mengerti perbedaan material
kurikuler dan pengetahuan, dapat saja mengajukan ICK-ICK yang tidak/kurang
relevan. Pembacaan dongeng adalah
material kurikuler. Adapun yang menjadi
pengetahuannya adalah antara lain: karakter, pesan, alur cerita. Dengan demikian, kita perlu dapat membedakan
material kurikuler dengan pengetahuan, dan selanjutnya memahami pengetahuan
lebih lanjut, memahami strukturnya.
(3) Menentukan
sub-sub-komponen dari tiap komponen pengetahuan, atau perincian lebih lanjut
dari langkah 2, disebut juga AMP (analisis materi pelajaran). AMP dilakukan dengan dua cara: cara pakar dan
cara pelajar.
Cara
pakar dilakukan oleh pakar dalam sebuah lapangan ilmu atau pekerjaan, yang
dilakukan dengan menurunkan sub-sub komponen dari sebuah komponen. Ini adalah cara deduksi. Cara pelajar adalah cara yang sebaiknya
dilakukan oleh orang yang tidak terdidik khusus dalam sebuah lapangan ilmu atau
pekerjaan. Cara ini dilakukan dengan
mempelajari buku siswa, sebanyak mungkin, dan buku akademik dalam lapangan ilmu
yang relevan. Dengan cara seperti ini
seseorang dapat menentukan sub-sub-komponen yang tercakup dalam sebuah komponen
pengetahuan.
Perlu
diketahui bahwa AMP dikerjakan guru pada tahapan penyusunan silabus, dan bukan
pada tahapan penyusunan RPP. (Berdasarkan
hal ini, mahasiswa yang akan bimbingan sebuah RPP, harus menyertakan juga
silabusnya.) Dari AMP terhadap KD IPS di
atas, dapat saja dihasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berikut:
Tabel 5 Perincian Bahan Ajar
Peta lingkungan:
|
·
Kota
·
kabupaten
·
ibu kota
·
kota pelajar
·
gunung
·
bukit
·
dataran tinggi
·
dataran rendah
|
·
sungai
·
anak sungai
·
danau
·
waduk
·
jalan raya
·
jalan kereta api
·
bandara
·
pelabuhan
|
·
perkebunan
·
hutan industri
·
hutan lindung
·
daerah industri
·
pertambangan
|
Skala ukur
|
·
konsep skala ukur untuk peta
§ ………………..
§ ………………..
§ ………………..
|
Masalah
yang segera muncul: Apa semua materi pengetahuan tersebut harus diajarkan di
kelas? Ini karena menurut KD-nya, pengetahuan tersebut mengenai kota/kabupaten
dan provinsi; kota/kabupaten di Jawa Barat jumlahnya ada dua puluhan
lebih. Jawabannya: bisa semua atau bisa
sebagian. Untuk mengetahuai jawabannya
yang relatif pasti, kita harus membuat silabus, yang didalamnya sudah
mempertimbangkan Kalender Pendidikan di suatu SD.
(4) Menentukan proses kognitif dan afektif yang relevan dengan: (1) tipe
pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan yang dirinci dalam langkah 3; (2)
SK-KD-nya; (3) tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; (4) waktu yang
tersedia; dan (5) konteks-konteks lingkungan fisik dan sosial yang ada. Langkah 4 (1) adalah mengenai tipe
pengetahuan; dalam KD tersebut semua material pengetahuannya adalah tipe Pengetahuan faktual, kecuali skala ukur yang adalah Pengetahuan prosedural. Tentang tipe-tipe pengetahuan ini,
disajikan secara khusus pada bagian berikut.
Guru harus memahami tipe-tipe pengetahuan ini, karena berkaitan dengan
proses-proses kognitif yang relevan, juga karena guru harus mengupayakan
peningkatan pedagogis dari tipe pengetahuan yang ada. Misalnya, terhadap tipe Pengetahuan faktual, pembelajarannya tidak selamanya harus Mengingat.
Contohnya:
Tabel 6 Peningkatan Pedagogis Pengetahuan
Proses Kognitif:
|
Indikator Capaian
Kompetensi:
|
Tipe Pengetahuan:
|
Mengingat ulang
(C1
Mengingat)
|
Mampu
mengingat-ulang kata-kata yang terdapat dalam rumus untuk hukum Ohm
|
Pengetahuan
factual
|
Menginterpretasi (C2 Memahami)
|
Mampu
mendefinisikan istilah-istilah kunci dengan kata-kata sendiri.
|
Pengetahuan
faktual yang sama
|
Langkah
4 (2) adalah memahami SK-KD dengan bantuan teori-teori proses kognitif dari
Taksonomi Bloom Terevisi (TBT). SK-nya: Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di
lingkungan kabupaten/kota dan provinsi.
Kata kerja dalam KD ini adalah Memahami. SK-nya: Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan
menggunakan skala sederhana. Kata
kerjanya adalah Membaca dengan
menggunakan skala sederhana. Membaca
di sini tidak sama dengan Membaca-paham
seperti yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia; meskipun SK-nya Memahami.
Dalam kasus KD ini, Membaca
dengan menggunakan skala sederhana, proses kognitif yang dituntutnya adalah
Menerapkan atau Mengaplikasikan, posisinya lebih dari sekedar Memahami. KD ini menuntut
siswa mampu menggunakan skala untuk membaca peta. Banyak guru di SD, dan calon gurunya, tidak
membaca SK-KD ini dengan tepat.
Langkah
4 (3), (4), dan (5) , adalah menentukan proses-proses kognitif dan afektif yang
sesuai dengan tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan siswa; waktu yang tersedia; dan konteks-konteks
lingkungan fisik dan sosial yang ada. Langkah
3 ini dilakukan baik pada tahapan penyusunan RPP maupun implementasinya
di kelas, bergantung pada pemahaman guru tentang tingkat perkembangan anak
secara kognitif, sosial, dan moral.
Tentang tingkat perkembangan kognitif, teori perkembangan Piaget banyak
membantu. Hanya saja di sini
kadang-kadang muncul “mitos” bahwa anak SD kognisinya hanya sampai tahapan Menerapkan/Mengaplikasikan, belum sampai
ke Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mengkreasi.
Penulis menyebutnya mitos, karena kejelasan teoritis dan empirisnya
masih samar. Bruner ada mengemukakan
sebuah ilustrasi anak prasekolah yang menggunakan kalimat, ternyata anak-anak
ini sudah menguasai secara kognitif pada tingkatan tertentu konsep-konsep
Subjek-Predikat-Objek yang adalah struktur tata bahasa. Juga, anak-anak kelas bawah SD belajar
konsep-konsep dan operasi-operasi mental matematis; memang dengan bantuan
didaktis berupa media dan alat peraga. Jadi, menurut penulis, dalam hal ini,
yang penting adalah bagaimana guru dapat merancang (dan mengimplementasikannya)
bantuan pedagogis agar tingkatan-tingkatan kognitif tingkat tinggi dapat
dicapai. Jadi, hal ini adalah wilayah pengemasan
materi pelajaran (SSP atau PCK).
Mengenai
minat dan kebutuhan siswa, guru harus mampu mengemas materi agar sesuai dengan
minat dan kebutuhan siswa. Minat dan
kebutuhan siswa bergantung pada tingkat dan tugas-tugas perkembangan
siswa. Karena itu, disamping Piaget yang
fokus pada perkembangan kognitif, guru harus memahami tingkat dan tugas
perkembangan pada dimensi lainnya.
Proses
kognitif dan afektif yang disediakan di kelas harus sesuai dengan waktu yang
tersedia. Ini dapat terjawab jika guru
membuat silabus. Adapun proses kognitif
dan afektif harus sesuai dengan lingkungan fisik dan sosial yang tersedia,
adalah bagian dari prinsip CTL (contextual teaching and learning) yang
merupakan tuntutan dari pendekatan kompetensi dalam pendidikan. Dalam Standar Isi, konteks yang demikian
sering tidak terbaca. Untuk membacanya
guru harus cerdas dan banyak pengetahuan.
Dalam sebuah diskusi dengan para mahasiswa penulis, penulis mengusulkan
agar pengetahuan tentang tanah/lahan di kota dimasukkan kedalam bahan ajar,
tujuannya agar anak menyadari bahwa tanah/lahan di kota termasuk SDA
penting. Di kota orang miskin tergeser
ke wilayah pinggiran, salah satu sebabnya adalah kesadaran mereka akan tanah
masih rendah dan fasilitasi dari pemerintah dan perbankan hampir tidak
ada. Inilah konteks lingkungan fisik dan
sosial yang tidak ditulis di buku-buku ajar SD yang bebas nilai.
(5) Menuliskannya sesuai dengan struktur kognitif yang dipaparkan pada
bagian berikut ini. Langkah ini
dikaji khusus dalam bagian mengenai ICK (Indikator Capaian Kompetensi).
C. Struktur umum ICK
Indikator capaian kompetensi
(ICK) untuk lapisan kognitif sudah dirumuskan oleh Anderson dkk. (2001) dalam
bukunya, A Taxonomy for Learnig,
Teaching, and Assessing, A revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives. Buku ini sama seperti
buku Bloom yang pertama, mengenai taksonomi tujuan pendidikan kognitif. Dalam buku ini, untuk yang kognitif, ICK
memiliki struktur sebagaimana disajikan dalam diagram ini, dan dalam
perbandingan Bloom terevisi (Anderson dkk, 2001) dengan Bloom awal.
Bloom awal
|
Bloom
terevisi
|
Diagram 6 Struktur Umum ICK
Kognitif
ICK
untuk pendidikan afektif, penulis
menyarankan sebagaimana tergambar dalam diagram di bawah ini.
Diagram 7 Struktur Umum ICK Afektif
Contoh-contoh:
Tabel 7 Contoh-contoh
ICK
Menyimpulkan
|
Manfaat tulang dahi
|
ICK Kognitif
|
Verba: Proses
Kognitif
|
Kata Benda: Pengetahuan
|
|
Mengapresiasi
|
tubuh manusia sebagai ciptaan dengan segala bagian dan susunannya yang
canggih
|
ICK Afektif
|
Verba: Proses
Afektif
|
Kata Benda: pengetahuan
|
|
Biasa menghemat
|
penggunaan SDA di rumah setiap hari
|
ICK Afektif
|
Verba: Proses
Afektif
|
Kata Benda: pengetahuan
|
|
Mengelompokkan
|
benda-benda di sekitar sekolah ke dalam benda padat, cair, dan gas.
|
ICK Kognitif
|
Verba: Proses
Kognitif
|
Kata Benda: Pengetahuan
|
III. ICK Kognitif
Dalam buku Bloom terevisi ICK ini
disebut tujuan pendidikan. Menurut
penulis ini adalah ICK; dan untuk selanjutnya penulis akan menyebutnya sebagai
ICK. ICK sebagaimana dikemukakan di
atas, strukturnya terbentuk oleh dua komponen pokok: verba dan kata benda. Verba untuk ICK kognitif adalah proses
kognitif. Proses kognitif terdiri atas
sejumlah (dimensi atau) kategori dan subkategori. Adapun kata bendanya, adalah
pengetahuan. Pengetahuan terdiri atas
sejumlah (dimensi atau) kategori.
Akan
tetapi sebelum bahasan ini berlanjut, perlu dibahas dulu secara ringkas
hubungan antara ICK dengan Tujuan Pembelajaran yang hampir selalu terdapat
dalam banyak RPP. Jika ICK strukturnya
terbentuk oleh verba dan kata benda, maka Tujuan Pembelajaran memiliki struktur
ABCD. ABCD ini sudah ada dalam RPP sejak
Kurikulum 1975, landasan teorinya utamanya adalah behaviorisme. ICK kognitif dari Taksonomi Bloom Terevisi
(TBT) sudah mengadopsi psikologi kognitif dan konstruktivis. Juga, implementasi behaviorisme secara ketat
dapat mematikan/menghambat
ekspresi-ekspresi pedagogis.
Sebuah contoh, pengalaman beriman kepada malaikat, akan ditolak oleh
sistem pembelajaran dan sistem asesmen behaviorisme.
Penulis
menganjurkan pemanfaatan TBT untuk ICK kognitif. Karena itu rumus ABCD untuk tujuan
pembelajaran berubah menjadi ACpCD.
Table 8 Contoh Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan simulasi
dan diskusi dengan guru,
|
siswa
|
dapat menyimpulkan
|
sebuah kegunaan tulang
pelipis
|
C: condition
|
A:
audience
|
Cp:
cognitive process
|
D: degree
|
Perhatikan
contoh tujuan pembelajaran di atas, menggunakan rumus ACpCD.
·
A adalah
audience, dalam hal ini adalah
siswa.
·
Cp
adalah cognitive process atau proses
kognitif yang diharapkan mampu dilakukan siswa (hasil belajar), yaitu menyimpulkan atau proses membuat
pernyataan lain yang konsisten dengan informasi yang tersedia.
·
C
adalah condition atau persyaratan
yang harus dipenuhi siswa agar Cp tercapai. Dengan kata lain, condition adalah pengalaman pembelajaran (learning experiences) yang harus diterima siswa agar Cp tercapai.
·
D adalah
degree atau derajad atau tingkat
penguasaan siswa terhadap isi pelajaran.
Dalam hal ini tingkat yang dituntut oleh guru adalah sebuah kegunaan tulang pelipis.
A. Dimensi dan Subdimensi
Pengetahuan
Setelah pengkajian berbagai fakta
spesifik tentang tipe-tipe pengetahuan, khususnya perkembangan-perkembangan
psikologi kognitif yang telah terjadi sejak penyusunan karya pertama
kerangka-kerja ini, Anderson dkk. (2001) berketetapan dengan empat tipe umum pengetahuan:
Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif. Tabel 3.2 mengikhtisarkan
keempat tipe utama pengetahuan dan subtipe-subtipenya.
Pengetahuan faktual adalah pengetahuan lainan
(discrete), unsur-unsur isi yang
terisolasi—“keping-keping informasi”. Ia mencakup pengetahuan terminologi dan
pengetahuan rincian dan unsur spesifik.
Pengetahuan konseptual adalah
pengetahuan tentang “bentuk-bentuk pengetahuan terorganisasi, lebih
kompleks”. Ia mencakup pengetahuan
tentang klasifikasi dan kategori, prinsip dan generalisasi, dan teori, model,
dan struktur.
Pengetahuan prosedural adalah
“pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu”. Ia mencakup pengetahuan tentang
keterampilan-keterampilan, logaritme, teknik dan metode, juga pengetahuan
tentang kriteria yang digunakan untuk menetukan dan/atau menjustifikasi “kapan
melakukan apa” dalam ranah-ranah spesifik dan disiplin-disiplin.
Pengetahuan metakognitif adalah
“pengetahuan tentang kognisi pada umumnya juga kesadaran akan dan pengetahuan
tentang kognisi diri sendiri”. Ia
mencakup pengetahuan strategis; pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif,
mencakup pengetahuan kontekstual dan kondisional; dan pengetahuan-diri.
Table
9 Tipe-tipe Utama Dimensi Pengetahuan
dan Sub-subnya
TIPE-TIPE UTAMA DAN SUB-SUB TIPE
|
CONTOH-CONTOH
|
A.
PENGETAHUAN FAKTUAL—Unsur-unsur dasariah yang para siswa harus ketahui
agar
memahami sebuah disiplin atau memecahkan masalah di dalamnya
|
|
A.1
Pengetahuan tentang Terminologi
|
Kosa kata teknis, simbol-simbol
musik
|
A.2
Pengetahuan tentang rincian dan
unsur spesifik
|
Sumber-sumber alami yang utama, sumber-sumber informasi yang reliabel
|
B.
Pengetahuan Konseptual—Saling-perhubungan antarunsur dasariah dalam
sebuah struktur
besar yang membuat mereka berfungsi secara bersamaan
|
|
B.1
Pengetahuan tentang Klasifikasi
dan Kategori
|
Periode-periode waktu geologis, bentuk-bentuk kepemilikan bisnis
|
B.2
Pengetahuan tentang Prinsip dan
Generalisasi
|
Teorema Pithagorean, hukum supply
and demand
|
B.3
Pengetahuan tentang Teori, Model,
dan Struktur
|
Teori evolusi, struktur Konggres Amerika Serikat
|
C.
Pengetahuan Prosedural—Bagaimana melakukan sesuatu, metode-metode
inquiri, dan kriteria
untuk penggunaan keterampilan, algoritma, teknik-teknik, dan
metode-metode
|
|
C.1
Pengetahuan tentang Subject-
specific Skill dan
algoritma
|
Keterampilan-keterampilan yang digunakan dalam melukis dengan watercolors, whole number division
algorithm
|
C.2
Pengetahuan tentang Subject-
specific Techniques dan
metode-
metode
|
Teknik-teknik interviu, metode ilmiah
|
C.3
Pengetahuan tentang Kriteria
untuk menentukan kapan
menggunakan prosedur-prosedur
yang sesuai
|
Kriteria yang digunakan untuk menentukan kapan menerapkan sebuah
prosedur yang melibatkan hukum Newton kedua, kriteria yang digunakan untuk
men-judge kelayakan penggunaan sebuah metode tertentu
untuk mengestimasi biaya-biaya bisnis
|
D.
Pengetahuan Metakognitif—Pengetahuan kognisi pada umumnya juga
kesadaran dan
pengetahuan
tentang kognisi yang dimiliki diri sendiri
|
|
D.1
Pengetahuan Strategik
|
Pengetahuan tentang kerangka sebagai sebuah sarana penangkapan
struktur dari sebuah unit materi ajar dalam sebuah buku ajar, pengetahuan
tentang penggunaan heuristics
|
D.2
Pengetahuan tentang Tugas-tugas
Kognitif, mencakup pengetahuan
kondisional dan kontekstual yang
sesuai
|
Pengetahuan tentang tipe-tipe tes yang digunakan para guru,
pengetahuan tentang tuntutan-tuntutan kognitif dan tugas-tugas kognitif
|
D.3
Pengetahuan Diri
|
Pengetahuan bahwa pengeritikan esai-esai adalah sebuah kekuatan
pribadi, sedangkan penulisan esai-esai adalah sebuah kelemahan pribadi;
kesadaran tentang tingkat pengetahuan yang dimiliki diri sendiri
|
(Sumber: Anderson at al, 2001:
67-68)
B. Kategori-kategori Dimensi
Proses Kognitif
Dalam bagian berikut ini akan didefinisikan
proses-proses dalam masing-masing dari enam kategori secara rinci,
membandingkannya dengan proses-proses kognitif lainnya, kita memungkinkan. Juga, disajikan contoh tujuan-tujuan
pendidikan (ICK) dan asesmen dalam berbagai mata ajar dan versi-versi
alternatif tugas asesmen. Masing-masing
tujuan ilustratif dalam material berikut hendaknya dibaca sebagai didahului
oleh frasa “Siswa mampu/dapat . . . “ atau “Siswa belajar . . .”.
Table
10 Dimensi Proses Kognitif
KATEGORI-KATEGORI
& PROSES-PROSES KOGNITIF
|
NAMA-NAMA
ALTERNATIF
|
DEFINISI-DEFINISI
DAN CONTOH-CONTOH
|
|
1.
MENGINGAT—Mencari dan menemukan pengetahuan dari memori jangka-panjang
|
|||
1.1 Mengenali
ulang
|
Mengidentifikasi
|
Menentukan pengetahuan dalam memori jangka-panjang yang konsisten
dengan material yang tersaji (yakni, Mengenali tahun-tahun dari
kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia)
|
|
1.2
Mengingat ulang
|
Mencari-temu
|
Mencari-temu pengetahuan relevan dari memori jangka-panjang (yakni,
Mengingat ulang tahun-tahun kejadian penting dalam sejarah Indonesia)
|
|
2.
Memahami—Mengkonstruksi makna dari pesan-pesan instruksional, mencakup
komunikasi lisan, tertulis, dan grafis
|
|||
2.1 Menginterpretasi
(Menafsir)
|
Klarifikasi, paraphrasing,
menyajikan-ulang, translasi
|
Mengubah sebuah bentuk sajian (yakni, sajian numerik) ke bentuk
lainnya (yakni, sajian verbal) (yakni, Mem-paraphrase-kan pembicaraan-pembicaraan dan dokumen-dokumen
penting)
|
|
2.2 Mengeksemplifikasi
(Menyontohkan)
|
Mengilustrasikan, mencontohkan
|
Menemukan sebuah contoh spesifik atau ilustrasi dari sebuah konsep
atau prinsip (yakni, Memberi contoh-contoh berbagai gaya lukisan artistik
yang penting)
|
|
2.3 Mengklasifikasi
|
Kategorisasi, subsuming
|
Menentukan bahwa sesuatu termasuk kedalam sebuah kategori (yakni,
konsep atau prinsip) (yakni, Mengklasifikasi kasus-kasus nirtatanan mental yang
terobservasi atau terdeskripsikan)
|
|
2.4 Summarizing
(Mengikhtisarkan)
|
Mengabstraksi, generalisasi
|
Mengabstraksi sebuah tema umum atau poin-poin pokok (yakni, Menulis
sebuah summary ringkas tentang
kejadian-kejadian yang tersaji pada sebuah videotape)
|
|
2.5
Menyimpulkan
|
Menyimpulkan, mengekstrapolasi, menginterpolasi, memprediksi
|
Menggambarkan sebuah simpulan logis dari informasi yang tersaji
(yakni, Dalam pembelajaran bahasa asing, menyimpulkan prinsip-prinsip
gramatis dari contoh-contoh)
|
|
2.6
Membandingkan
|
Mengkontraskan, memetakan, memadankan
|
Mendeteksi korespondensi antara dua ide, objek, dan lain-lain (yakni,
Membandingkan kejadian-kejadian historis dengan situasi-situasi kontemporer)
|
|
2.7
Menjelaskan,
mengeksplanasi
|
Mengkonstruksi model-model
|
Mengkonstruksi sebuah model sebab-akibat dari sebuah sistem (yakni,
Menjelaskan sebab-sebab dari pentingnya kejadian-kejadian abad ke-18 di
Perancis)
|
|
3. Mengaplikasi/Menerapkan—Melaksanakan
atau menggunakan sebuah prosedur dalam sebuah
situasi
yang ada
|
|||
3.1 Mengeksekusi
|
Melaksanakan
|
Mengaplikasikan sebuah prosedur ke sebuah tugas akrab (yakni, Membagi
sebuah bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya, keduanya melibatkan
bilangan bulat lebih dari satu digits)
|
|
3.2 Mengimplementasikan
|
Menggunakan
|
Mengaplikasikan sebuah prosedur ke sebuah tugas tak-akrab (yakni,
Menggunakan Hukum Kedua Newton dalam situasi-situasi yang sesuai dengannya)
|
|
4. Menganalisis—Menguraikan
material menjadi bagian-bagian pembentuknya dan
menentukan bagaimana bagian-bagian ini saling berkaitan dan dengan
struktur
totalnya atau tujuannya
|
|||
4.1
Membeda-
bedakan
|
Diskriminasi, membedakan, memfokuskan, memilih
|
Membedakan bagian yang relevan dan yang tak-relevan atau yang penting
dan yang tak-penting dari material yang tersaji (yakni, Membedakan antara
bilangan-bilangan yang relevan dan yang tak-relevan dalam dalam
sebuah masalah kata-kata matematis (a
mathematical word problem)
|
|
4.2
Mengorganisasi
|
Menemukan koherensi, mengintegrasikan, menyusun kerangka, parsing, menstrukturkan
|
Menentukan bagaimana unsur-unsur sesuai atau berfungsi dalam sebuah
struktur (yakni, Menstrukturkan evidensi dalam sebuah deskripsi historis
menjadi evidensi untuk dan menentang sebuah eksplanasi historis)
|
|
4.3
Mengatribusi
|
Mendekonstruksi
|
Menentukan sebuah titik pandang, bias, nilai-nilai, atau maksud yang
mendasari material yang tersaji (yakni, Menentukan titik pandang pengarang
sebuah esai dalam kaitannya dengan perspektif politisnya)
|
|
5. Mengevaluasi—Membuat
judgement didasarkan atas kriteria
dan standar
|
|||
5.1
Mengecek
|
Mengkoordinasi, mendeteksi, memantau, mentes
|
Mendeteksi inkonsistensi atau kekeliruan dalam sebuah proses atau
produk; menentukan apakah sebuah proses atau produk memiliki konsistensi
internal; mendeteksi efektivitas sebuah prosedur ketika ia diimplementasikan
(yakni, Menentukan apakah simpulan-simpulan seorang ilmuwan berdasarkan data
yang terobservasi)
|
|
5.2
Mengkritik
|
Men-judge
|
Mendeteksi inkonsistensi antara sebuah produk dengan kriteria
eksternal, menentukan apakah sebuah produk memiliki konsistensi eksternal;
mendeteksi kesesuaian sebuah prosedur untuk sebuah masalah yang ada (yakni,
Men-judge metode yang mana dari dua
metode yang ada yang bersifat terbaik untuk memecahkan sebuah masalah yang
ada)
|
|
6. Mengkreasi—Menyusun
unsur-unsur secara bersamaan untuk membentuk sebuah
keseluruhan yang koheren atau fungsional; mereorganisasi unsur-unsur
menjadi
sebuah pola atau struktur baru
|
|||
6.1 Generate
(Memunculkan)
|
Menghipotesiskan
|
Memunculkan hipotesis-hipotesis alternatif didasarkan atas kriteria
(yakni, Men-generate hipotesis-hipotesis
untuk menjelaskan sebuah fenomena yang terobservasi)
|
|
6.2 Merencanakan
|
Mendisain
|
Menggawaikan sebuah prosedur untuk menyelesaikan suatu tugas (yakni,
Merencanakan sebuah research paper tentang
sebuah topik historis yang ada)
|
|
6.3
Memproduksi
|
Mengkonstruksi
|
Menciptakan sebuah produk (yakni, Membangun lingkungan buatan untuk
sebuah kepentingan spesifik)
|
|
(Sumber: Anderson at
al, 2001: 67-68)
1. MENGINGAT (REMEMBER)
Ketika tujuan
pengajaran adalah mempromosikan penyimpanan material yang tersaji dalam bentuk
yang sangat sama dengan ketika ia diajarkan, kategori proses yang relevannya
adalah Mengingat. Pengingatan melibatkan pencari-temuan
pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang. Dua proses kognitifnya yang terkait adalah pengenalan-ulang dan
pengingatan-ulang. Pengetahuan yang
relevan dengan pengingatan adalah Faktual,
Konseptual, Prosedural, atau Metakognitif,
atau suatu kombinasi dari hal-hal ini.
Untuk meng-ases pembelajaran
siswa dalam kategori proses yang paling sederhana ini, siswa diberi tugas
mengenali-ulang atau mengingat-ulang di bawah kondisi yang sangat sama dengan
ketika ia mempelajari material ajarnya.
Perluasan yang melampaui kondisi ini, diharapkan terbatas. Misalnya, jika seorang siswa sudah
mempelajari padanan bahasa Indonesia untuk 20 kata Inggris, maka tes
pengingatannya akan melibatkan permintaan kepada siswa untuk untuk memadankan
kata-kata Inggris dalam kolom pertama dengan kata-kata bahasa Indonesia pada
kolom ke dua (yakni, mengenali ulang)
atau menuliskan kata-kata bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kata-kata
Inggris yang tersedia (yakni, mengingat-ulang).
Rote learning adalah ketika siswa diminta hanya mengingat
pengetahuan. Tetapi meaningful learning terjadi ketika pengingatan pengetahuan adalah bagian terpadu dari tugas yang lebih
luas untuk pengkonstruksian pengetahuan baru atau pemecahan masalah baru.
1.1 MENGENALI-ULANG
Pengenalan-ulang melibatkan
pencaritemuan pengetahuan relevan dari memori jangka panjang dalam rangka
membandingkannya dengan informasi yang tersaji.
Dalam pengenalan-ulang, siswa
mencari dalam memori jangka panjangnya sekeping informasi yang identik atau
sangat sama dengan informasi yang tersaji (sebagaimana tersaji dalam memori
kerja). Ketika disuguhi informasi baru,
siswa menentukan apakah informasi ini berhubungan dengan pengetahuan yang sudah
dipelajari sebelumnya, pencarian padanan.
Istilah alternatif untuk pengenalan-ulang
adalah pengidentifikasian.
Contoh Tujuan dan Asesmen yang sesuai Dalam IPS, sebuah tujuan pembelajarannya bisa jadi siswa harus
mengenali-ulang tanggal-tanggal kejadian penting dalam sejarah Indonesia. Item tesnya yang sesuai adalah: “Benar atau
Salah: Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945”. Dalam pelajaran Sastra Indonesia, salah satu
tuannya dapat berupa siswa harus mengenali-ulang penulis-penulis dari karya
sastra Indonesia. Asesmennya yang sesuai
adalah tes menjodohkan yang terdiri atas sebuah daftar sepuluh pengarang
(mencakup Asrul Sani) dan sebuah daftar lebih sedikit dari sepuluh novel (mencakup
Benyamin S.). Dalam matematika, tujuannya bisa jadi agar
siswa dapat mengenali-ulang jumlah sisi bentuk-bentuk geometri. Asesmennya yang sesuai adalah suatu tes
pilihan-ganda dengan item-item sebagai berikut: “Berapa banyak sisi yang
dimiliki sebuah pentagon? (a) empat, (b)
lima, (c) enam, (d) tujuh.
Format Asesmen Sebagaimana diilustrasikan di atas,
tiga metode utama penyajian suatu tugas pengenalan-ulang untuk kepentingan
asesmen adalah verifikasi, menjodohkan, dan pilihan tertentu. Dalam tugas-tugas verifikasi, siswa diberi
suatu informasi dan harus memilih apakah ia benar atau salah. Format benar-salah adalah contoh yang paling
umum. Dalam menjodohkan, dua daftar
disajikan, dan siswa harus memilih bagaimana masing-masing item dalam sebuah
daftar berkesesuaian dengan sebuah item dalam daftar lainnya. Dalam tugas-tugas pilihan tertentu, siswa
diberi sebuah petunjuk yang disertai dengan beberapa jawaban yang mungkin dan
harus memilih jawaban yang mana yang tepat atau “jawaban terbaik”. Pilihan-ganda adalah formatnya yang paling
umum.
1.2 MENGINGAT-ULANG
Pengingatan-ulang melibatkan
pencaritemuan pengetahuan relevan dari memori jangka panjang ketika diberi
petunjuk untuk melakukannya. Petunjuknya
sering berupa sebuah sebuah pertanyaan.
Dengan pengingatan-ulang, seorang
siswa mencari sekeping informasi dari memori jangka panjang dan membawa
informasi ini kedalam memori kerja untuk dapat diproses. Sebuah istilah alternatif untuk pengingatan-ulang adalah pencaritemuan.
Contoh Tujuan dan Asesmen yang sesuai Dalam mengingat-ulang, seorang
siswa mengingat informasi yang sebelumnya sudah dipelajari ketika diberi sebuah
petunjuk. Dalam IPS, salah satu
tujuannya dapat berupa siswa harus mengingat-ulang ekspor-ekspor utama pulau
Sumatera. Sebuah item tesnya yang sesuai
adalah “Apa ekspor utama Palembang?”
Dalam pembelajaran sastra Indonesia, tujuannya dapat berbentuk agar
siswa mampu mengingat-ulang sejumlah penyair yang menulis berbagai puisi. Sebuah pertanyaan tesnya yang sesuai adalah
“Siapa yang menulis Rembulan Di Atas
Kuburan?” Dalam matematika,
tujuannya dapat berbentuk mengingat-ulang fakta-fakta perkalian bilangan
bulat. Sebuah item tesnya meminta siswa
memperkalikan 7 X 8 (atau “7 X 8 = ?”).
Format asesmen Tugas-tugas asesmen untuk pengingatan-ulang dapat berbeda-beda
dalam jumlah dan kualitas petunjuk yang disediakan untuk siswa. Dengan petunjuk rendah, siswa tidak diberi
petunjuk atau informasi relevan apapun (seperti “Apa satu meter itu?”). Dengan petunjuk tinggi, siswa diberi beberapa
petunjuk (seperti “dalam sistem pengukuran, satu meter adalah sebuah ukuran
mengenai __________________”.).
Tugas-tugas asesmen dapat juga
berbeda-beda dalam jumlah atau tingkat
ketertanaman item-item ditempatkan dalam suatu konteks makna yang lebih
luas. Dengan ketertanaman rendah, tugas
pengingatan-ulang disajikan sebagai sebuah hal tunggal, terisolasi, seperti
dalam contoh-contoh di atas. Dengan
ketertanaman tinggi, tugas pengingatan-ulang tercakup dalam konteks suatu
masalah yang lebih luas, seperti meminta seorang siswa mengingat formula untuk sebuah bidang dari sebuah lingkaran ketika
memecahkan sebuah masalah kata yang mempersyaratkan formula tersebut.
2. MEMAHAMI
Sebagaimana
sudah ditunjukkan, ketika tujuan utama pengajaran adalah mempromosikan
penyimpanan, fokusnya adalah pada tujuan yang menekankan Mengingat. Ketika tujuan
pengajaran mempromosikan transfer, bagaimanapun, fokusnya beralih ke lima
proses kognitif lainnya, Memahami hingga
Kreasi.
Mengenai hal-hal ini, dapat dipahami jika kategori terbesar dari
tujuan-tujuan pendidikan berbasis-transfer yang ditekankan di sekolah-sekolah
dan universitas-universitas adalah Memahami. Para siswa dikatakan Memahami ketika mereka mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan
instruksional, mencakup pesan oral, tertulis, dan grafis, bagaimanapun semua
pesan ini disajikan pada siswa: selama ceramah-ceramah, dalam buku-buku, atau
pada monitor-monitor komputer.
Contoh-contoh dari pesan-pesan instruksional potensial mencakup suatu
demonstrasi fisika di kelas, formasi geologis yang tampak dalam suatu
karya-wisata, suatu simulasi komputer tentang suatu perjalanan mengelilingi
sebuah musium seni, dan suatu karya musik yang dimainkan oleh sebuah orkestra,
sebagaimana juga halnya dengan representasi-representasi verbal, gambar, dan
simbolik pada kertas.
Para siswa memahami ketika
mereka membangun koneksi antara pengetahuan “baru” yang akan diperoleh dengan
pengetahuan mereka sebelumnya. Secara
lebih spesifik, pengetahuan yang masuk diintegrasikan dengan skema-skema dan
kerangka-kerangka-kerja yang ada. Karena
konsep-konsep adalah semacam batu-bata untuk skema-skema dan
kerangka-kerangka-kerja ini, Pengetahuan
Konseptual menyediakan sebuah pangkalan untuk pemahaman. Proses-proses kognitif dalam kategori Memahami mencakup interpretasi,
eksemplifikasi (pencontohan), klasifikasi, summarizing, penyimpulan, pembandingan, dan eksplanasi.
2.1 MENGINTERPRETASI
Penginterpretasian terjadi ketika
seorang siswa dapat mengubah informasi dari sebuah bentuk representasi
(gambaran, wakilan) ke bentuk lainnya. Interpretasi dapat melibatkan pengubahan
kata-kata ke kata-kata lainnya (yakni, paraphrasing),
gambar-gambar ke kata-kata, kata-kata ke gambar-gambar, angka-angka ke
kata-kata, kata-kata ke angka-angka, notasi-notasi musik ke nada-nada, dan yang
sejenis.
Istilah-istilah alternatifnya
adalah translasi (menerjemahkan, mengalihbentukkan), paraphrasing (menyatakan dengan kata-kata lain, khususnya secara
singkat), representasi (menggambarkan), dan klarifikasi (menerangkan, membuat
menjadi terang).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam penginterpretasian, ketika diberi informasi dalam sebuah bentuk
representasi, seorang siswa dapat mengubahnya ke bentuk lain. Dalam IPS, misalnya, salah satu tujuannya
agar siswa dapat menyatakan dengan kata-kata sendiri atau secara singkat
pidato-pidato dan dokumen-dokumen penting dari periode sejarah sekitar
menjelang kemerdekaan RI. Salah satu
asesmen yang sesuai adalah meminta seorang siswa membuat pernyataan secara
singkat atau dengan kata-kata sendiri sebuah pidato terkenal, seperti pidato
Ir. Soekarno dalam sidang PPKI. Dalam
IPA, sebuah tujuannya dapat agar siswa mampu merepresentasikan dengan gambar
tentang berbagai fenomena alam. Sebuah
item asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa menggambar sebuah rangkaian
diagram-diagram yang mengilustrasikan foto sintesis. Dalam matematika, contoh tujuannya agar siswa
mampu mengalihbentukkan kalimat-kalimat bilangan dalam kata-kata kedalam
persamaan aljabar yang diungkapkan dalam simbol-simbol. Sebuah itemasesmennya yang sesuai meminta
seorang siswa menuliskan sebuah persamaan (menggunakan B untuk jumlah anak laki-laki dan G untuk jumlah anak perempuan) yang sesuai dengan pernyataan “Ada
dua kali lebih banyak anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki di
kelas ini”.
FORMAT ASESMEN Format-format item tes yang sesuai
mencakup baik respon yang sudah terkonstruksi (yakni, berikanlah sebuah
jawaban) dan respon terpilih (yakni, pilih sebuah jawaban). Informasi disajikan dalam sebuah bentuk, dan
para siswa diminta apakah mengkonstruksi atau memilih informasi yang sama dalam
sebuah bentuk yang berbeda. Misalnya,
sebuah tugas dengan respon terkonstruksi adalah: “Tuliskan sebuah persamaan
yang sesuai dengan pernyataan berikut, gunakanlah T untuk biaya total dan K untuk
jumlah kilo-graman. Biaya total
pengiriman sebuah paket adalah Rp. 2.000,00 untuk satu kilo-gram pertama
ditambah masing-masing Rp. 1.500,00 per kilo-gram untuk tambahan
berikutnya. Sebuah versi pemilihan
mengenai tugas ini adalah:
“Persamaan mana
yang sesuai dengan pernyataan berikut, dimana T mewakili biaya total dan K untuk
jumlah kilo-graman? Biaya total pengiriman
sebuah paket adalah Rp. 2.000,00 untuk satu kilogram pertama ditambah Rp.
1.500,00 untuk tiap satu kilogram tambahannya.
(a)
T = Rp. 3.500 + P
(b)
T = Rp. 2.000,00 + Rp. 1.500,00
(c)
T = Rp. 2.000,00 + Rp. 1.500,00(P-1)
Untuk meningkatkan peluang bahwa
yang diases adalah penginterpretasian
ketimbang hanya pengingatan, informasi
yang disertakan dalam asesmen harus bersifat baru. “Baru” di sini artinya bahwa para siswa tidak
pernah menjumpainya selama pengajaran.
Jika aturan ini tidak dipatuhi, kita tidak dapat memastikan bahwa yang
kita ases adalah penginterpretasian, dan
bukan pengingatan. Jika tugas asesmen adalah identik dengan
sebuah tugas atau contoh yang digunakan selama pengajaran, kita barangkali
meng-ases pengingatan.
Aturan tersebut berlaku untuk
semua kategori proses dan proses-proses kognitif yang bukan Mengingat.
Pada bagian berikutnya hal ini tidak akan diulang lagi. Pembaca diharapkan dapat mengingat hal ini ke
depan. Jika tugas-tugas asesmen adalah untuk membidik proses-proses kognitif
tingkat tinggi, mereka harus mempersyaratkan para siswa tidak bisa menjawab
dengan benar jika dengan bertumpu pada memori belaka.
2.2 MENCONTOHKAN
Pencontohan atau pemberian contoh
terjadi ketika seorang siswa memberikan sebuah contoh khusus dari sebuah konsep
atau prinsip umum. Pencontohan melibatkan pengidentifikasian ciri-ciri penentu dari
konsep atau prinsip umum (yakni, segi tiga sama kaki harus memiliki dua sisi
yang sama) dan menggunakan ciri-ciri ini untuk memilih atau mengkonstruksi
sebuah contoh spesifik (yakni, menjadi mampu memilih segi-tiga sama sisi dari
tiga segi-tiga yang disajikan). Istilah
alternatifnya adalah mengilustrasikan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam pencontohan, seorang siswa diberi sebuah konsep atau prinsip dan
harus memilih atau menghasilkan sebuah contoh khusus yang tidak dijumpai selama
pengajaran. Dalam pendidikan kesenian,
salah satu tujuannya adalah agar siswa dapat memberikan contoh-contoh berbagai
gaya lukisan artistik. Sebuah asesmennya
yang sesuai meminta seorang siswa memilih memilih gaya impresionistik dari
empat lukisan yang tersedia. Dalam IPA, sebuah
tujuannya dapat agar siswa mampu memberikan contoh-contoh berbagai jenis
senyawa kimia. Sebuah tugas asesmennya
yang sesuai meminta siswa menentukan sebuah senyawa inorganik dalam sebuah
karya-wisata dan mengatakan mengapa ia adalah inorganik (yakni, menspesifikasi ciri-ciri
penentunya). Dalam pendidikan sastra,
sebuah tujuan dapat agar siswa mampu mencontohkan berbagai genre drama. Asesmennya dapat dengan cara memberi sketsa
ringkas dari empat drama (hanya satu yang merupakan komedi romantik) dan
meminta siswa menyebutkan drama yang adalah sebuah komedi romantik.
FORMAT-FORMAT ASESMEN Tugas-tugas pencontohan dapat melibatkan format respon terkonstruksi—dalam
mana siswa harus menciptakan sebuah contoh—atau format respon terpilih—dalam
mana siswa harus memilih sebuah contoh dari sehimpunan contoh yang tersedia. Contoh IPA, “Berikan sebuah senyawa inorganik
dan katakan mengapa ia inorganik”, mempersyaratkan sebuah respon
terkonstruksi. Berbeda halnya, item
“Yang mana dari senyawa-senyawa ini yang merupakan sebuah senyawa inorganik?
(a) besi, (b) protein, (c) darah, (d) kompos” mempersyaratkan sebuah respon
terpilih.
2.3 MENGKLASIFIKASI
Pengklasifikasian terjadi ketika seorang
siswa mengenali-ulang bahwa sesuatu
(yakni sebuah contoh tertentu) termasuk atau menjadi milik sebuah
kategori tertentu (yakni, konsep atau prinsip).
Pengklasifikasian melibatkan
pendeteksian ciri-ciri atau pola-pola relevan yang “sesuai” dengan contoh
spesifik dan konsep atau prinsip. Pengklasifikasian adalah sebuah proses pelengkap bagi pencontohan.
Jika pencontohan dimulai dengan
sebuah konsep atau prinsip umum dan mempersyaratkan siswa untuk menemukan
sebuah contoh khusus, pengklasifikasian dimulai
dengan sebuah contoh khusus dan mempersyaratkan siswa menemukan sebuah konsep
atau prinsip umum. Istilah-istilah
alternatifnya adalah pengkategorian, ketermasukan (subsuming), pengelompokkan, penghimpunan, dan penggolongan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam IPS, salah satu tujuannya agar
siswa dapat mengklasifikasi kasus-kasus disorder
mental yang sudah diobservasi atau sudah dideskripsikan. Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta
seorang siswa mengamati sebuah video tentang perilaku seseorang dengan penyakit
mental dan kemudian menunjukkan disorder
mental yang tampak. Dalam IPA, salah
satu tujuannya agar siswa dapat mengkategorikan spesies-spesies dari
hewan-hewan prasejarah. Sebuah
asesmennya menyediakan sejumlah gambar hewan prasejarah dengan petunjuk untuk
mengelompokkan mereka kedalam spesies-spesies yang sesuai. Dalam matematika, sebuah tujuannya agar siswa
dapat menentukan kategori-kategori untuk angka-angka yang tersedia. Sebuah tugas asesmennya menyediakan sebuah
contoh dan meminta seorang siswa melingkari semua angka dalam sebuah daftar berdasarkan
kategori yang sesuai.
FORMAT ASESMEN Dalam tugas-tugas respon terkonstruksi,
seorang siswa diberi sebuah contoh dan harus memproduksi konsep atau prinsipnya
yang terkait. Dalam tugas-tugas respon
terpilih, seorang siswa diberi sebuah contoh dan harus memilih konsep atau
prinsipnya dari sebuah daftar. Dalam
tugas pemilahan, seorang siswa diberi sehimpunan kejadian dan harus menentukan
yang mana yang termasuk kedalam sebuah kategori khusus, atau harus menempatkan
masing-masing kejadian kedalam salah satu dari kategori-kategori yang tersedia.
2.4 MENGIKHTISARKAN
Pengikhtisaran terjadi ketika seorang
siswa memberikan sebuah pernyataan yang menggambarkan informasi tersaji atau
abstraksi dari sebuah tema umum. Pengikhtisaran melibatkan
pengkonstruksian sebuah gambaran mengenai sebuah informasi, seperti arti dari
sebuah adegan dalam sebuah drama, dan
mengabstraksi sebuah ikhtisar dari adegan tersebut, seperti penentuan sebuah
tema atau butir-butir utama.
Istilah-istilah alternatifnya adalah pengeneralisasian, pengabstraksian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam pengikhtisaran, ketika disediakan informasi, seorang siswa
memberikan sebuah ikhtisar atau abstraksi sebuah tema umum. Sebuah contoh tujuan dalam pelajaran sejarah
adalah agar siswa dapat menuliskan ikhtisar-ikhtisar singkat mengenai
kejadian-kejadian yang disajikan melalui gambar-gambar. Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta
seorang siswa menonton sebuah videotape
tentang Revolusi Perancis dan kemudian menulis sebuah ikhtisar singkat. Sama halnya, sebuah contoh tujuan dalam IPA
dapat agar siswa mampu belajar membuat ikhtisar tentang kontribusi-kontribusi
utama para ilmuwan terkenal setelah membaca beberapa karya tulis mereka. Sebuah item asesmennya yang sesuai meminta
seorang siswa membaca tulisan-tulisan terpilih tentang Charles Darwin dan
mengikhtisarkan butir-butir pokoknya.
Dalam ilmu komputer, sebuah tujuannya dapat agar siswa belajar membuat
ikhtisar tujuan-tujuan berbagai subroutines
dalam sebuah program. Sebuah item
asesmennya yang sesuai menyajikan sebuah program dan meminta seorang siswa
menulis sebuah kalimat yang mendeskripsikan sub-tujuan yang dicapai oleh
masing-masing bagian dari program dalam keseluruhan program.
FORMAT ASESMEN Tugas-tugas asesmen dapat disajikan
dalam format respon terkonstruksi ataupun respon terpilih, melibatkan baik
tema-tema ataupun ikhtisar-ikhtisar.
Tema bersifat lebih abstrak ketimbang ikhtisar. Misalnya, dalam sebuah tugas respon
terkonstruksi, siswa dapat diminta membaca sebuah bacaan tanpa judul tentang
sejarah kerajaan Sriwijaya dan kemudian menuliskan judul yang sesuai untuk
bacaan tersebut. Dalam sebuah tugas
dengan respon terpilih, seorang siswa dapat diminta membaca sebuah bacaan
tentang sejarah kerajaan Sriwijaya dan kemudian memilih judul yang palin sesuai
dari empat judul yang mungkin atau menyusun judul-judul ini secara berperingkat
berdasarkan tingkat “kecocokannya” dengan isi bacaan.
2.5 MENYIMPULKAN
Penyimpulan melibutkan penemuan suatu
pola dalam suatu rangkaian contoh atau kejadian. Penyimpulan
terjadi ketika seorang siswa mampu mengabstraksi sebuah konsep atau prinsip yang menjelaskan sehimpunan
contoh atau kejadian dengan mendeskripsikan ciri-ciri relevan dari
masing-masing kejadian dan, sangat penting adanya, mendeskripsikan perhubungan
di antara mereka. Misalnya, ketika
diberi serangkaian bilangan seperti 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, seorang siswa mampu
fokus pada nilai numerik dari masing-masing digit ketimbang pada ciri-ciri
tak-relevan seperti bentuk dari masing-masing digit atau apakah masing-masing
digit adalah bilangan genap atau ganjil.
Ia kemudian mampu membedakan pola dalam rangkaian bilangan-biliangan
tersebut (yakni, setelah dua bilangan pertama, masing-masingnya adalah jumlah
dari dua bilangan yang mendahuluinya).
Proses penyimpulan melibatkan pembuatan perbandingan dari
kejadian-kejadian dalam konteks keseluruhannya.
Misalnya, menentukan bilangan apa yang akan muncul dalam rangkaian di
atas, seorang siswa harus mengidentifikasi polanya. Sebuah prosesnya yang
terkait adalah menggunakan pola untuk menciptakan sebuah kejadian baru (yakni,
bilangan berikutnya pada rangkaian tersebut adalah 34, jumlah dari 13 dan
21). Ini adalah sebuah contoh pengeksekusian, yang adalah sebuah
proses kognitif yang terkait dengan Penerapan. Penyimpulan
dan pengeksekusian sering
digunakan secara bersamaan pada tugas-tugas kognitif.
Yang terakhir, penyimpulan adalah berbeda dari pengatribusian (sebuah proses kognitif
yang terkait dengan Analisis). Sebagaimana dibahas pada bagian berikutnya, pengatribusian fokus semata-mata pada
isu pragmatik mengenai penentuan sudut pandang atau maksud penulis, sedangkan penyimpulan fokus pada isu penginduksian
sebuah pola yang didasarkan atas informasi yang tersedia. Cara lainnya untuk membedakan kedua proses
ini adalah bahwa pengatribusian adalah
dapat diterapkan secara luas pada situasi-situasi seseorang harus “mendeduksi
sesuatu yang implisit”, khususnya ketika seseorang sedang berupaya menentukan
suatu sudut pandang si penulis. Penyimpulan pada sisi lainnya, terjadi dalam
sebuah konteks yang menyediakan suatu harapan tentang apa yang akan
disimpukan. Istilah-istilah alternatif
untuk penyimpulan adalah
ekstrapolasi, interpolasi, prediksi, dan pengkonklusian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam penyimpulan, ketika disediakan sehimpunan atau serangkaian contoh
atau kejadian, seorang siswa menemukan sebuah konsep atau prinsip yang
menjelaskannya. Misalnya, dalam
pembelajaran bahasa Indonesia, sebuah contoh tujuannya ialah siswa dapat
menyimpulkan konsep-konsep tata bahasa dari contoh-contoh yang tersedia. Untuk asesmennya, seorang siswa diberi
beberapa kata yang didahului oleh di atau
ke, seperti dimakam, dimakamkan,
kemakam, orang kedua, kedua orang itu, dipangkuan, dipangku; kemudian diminta
merumuskan konsep-konsep yang relevan untuk masing-masing di dan ke tersebut. Dalam matematika, salah satu tujuannya adalah
agar siswa dapat menyimpulkan perhubungan yang diungkapkan sebagai sebuah
persamaan yang mewakili beberapa observasi dari nilai-nilai untuk dua variabel. Sebuah item asesmennya meminta seorang siswa
mendekripsikan perhubungan sebagai sebuah persamaan yang melibatkan x dan y untuk situasi-situasi
dalam mana jika x adalah 1, maka y adalah 0; jika x adalah 2, maka y adalah
3; dan jika x adalah 3, maka y adalah 8.
FORMAT ASESMEN Tiga tugas umum yang mempersyaratkan penyimpulan (sering disertai dengan pengimplementasian) adalah tugas-tugas
melengkapi, tugas-tugas analogi, dan tugas-tugas keanehan. Dalam tugas melengkapi, seorang siswa diberi serangkaian
item dan harus menentukan apa yang akan muncul berikutnya, seperti dalam
rangkaian bilangan-bilangan di atas.
Dalam tugas analogi, seorang siswa diberi sebuah analogi dengan bentuk A
adalah analogi dengan B seperti C ke D, seperti “bangsa” adalah dengan
“presiden” seperti “provinsi” adalah dengan _________________. Tugas siswa adalah memproduksi atau memilih
sebuah istilah yang sesuai untuk bagian yang rumpang dan menuliskan analoginya
(seperti “gubernur”). Dalam tugas keanehan,
seorang siswa diberi tiga atau lebih item dan harus menentukan yang mana yang
tidak termasuk. Misalnya, seorang siswa
dapat diberi tiga masalah fisika, yang dua melibatkan sebuah prinsip dan yang
lainnya melibatkan prinsip yang berbeda.
Agar semata-mata fokus pada proses penyimpulan, pertanyaan dalam
masing-masing tugas asesmen dapat agar siswa menyatakan konsep atau prinsip
yang mendasari yang siswa gunakan untuk memperoleh jawaban yang benar.
2.6 MEMBANDINGKAN
Pembandingan melibatkan pendeteksian
kesamaan dan perbedaan antara dua atau lebih benda, kejadian, ide, masalah,
atau situasi, seperti penentuan bagaimana sebuah kejadian yang terkenal (yakni,
skandal politik yang baru terjadi) adalah mirip sebuah kejadian yang kurang
terkenal (yakni, skandal politik dalam sejarah). Pembandingan
mencakup penemuan unsur-unsur dan pola-pola dalam sebuah objek, kejadian,
atau ide yang memiliki kesesuaian dengan unsur-unsur dan pola-pola dalam objek,
kejadian, atau ide lainnya. Ketika
digunakan bersamaan dengan penyimpulan (yakni,
pertama, mengabstraksi sebuah prinsip dari situasi yang lebih dikenali) dan pengimplementasian (yakni, kedua,
menerapkan prinsip tersebut pada situasi yang kurang dikenali), pembandingan
dapat kontributif pada penalaran dengan analogi. Istilah-istilah alternatifnya adalah
peng-kontras-an, pemadanan, dan pemetaan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam pembandingan, ketika disediakan informasi baru, seorang siswa
mendeteksi kesesuaian-kesesuaiannya
dengan pengetahuan yang lebih diakrabi.
Misalnya, dalam IPS, sebuah tujuannya ialah agar siswa memahami
kejadian-kejadian historis dengan membandingkan mereka dengan situasi-situasi
yang akrab. Sebuah pertanyaan asesmennya
yang sesuai adalah “Bagaimana Revolusi Amerika seperti suatu pertengkaran keluarga
atau suatu perdebatan antarteman?” Dalam
IPA, sebuah contoh tujuannya agar siswa belajar membandingkan sebuah sirkuit
elektirk dengan sebuah sistem yang lebih akrab.
Dalam asesmennya, kita bertanya “Bagaimana sebuah sirkuit elektrik
seperti air yang mengalir melalui sebuah pipa?”
Pembandingan dapat juga melibatkan penentuan korespondensi antara
dua atau lebih objek, kejadian, atau ide yang tersaji. Dalam matematika, sebuah contoh tujuannya
ialah agar siswa belajar membandingkan masalah-masalah kata yang sama secara
struktural. Sebuah pertanyaan asesmennya
yang sesuai meminta seorang siswa mengatakan bagaimana sebuah masalah campuran
tertentu mirip sebuah masalah kerja tertentu.
FORMAT ASESMEN Sebuah teknik utama untuk meng-ases
proses kognitif pembandingan adalah pemetaan. Dalam pemetaan, seorang siswa harus
mempertunjukkan bagaimana masing-masing bagian dari sebuah objek, ide, masalah,
atau situasi berkesesuaian dengan masing-masing bagian dari objek lainnya. Misalnya, seorang siswa dapat diminta merinsi
bagaimana batere, kabel, dan resistor dalam sebuah sirkuit elektrik adalah
seperti pompa, pipa, dan konstruksi pipa dalam sebuah sistem aliran air, begitu
juga sebaliknya.
2.7 MENGEKSPLANASI
Pengeksplanasian terjadi ketika seorang
siswa mampu mengkonstruksi dan menggunakan sebuah model sebab-akibat dari
sebuah sistem. Modelnya dapat diturunkan
dari sebuah teori formal (sebagaimana sering dilakukan dalam IPA) atau dapat
dibangun dari bawah (grounded)
berdasarkan riset atau pengalaman (sebagaimana sering dilakukan dalam sains
sosial dan humaniora). Sebuah eksplanasi
yang lengkap melibatkan pengkonstruksian sebuah model sebab-akibat,
mengikutsertakan masing-masing bagian utama dalam sebuah sistem atau masing-masing
kejadian utama dalam suatu rangkaian mata-rantai, dan menggunakan model ini ini
untuk menentukan bagaimana sebuah perubahan atau sebuah “link” dalam rantai ituy mempengaruhi sebuah perubahan pada bagian
lainnya. Sebuah istilah alternatifnya
adalah pengkonstruksian sebuah model.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam pengeksplanasian, ketika diberi sebuah deskripsi tentang sebuah
sistem, seorang siswa mengembangkan dan menggunakan sebuah model sebab-akibat
tentang sistem tersebut. Misalnya, dalam
IPS, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat mengeksplanasi sebab-sebab dari
kejadian-kejadian historis yang penting dalam abad ke-18. Sebagai sebuah asesmennya, setelah membaca
dan diskusi sebuah unit tentang sejarah Indonesia, siswa diminta mengkonstruksi
sebuah rantai sebab-akibat dari kejadian-kejadian yang menjelaskan dengan
sebaik-baiknya mengapa perang terjadi.
Dalam IPA, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat mengeksplanasi
bagaimana hukum-hukum dasar fisika bekerja.
Asesmennya yang sesuai meminta siswa yang telah mempelajari hukum Ohn
untuk mengeksplanasi apa yang terjadi pada tingkat arus ketika sebuah batere ke
dua ditambahkan pada sebuah sirkuit, atau meminta para siswa yang sudah
menyaksikan sebuah video tentang badai kilat untuk mengeksplanasi bagaimana
perbedaan-perbedaan temperatur mempengaruhi pembentukan kilat.
FORMAT ASESMEN Beberapa tugas dapat ditujukan untuk
peng-ases-an kemampuan siswa mengeksplanasi, termasuk penalaran, pemecahan
masalah, perancangan-ulang, dan pemrediksian.
Dalam tugas-tugas penalaran, seorang siswa diminta untuk memberikan
sebuah penalaran tentang sebuah kejadian yang ada. Misalnya, “Mengapa udara memasuki sebuah
pompa ban sepeda ketika anda menarik pegangannya?” Dalam kasus ini, sebuah jawaban seperti “Ia
terdorong kedalam karena tekanan udara adalah rendah di dalam pompa ketikbang
di luar” melibatkan penemuan sebuah prinsip yang menjelaskan sebuah kejadian
yang ada.
Dalam pemecahan masalah, seorang
siswa diminta mendiagnosis kesalahan apa yang sudah terjadi dalam sebuah sistem
yang malafungsi. Misalnya, “Andaikan
anda menarik dan menekan pegangan sebuah pompa ban sepeda beberapa kali tetapi
tidak ada udara yang keluar. Apa yang
salah?” Dalam kasus ini, siswa harus
menemukan sebuah eksplanasi untuk malafungsi tersebut, seperti “Silinder
pompanya bolong” atau “Sebuah katup macet dalam posisi terbuka.”
Dalam perancangan-ulang, seorang
siswa diminta mengubah suatu sistem untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya, “Bagaimana anda dapat meningkatkan
sebuah pompa ban sepeda agar ia menjadi lebih efisien?” Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang siswa
harus membayangkan perubahan sebuah atau lebih komponen dalam suatu sistem,
seperti “Memberi pelumas antara piston dan silinder”.
Dalam pemrediksian, seorang siswa
ditanya bagaimana sebuah perubahan dalam sebuah bagian sistem akan mempengaruhi
sebuah perubahan dalam bagian lainnya dari sistem tersebut. Misalnya, “Apa yang akan terjadi jika anda
meningkatkan diameter silinder dari pompa ban sepeda?” Pertanyaan ini mempersyaratkan siswa
“mengoperasikan” model mental pompa untuk melihat bahwa jumlah udara yang
bergerak melalui pompa dapat ditingkatkan melalui peningkatan diameter
silindernya.
3. MENGAPLIKASIKAN/MENERAPKAN
Menerapkan melibatkan penggunaan
prosedur untuk melaksanakan kegiatan (praktik, latihan) atau memecahkan
masalah. Dengan demikian, Menerapkan terkait erat dengan Pengetahuan Prosedural. Sebuah kegiatan adalah sebuah tugas yang
prosedurnya sudah diketahui siswa penggunaannya, karena itu siswa sudah
mengembangkan suatu pendekatan yang terutinkan untuk tugas tersebut. Sebuah masalah adalah sebuah tugas yang
prosedurnya pada awalnya siswa tidak diketahui siswa penggunaannya, maka siswa
harus mengupayakan sebuah prosedur untuk memecahkan masalah itu. Kategori Menerapkan
terdiri atas dua proses kognitif: pengeksekusian—ketika
tugasnya adalah sebuah kegiatan (sudah akrab)—dan pengimplementasian—ketika tugasnya adalah sebuah masalah (tidak
akrab).
Ketika tugasnya adalah sebuah
kegiatan yang sudah diakrabi, para siswa umumnya tahu prosedur apa yang harus
digunakan. Ketika diberi sebuah kegiatan
(atau sehimpunan kegiatan), para siswa khasnya melaksanakan prosedurnya dengan
kurang berpikir. Misalnya, seorang siswa
yang belajar aljabar dihadapkan dengan kegiatan ke-50 yang melibatkan
persamaan-persamaan kuadrat dapat langsung mengerti dan menyelesaikan
tugasnya.
Ketika tugasnya adalah sebuah
masalah yang tidak akrab atau masih asing, bagaimanapun, para siswa harus
menentukan pengetahuan apa yang akan mereka gunakan. Jika tugasnya tampak menuntut Pengetahuan prosedural dan tidak ada
prosedur yang tersedia yang cocok dengan situasi masalah secara eksak, maka
modifikasi-modifikasi dalam Pengetahuan
prosedural dapat menjadi niscaya.
Berbeda halnya dengan pengeksekusian,
maka, pengimplementasian mempersyaratkan
suatu derajad pemahaman tentang masalah juga prosedur solusinya. Dalam kasus pengimplementasian, maka, memahami
pengetahuan konseptual adalah sebuah prasyarat untuk mampu menerapkan pengetahuan prosedural.
3.1 MENGEKSEKUSI
Dalam pengeksekusian, seorang siswa
melaksanakan secara rutin suatu prosedur ketika dihadapkan dengan sebuah tugas
akrab (yakni, kegiatan, praktik, latihan).
Keakaraban akan situasinya sering menyediakan isyarat yang cukup untuk
memandu pilihan tentang prosedur tepat yang akan digunakan. Pengeksekusian
lebih sering terkait dengan penggunaan keterampilan-keterampilan dan
algoritme-algoritme (prosedur pemecahan masalah) ketimbang dengan teknik-teknik
dan metode-metode (lihat pembahasan tentang Pengetahuan
prosedural di atas). Keterampilan
dan algoritme memiliki dua kualitas yang membuat mereka secara khusus
memudahkan untuk melakukan eksekusi. Pertama, mereka terdiri atas seruntunan
langkah yang umumnya diikuti dalam sebuah
tatanan yang tetap. Kedua, ketika
langkah-langkahnya dilaksanakan secara tepat, hasil akhirnya adalah sebuah
jawaban yang pratentu (predetermined). Sebuah istilah alternatif untuk pengeksekusian adalah pelaksanaan (carrying out).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam pengeksekusian, seorang siswa dihadapkan dengan suatu tugas akrab
dan mengetahui apa yang akan dilakukan dalam rangka menyelesaikannya. Siswa langsung melaksanakan sebuah prosedur
yang sudah diketahui untuk menyelesaikan tugas.
Misalnya, sebuah contoh tujuannya dalam matematika tingkat dasar ialah
agar siswa belajar membagi sebuah bilangan bulat dengan bilangan lainnya,
keduanya bilangan banyak digit. Petunjuk
“membagi” menunjukkan algoritme pembagian, yang niscayanya adalah Pengetahuan prosedural. Meng-ases tujuan ini, seorang siswa
diberi sebuah LKS yang memiliki latihan-latihan pembagian 15 bilangan bulat
(yakni, 784/15) dan diminta menemukan hasilnya. Dalam IPA, sebuah contih
tujuannya dapat berupa agar siswa belajar menghitung nilai dari
variabel-variabel dengan menggunakan formula-formula saintifik. Untuk meng-ases tujuan ini, seorang siswa
diberi formula Berat Jenis = Massa/Volum dan harus menjawab pertanyaan “Berapa berat
jenis sebuah materi dengan massa 9 kilo gram dan volum 9 inci kubik?”
FORMAT ASESMEN Dalam pengeksekusian, seorang siswa diberi sebuah tugas akrab yang dapat
dikerjakan dengan menggunakan sebuah prosedur yang sudah dikenali dengan
baik. Misalnya, sebuah tugas eksekusi
adalah “Pecahkan untuk x dimana x2 + 2x – 3 = 0 dengan menggunakan
teknik penyelesaian kuadrat”. Para siswa
dapat diminta memberi jawaban, atau jika sesuai, memilih dari sejumlah jawaban
yang mungkin. Lebih jauh lagi, karena
tekanannya pada prosedur sebagaimana juga pada jawabannya, para siswa dapat
dipersyaratkan untuk tidak hanya menemukan jawabannya tetapi juga
memperlihatkan jalannya.
3.2 MENGIMPLEMENTASI
Pengimplementasian terjadi ketika
seorang siswa memilih dan menggunakan sebuah prosedur untuk melaksanakan sebuah
tugas tak-akrab. Karena pemilihan
dipersyaratkan, para siswa harus memiliki suatu pemahaman tentang tipe masalah
yang dijumpai sebagaimana juga sejumlah prosedur yang tersedia. Dengan demikian, pengimplementasian digunakan bersamaan dengan kategori-kategori
proses kognitif lainnya, seperti Memahami
dan Mengkreasi.
Karena siswa dihadapkan dengan
sebuah masalah tak-akrab, ia tidak secara langsung mengetahui prosedur yang
mana yang akan digunakan. Lebih jauh
lagi, tidak terdapat prosedur tunggal yang dapat “cocok sempurna” untuk masalahnya;
suatu modifikasi dalam prosedur bisa jadi dibutuhkan. Pengimplementasian
lebih sering terkait dengan penggunaan teknik-teknik dan metode-metode
ketimbang dengan keterampilan- keterampilan dan algoritme-algoritme (lihatlah
pembahasan Pengetahuan prosedural di
atas). Teknik-teknik dan metode-metode memiliki
dua kualitas yang membuat mereka secara khusus memudahkan pada pengimplementasian. Pertama, prosedurnya bisa jadi mirip
sebuah “bagan alur” ketimbang sebuah runtunan yang tetap; yakni, prosedurnya
bisa jadi memiliki “titik-titik pembuatan putusan” yang terbangun di dalamnya
(yakni, setelah menyelesaikan Langkah 3, haruskah saya melakukan Langkah 4A
atau Langkah 4B?). Ke dua,
sering terjadi tidak adanya jawaban tetap, tunggal, yang diharapkan ketika
prosedurnya diterapkan secara tepat.
Ide bahwa tidak ada jawaban
tunggal, tetap, khususnya berlaku untuk tujuan-tujuan yang menuntut penerapan pengetahuan konseptual seperti
teori, model, dan struktur, dalam mana tidak ada prosedur yang telah
dikembangkan untuk penerapannya.
Perhatikan sebuah tujuan seperti “Siswa diharapkan mampu menerapkan
sebuah teori psikologis sosial tentang
perilaku kerumunan untuk kontrol kerumunan.
Teori psikologis sosial adalah pengetahuan
konseptual bukan prosedural. Ini adalah jelas sebuah tujuan Penerapan, bagaimanapun, dan tidak ada
prosedur untuk melakukan penerapan. Meskipun
demikian teorinya akan terstruktur dengan sangat jelas dan memandu siswa dalam
melakukan penerapan, tujuan ini sudah termasuk pada sisi Menerapkan dari Mengkreasi, tetapi
ia adalah Penerapan. Karena itu ia akan diklasifikasi sebagai pengimplementasian.
Untuk
memahami mengapa demikian halnya, pikirkanlah kategori Menerapkan sebagai terstruktur sepanjang sebuah malar (continuum). Malar ini dimulai dengan eksekusi, yang sempit, sangat terstruktur, dalam mana Pengetahuan prosedural yang sudah
diketahui diterapkan hampir secara rutin.
Malar ini bergerak ke pengimplementasian,
yang lebar, sangat tak-terstruktur, dalam mana, pada awalnya, prosedurnya
harus dipilih agar cocok dengan sebuah situasi baru. Di tengahnya, , prosedurnya bisa jadi harus
dimodifikasi dalam rangka pengimplementasiannya. Di ujungnya yang jauh, pengimplementasian, dalam mana tidak
terdapat Pengetahuan prosedural untuk
dimodifikasi, sebuah prosedur harus dimanufaktur dari Pengetahuan konseptual dengan menggunakan teori, model, atau struktur
sebagai sebuah pemandu. Maka, meskipun Penerapan adalah terkait erat dengan Pengetahuan prosedural, dan kaitan ini terdapat
pada hampir semua kategori Menerapkan, terdapat
sejumlah kejadian dalam pengimplementasian
orang juga menerapkan Pengetahuan konseptual. Sebuah istilah alternatif untuk pengimplementasian adalah penggunaan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam matekatika, sebuah contoh
tujuannya adalah agar siswa dapat belajar memecahkan sejumlah masalah keuangan
pribadi. Asesmennya yang sesuai adalah
dengan menyajikan kepada para siswa sebuah masalah dalam mana mereka harus
memilih paket pendanaan yang paling ekonomis untuk sebuah mobil baru. Dalam IPA, sebuah contoh tujuannya adalah
agar siswa belajar menggunakan metode yang paling efektif, efisien, dan
terjangkau untuk melaksanakan sebuah studi riset mengenai sebuah pertanyaan
riset spesifik. Asesmennya yang sesuai
adalah memberi para siswa sebuah pertanyaan riset dan meminta mereka
mengusulkan sebuah studi riset yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan
mengenai efektivitas, efisiensi, dan keterjangkauan. Perhatikanlah bahwa dalam kedua pernyataan
tugas ini, siswa harus tidak hanya menerapkan sebuah prosedur (yakni, terlibat
dalam pengimplementasian) tetapi juga
menyandarkan diri pada pemahaman konseptual tentang masalah, prosedur, atau
keduanya.
FORMAT ASESMEN Dalam pengimplementasian, seorang siswa diberi sebuah masalah tak-akrab
yang harus dipecahkan. Dengan demikian,
banyak format asesmen dimulai dengan spesifikasi (perincian ketentuan)
masalah. Para siswa diminta menentukan
prosedur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah itu, memecahkan masalah
menggunakan prosedur terpilih (melakukan modifikasi jika diperlukan), atau
biasanya keduanya.
4. MENGANALISIS
Analisis melibatkan penguraian material
menjadi bagian-bagian yang membentuknya dan menetukan bagaimana bagian-bagian
berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan suatu struktur
keseluruhannya. Kategori proses ini
mencakup proses-proses kognitif pembeda-bedaan,
pengorganisasian, dan pengatribusian. Tujuan-tujuan yang diklasifikasikan
sebagai Menganalisis mencakup belajar
untuk menentukan keping-keping dari sebuah pesan yang penting atau relevan (membeda-bedakan), cara-cara bagaimana
keping-keping sebuah pesan itu di organisasi (mengorganisasikan), dan tujuan yang mendasari dari suatu pesan (mengatribusi). Meskipun belajar Menganalisis dapat dipandang sebagai sebuah tujuan itu sendiri,
lebih mungkin adanya untuk dipertahankan secara pedagogis untuk menganggap
analisis sebagai suatu perluasan dari Memahami
atau sebagai suatu penduluan untuk Mengevaluasi
atau Mengkreasi.
Peningkatan
keterampilan-keterampilan siswa dalam penganalisisan informasi-informasi
kependidikan adalah sebuah tujuan dalam banyak lapangan studi. Guru-guru IPA, IPS, humaniora, dan seni
sering memberi “pembelajaran untuk menganalisis” sebagai salah satu tujuan yang
penting. Tujuan-tujuan ini, misalnya,
ingin mengembangkan kemampuan siswa untuk:
·
membedakan fakta dari pendapat (atau realitas
dari fantasi);
·
menghubungkan simpulan-simpulan dengan
pernyataan-pernyataan pendukung;
·
membedakan material relevan dengan material yang
hubungannya tak-langsung;
·
menentukan bagaimana ide-ide berkaitan antara
yang satu dengan yang lainnya;
·
menegaskan asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan
yang terlibat dalam apa yang dikatakan;
·
membedakan ide-ide atau tema-tema dominan dari
ide-ide bawahan dalam puisi atau musik; dan
·
menemukan evidensi yang mendukung tujuan-tujuan
si penulis.
Kategori proses-proses Memahami, Menganalisis, dan Mengevaluasi adalah saling berkaitan dan
sering digunakan berulang dalam pelaksanaan tugas-tugas kognitif. Bagaimanapun, pada saat yang sama, penting
adanya untuk mempertahan mereka sebagai kategori-kategori proses yang
terpisah-pisah. Seseorang yang memahami
suatu informasi bisa jadi tidak mampu menganalisisnya dengan baik. Sama halnya, seseorang yang terampil dalam
penganalisisan suatu informasi bisa jadi menilainya secara buruk.
4.1 MEMBEDA-BEDAKAN
Membeda-bedakan melibatkan
pembeda-bedaan bagian-bagian dari sebuah struktur keseluruhan dalam kaitan
relevansi atau penting-tidaknya mereka. Membeda-bedakan terjadi ketika seorang
siswa memisah-misahkan informasi yang relevan dan yang tak-relevan, atau
informasi penting dan yang tak-penting, dan kemudian memperhatikan informasi
yang relevan atau penting. Membeda-bedakan adalah berbeda dari
proses-proses kognitif yang terkait dengan Memahami
karena ia melibatkan organisasi struktural dan, khususnya, melibatkan
penentuan bagaimana bagian-bagian berkesesuaian dengan struktur keseluruhan
adau keseluruhan. Secara lebih
spesifilknya, pembeda-bedaan berbeda dari
pembandingan dalam penggunaan konteks
yang lebih luas untuk menentukan apa yang relevan atau penting dan apa yang
tidak penting atau tidak relevan.
Misalnya, dalam pembeda-bedaan apel-apel
dan jeruk-jeruk dalam konteks buah-buahan, biji internal adalah relevan, tetapi
warna dan bentuk adalah tak-relevan.
Dalam pembandingan, semua aspek ini (biji, warna, dan bentuk)
adalah relevan. Istilah-istilah
alternatif untuk membeda-bedakan adalah
mendiskriminasi, memilih, dan memusatkan perhatian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMEN YANG SESUAI Dalam IPS, sebuah tujuannya adalah agar
siswa dapat belajar menentukan butir-butir utama dalam laporan riset. Sebuah item asesmennya yang sesuai
mempersyaratkan seorang siswa melingkari butir-butir utama dalam sebuah laporan
arkeologi tentang sebuah kota suku Maya purba (seperti kapan sebuah kota dimulai
dan kapan berakhir, penduduk kota selama perjalanan kota itu, lokasi geografis
kota, gedung-gedung dalam kota, fungsi ekonomi dan budaya, organisasi sosial
kota, mengapa kota dibangun dan mengapa ditinggalkan penduduknya).
Sama halnya, dalam IPA, sebuah
tujuannya agar siswa dapat memilih langkah-langkah utama dalam sebuah deskripsi
tertulis tentang bagaimana sesuatu bekerja.
Sebuan item asesmennya meminta seorang siswa membaca sebuah bab dalam
sebuah buku yang mendeskripsikan pembentukan petir dan kemudian memilah
prosesnya menjadi langkah-langkah utama (mencakup peningkatan udara lembab
hingga membentuk awan, penciptaan updrafts
dan downdrafts di dalam awan, dan
seterusnya).
Yang terakhir, dalam matematika,
sebuah tujuannya agar siswa dapat membedakan bilangan-bilangan matematika dalam
sebuah masalah kata. Sebuah item
asesmennya mempersyaratkan seorang siswa melingkari bilangan-bilangan relevan
dan memberi tanda silang bilangan-bilangan tak-relevan dalam sebuah masalah kata.
FORMAT ASESMEN Pembeda-bedaan
dapat di-ases dengan tugas-tugas terkonstruksi atau terpilih. Dalam sebuah tugas respon terkonstruksi,
seorang siswa diberi suatu material dan diminta menunjukkan bagian-bagian mana
yang sangat penting atau relevan, seperti dalam contoh ini: “Tuliskan bilangan-bilangan yang dibutuhkan
untuk memecahkan masalah ini: Sejumlah
Pinsil dalam kotak yang masing-masing berisi 12 pinsil dan harganya
masing-masing kotak adalah Rp. 2.000,00.
Andi punya uang Rp. 5.000,00 dan ingin membeli 24 pinsil. Berapa kotak yang harus ia beli?” Dalah sebuah tugas pilihan, seorang siswa
diberi suatu material dan diminta memilih
bagian mana yang paling penting atau relevan, seperti dalam contoh:
“Bilangan-bilangan yang mana yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah ini? Pensil-pensil dalam kotak yang berisi 12
pinsil dan harganya per kotak Rp. 2.000,00.
Andi memiliki Rp. 5.000,00 dan
ingin membeli 24 pinsil. Berapa kotak
yang harus ia beli? (a) 2 kotak, (b) 1
kotak, (c) 3 kotak, (d) 2 ½ kotak.
4.2 MENGORGANISASI
Mengorganisasi melibatkan
pengidentifikasian unsur-unsur informasi atau situasi dan mengenali bagaimana
mereka secara bersamaan membentuk sebuah struktur yang koheren. Dalam pengorganisasian,
seorang siswa membangun hubungan-hubungan sistematik dan koheren di antara
keping-keping informasi yang tersaji. Pengorganisasian biasanya terjadi bersamaan dengan pembeda-bedaan. Siswa pertama-tama mengidentifikasi
unsur-unsur relevan atau penting dan kemudian menentukan struktur keseluruhannya. Pengorganisasian
dapat juga terjadi bersamaan dengan pengatribusian,
dalam mana fokusnya adalah penentuan maksud atau sudut pandang si
penulis. Istilah-istilah alternatif
untuk pengorganisasian adalah
penstrukturan, pengintegrasian, penemuan koherensi, penyusunan kerangka-pikir (outlining), dan parsing (penguraian sebuah kalimat menjadi bagian-bagian
gramatiikalnya seperti subjek, predikat, dan seterusnya).
CONTOH
TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG SESUAI
Dalam pengorganisasian, ketika
diberi sebuah deskripsi tentang sebuah situasi atau masalah, seorang siswa
mampu mengidentifikasi sistematika, perhubungan-perhubungan koheren antarunsur
yang relevan. Sebuah contoh tujuannya
dalam IPS adalah agar siswa dapat belajar membuat struktur sebuah deskripsi
historis yang terbentuk oleh bukti-bukti yang mendukung sebuah eksplanasi
tertentu. Sebuah item asesmennya yang
sesuai meminta seorang siswa menulis sebuah kerangka-pikir yang memperlihatkan
fakta-fakta yang mana dalam sebuah bacaan tentang sejarah Reformasi Indonesia
tahun 1998 yang mendukung dan yang mana yang tidak mendukung simpulan bahwa
Reformasi itu disebabkan oleh sentralisasi kekuasaan pada sebuah partai
berkuasa, pada eksekutif, dan pada pemerintahan pusat. Sebuah contoh tujuannya dalam IPA ialah agar
siswa dapat belajar menganalisis laporan-laporan riset dalam kaitannya dengan
empat bagian: hipotesis, metode, data, dan simpulan. Sebagai sebuah asesmen, para siswa diminta
memproduksi sebuah kerangka-pikir dari sebuah laporan riset yang
disajikan. Dalam matematika, sebuah
contoh tujuannya adalah agar siswa belajar menyusun kerangka-pikir
pelajaran-pelajaran dari buku ajar.
Sebuah tugas asesmennya yang sesuai meminta seorang siswa membaca sebuah
pelajaran dari buku ajar tentang statistika dasar dan kemudian menciptakan
sebuah matriks yang mengikutsertakan nama statistik, formula, dan persyaratan
penggunaannya.
FORMAT ASESMEN Pengorganisasian
melibatkan pemberlakuan sebuah struktur pada material (seperti
kerangka-pikir, tabel, matriks, atau diagram hirarkhis). Dengan demikian asesmennya dapat didasarkan
pada tugas-tugas terkonstruksi atau pemilihan.
Dalam sebuah tugas respon terkonstruksi, seorang siswa dapat diminta
memproduksi sebuah kerangka-pikir tertulis tentang sebuah bacaan. Dalam sebuah tugas respon pemilihan, seorang
siswa dapat diminta untuk memilih empat alternatif hierarkhi-hierarkhi grafis
yang sangat sesuai dengan organisasi dari sebuah bacaan yang tersaji.
4.3
MENGATRIBUSI
Pengatribusian terjadi ketika seorang siswa mampu menentukan
sudut pandang, bias, nilai-nilai, atau maksud-maksud yang mendasari suatu
komunikasi atau informasi. Pengatribusian melibatkan sebuah proses
dekonstruksi, dalam mana seorang siswa menentukan maksud-maksud dari si penulis
dari material yang disajikan. Berbeda
halnya dengan penginterpretasian, dalam
mana siswa berupaya untuk Memahami makna
dari material yang tersaji, pengatribusian
melibatkan suatu pemerluasan melampaui pemahaman dasar untuk menyimpulkan
maksud atau sudut pandang yang mendasari material yang tersaji. Misalnya, dalam membaca sebuah bacaan tentang
perang DI/TII dalam sejarah Perang Saudara Indonesia, seorang siswa perlu
menentukan apakah si pengarang mengadopsi sudut pandang nasionalis atau sudut
pandang sebuah kelompok muslim yang berkembang di Indonesia pada waktu itu. Istilah alternatifnya adalah dekonstruksi.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam pengatribusian, ketika diberi informasi, seorang siswa mampu
menentukan sudut pandang atau maksud yang mendasari dari si penulis. Misalnya, dalam pelajaran sastra, sebuah
tujuannya adalah agar siswa dapat belajar menentukan motif-motif dari
serangkaian tindakan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. Sebuah tugas asesmennya yang sesuai adalah
setelah membaca Macbeth dari Shakespeare siswa ditanya apa
motif (motif-motif) yang Shakespeare atribusi-kan kepada Macbeth untuk membunuh King
Duncan. Dalam IPS, sebuah contoh
tujuannya agar siswa dapat belajar menentukan sudut pandang si penulis sebuah
esai tentang sebuah topik kontroversial dalam kaitan perspektif
teoritisnya. Sebuah tugas asesmennya
yang sesuai bertanya kepada siswa apakah sebuah laporan tentang hutan hujan
Amazon ditulis dari sudut pandang seorang pro-lingkungan atau seorang
pro-bisnis. Tujuan ini juga berlaku
untuk IPA. Sebuah tugas asesmennya meminta seorang siswa menentukan apakah
behavioris atau psikologiwan kognitif yang menulis sebuah esai tentang
pembelajaran.
FORMAT ASESMEN Pengatribusian
dapat di-ases dengan menyajikan suatu material tertulis atau lisan dan kemudian
meminta seorang siswa untuk mengkonstruksi atau memilih sebuah deskripsi sudut
pandang, maksud, dan yang sejenis dari si penulis atau si pembicara. Misalnya, sebuah tugas respon terkonstruksi adalah “Apa tujuan si penulis dalam menulis
esai yang anda baca tentang hutan hujan Amazon?” Sebuah seleksi pemilihan dari tugas ini
adalah “Tujuan si penulis menulis esai yang anda baca adalah: (a) menyediakan
informasi faktual tentang hutan hujan Amazon, (b) membuat pembaca waspada akan
pentingnya melindungi hutan hujan, (c) mendemonstrasikan keuntungan-keuntungan
ekonomis dari pengembangan hutan hujan, atau (d) mendeskripsikan
konsekuensi-konsekuensi bagi manusia jika hutan hujan dikembangkan”. Alternatifnya, siswa dapat diminta untuk
menunjukkan apakah si penulis esai akan (a) sangat setuju, (b) setuju, (c)
tidak setuju juga tidak tidak-setuju, (d) tidak setuju, atau (e) sangat tidak
setuju karena beberapa pernyataan.
Pernyataan-pernyataannya seperti “Hutan hujan adalah sebuah tipe unik dari
sistem ekologis”.
5.
MENGEVALUASI
Mengevaluasi didefinisikan sebagai
pembuatan judgements (putusan,
pertimbangan) didasarkan atas kriteria atau standar. Kriteria yang sangat sering digunakan adalah
kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria ini bisa jadi ditentukan oleh siswa
atau oleh orang lain. Standar bisa jadi
kuantitatif (yakni, Apakah ini suatu jumlah yang cukup?) atau kualitatif
(yakni, Apakah ini cukup baik?). Standar
diberlakukan untuk kriteria (yakni, Adakah proses ini cukup efektif? Adakah produk ini memiliki kualitas
cukup?). Kategori Mengevaluasi mencakup proses-proses kognitif pengecekan (putusan/ pertimbangan tentang konsistensi internal) dan
pengritrikan (putusan/pertimbangan
yang didasarkan atas kriteria eksternal).
Hendaknya ditekankan bahwa tidak
semua putusan/pertimbangan adalah evaluatif.
Misalnya, misalnya siswa-siswa membuat putusan/pertimbangan tentang
apakah sebuah contoh khusus sesuai dengan sebuah kategori. Mereka membuat putusan/pertimbangan tentang
ketepatan dari sebuah prosedur tertentu untuk sebuah masalah khusus.
Mereka membuat putusan/pertimbangan tentang apakah dua benda adalah sama
atau berbeda. Faktanya, banyak proses
kognitif mempersyaratkan suatu bentuk pembuatan putusan/pertimbangan. Apa yang paling jelas membedakan Mengevaluasi sebagaimana didefinisikan
di sini putusan/pertimbangan lainnya yang dilakukan para siswa adalah
penggunaan standar kinerja dengan kriteria yang didefnisikan dengan jelas. Adakah mesin ini bekerja seefisien yang
seharusnya? Adakah metode ini adalah
cara terbaik untuk mencapai tujuan?
Adakah pendekatan ini lebih efektif biaya ketimbang pendekatan
lainnya? Pertanyaan-pertanyaan yang
demikian ini dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam Mengevaluasi.
5.1 MENGECEK
Pengecekan melibatkan pengetesan
inkonsistensi atau kesalahan internal dalam sebuah operasi atau sebuah
produk. Misalnya, pengecekan terjadi ketika seorang siswa mengetes apakah sebuah
simpulan itu sebagai keharusan dari
premis-premisnya, apakah data mendukung atau mendiskonfirmasi sebuah
hipotesis, atau apakah material yang tersaji berisi bagian-bagian yang
kontradktif antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika dikombinasikan dengan merencanakan (sebuah proses kognitif
dalam kategori Mengkreasi) dan mengimplementasikan (sebuah proses
kognitif dalam kategori Menerapkan),
pengecekan melibatkan penentuan seberapa baik suatu rencana berjalan. Istilah-istilah alternatifnya adalah
pengetesan, pendeteksian, pemantauan, dan pengkoordinasian.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam pengecekan, para siswa mencari inkonsistensi internal. Sebuah contoh tujuan dalam IPS misalnya agar
siswa dapat belajar mendeteksi inkonsistensi-inkonsistensi dalam pesan-pesan
persuasif. Sebuah tugas asesmennya yang
sesuai meminta siswa menyaksikan sebuah iklan televisi untuk seorang kandidat
politik dan menunjukkan cacat-cacat logis dalam pesan persuasifnya. Sebuah contoh tujuan dalam IPA adalah agar
siswa dapat belajar menentukan apakah simpulan seorang ilmuwan dihasilkan dari
data yang diobservasi. Sebuah tugas
asesmennya meminta seorang siswa membaca sebuah laporan tentang eksperimentasi
kimia dan menentukan apakah simpulannya berdasarkan hasil-hasil eksperimen atau
tidak.
FORMAT ASESMEN Tugas-tugas pengecekan dapat melibatkan operasi-operasi atau produk-produk yang
disajikan kepada para siswa atau sesuatu yang diciptakan oleh siswa
sendiri. Pengecekan dapat juga terjadi dalam konteks pelaksanaan sebuah
solusi untuk sebuah masalah atau
pelaksanaan sebuah tugas, dimana terdapat kepentingan untuk menjaga konsistensi
dari implementasi aktual.
5.2 MENGERITIK
Mengeritik melibatkan pembuatan
putusan/pertimbangan tentang sebuah produk atau operasi didasarkan atas
kriteria atau standar eksternal. Dalam pengeritikan, seorang siswa mencatat
ciri-ciri positif dan negatif dari sebuah produk dan membuat sebuah
putusan/pertimbangan didasarkan atas sekurang-kurangnya sebagian dari ciri-ciri
tersebut. Pengeritikan terletak di inti dari apa yang disebut berpikir
kritis. Sebuah contoh pengeritikan adalah pembuatan
putusan/pertimbangan mengenai manfaat-manfaat dari sebuah solusi tertentu untuk
masalah hujan asam dalam kaitannya dengan kemungkinan efektivitasnya dan
kaitannya dengan biaya (yakni, mempersyaratkan semua pabrik energi di seluruh
negara untuk membatasi emisi pipa asap mereka hingga ke suatu batas). Istilah alternatif untuk pengertikan adalah judging (pemberian
putusan/pertimbangan).
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam mengeritik, para siswa membuat putusan/pertimbangan mengenai
manfaat-manfaat sebuah produk atau operasi didasarkan atas kriteria atau
standar khusus atau yang ditentukan siswa. Dalam IPS, tujuannya misalnya agar
siswa dapat belajar mengevaluasi sebuah solusi yang diusulkan (seperti “menghapuskan
pemberian nilai”) pada sebuah masalah sosial (seperti “bagaimana meningkatkan
pendidikan jenjang kelas 12)” dalam kaitan dengan kemungkinan
efektivitasnya. Dalam IPA, sebuah
tujuannya agar siswa dapat belajar mengevaluasi kemasukakalan sebuah hipotesis
(seperti hipotesis bahwa straeberi tumbuh dengan ukuran luar biasa karena
penyatuan bintang-bintang secara luar biasa).
Yang terakhir, dalam matematika, sebuah tujuannya agar siswa dapat
belajar membuat putusan/pertimbangan tentang yang mana dari dua alternatif
metode yang lebih efektif dan lebih efisien untuk memecahkan masalah yang ada
(seperti membuat putusan/pertimbangan apakah lebih baik menemukan semua faktor
prima dari 60 atau memproduksi sebuah persamaan aljabar untuk memecahkan
masalah “Apa saja cara-cara yang mungkin agar anda dapat mengalikan dua
bilangan bulat untuk mendapatkan 60?”).
FORMAT ASESMEN Seorang siswa dapat diminta untuk
mengeritik hipotesis atau keasinya atau yang dihasilkan oleh orang lain. Kritiknya dapat didasarkan kriteria positif,
negatif, atau keduanya dan menghasilkan baik konsekuensi-konsekuensi positif
maupun negatif. Misalnya, dalam mengeritik sebuah proposal dinas
pendidikan yang menuntut belajar setahun penuh, seorang siswa akan menghasilkan
konsekuensi positif seperti terhapusnya kerugian belajar akibat libur musim
panas, dan konsekuensi negatifnya, seperti terganggunya libur keluarga.
6. MENGKREASI
Mengkreasi melibatkan menyusun
unsur-unsur bersamaan untuk membentuk sebuah keseluruhan yang koheren atau
fungsional. Tujuan-tujuan yang
diklasifikasikan sebagai Mengkreasi menghendaki para siswa membuat sebuah produk
baru dengan mreorganisasi secara mental sejumlah unsur atau bagian menjadi
sebuah pola atau struktur yang sebelumnya tersaji tidak jelas. Proses yang terlibat dalam Mengkreasi umumnya terkoordinasi dengan
pengalaman-pengalaman belajar siswa sebelumnya.
Meskipun Mengkreasi mempersyaratkan
pemikiran kreatif dari siswa, hal ini bukan ekspresi krestif yang sepenuhnya
bebas tanpa dikendalai oleh tuntutan-tuntutan tugas belajar atau situasi.
Bagi sebagian orang, kreativitas
adalah produksi produk-produk luar biasa, sering sebagai sebuah hasil dari
suatu keterampilan istimewa. Mengkreasi, sebagaimana digunakan di
sini, bagaimanapun, meskipun ia mencakup tujuan-tujuan yang menghendaki
produksi unik, juga merujuk pada tujuan-tujuan yang menghendaki produksi yang
semua siswa dapat dan akan lakukan. Dalam
memenuhi tujuan ini, banyak siswa akan mengkreasi dalam arti memproduksi
sintesis-sintesis informasi atau material mereka sendiri untuk membentuk sebuah
keseluruhan yang baru, seperti dalam menulis, melukis, mengukir, membuat
gedung, dan seterusnya..
Meskipun banyak tujuan dalam
kategori Mengkreasi menekankan
orsinalitas (atau keunikan), para pendidik harus mendefinisikan apa orisinal
atau unik itu. Dapatkah istilah unik digunakan untuk mendeskripsikan
karya seorang individu siswa (yakni, “Ini adalah unik untuk Andini”) atau dapatkah
ia digunakan untuk sekelompok siswa (yakni, “Ini adalah unik untuk sekelompok
siswa kelas V”)? Bagaimanapun, penting
untuk dicatat bahwa banyak tujuan dalam kategori Mengkreasi tidak menyandarkan diri pada orsinalitas atau keunikan. Maksud guru dengan tujuan-tujuan ini adalah
agar siswa mampu men-sintesis material menjadi sebuah keseluruhan. Sintesis ini sering dipersyaratkan dalam
makalah-makalah dalam mana siswa diharapkan menyusun material yang diajarkan
sebelumnya menjadi sebuah sajian yang terorganisasi.
Meskipun kategori-kategori
proses Memahami, Menerapkan, dan Menganalisis dapat melibatkan
pendeteksian perhubungan di antara unsur-unsur,
Mengkreasi adalah berbeda
karena ia juga melibatkan konstruksi produk orsinil. Tidak seperti Mengkreasi, kategori-kategori lainnya melibatkan kerja dengan sehimpunan
unsur yang sudah tersedia yang adalah bagian dari sebuah keseluruhan yang ada;
yaitu, mereka adalah bagian dari sebuah struktur yang lebih besar yang sedang
dicoba dipahami oleh siswa. Dalam Mengkreasi, pada sisi lainnya, siswa
harus menggunakan unsur-unsur dari banyak sumber dan menyusun mereka menjadi
sebuah struktur atau pola baru berkaitan dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Mengkreasi menghasilkan
sebuah produk baru, yaitu, sesuatu yang dapat diobservasi dan yang lebih dari
material awal siswa. Sebuah tugas yang
mempersyaratkan Mengkreasi memuat
kemungkinan mempersyaratkan dalam batas tertentu aspek-aspek dari masing-masing
kategori proses kognitif yang berada pada tingkatan sebelumnya, tetapi tidak
niscaya dalam tatanan sebagaimana dalam Tabel Taksonomi.
Kita tahu bahwa composition (termasuk menulis) sering,
tapi tidak selalu, mempersyaratkan proses-proses kognitif yang berkaitan dengan
Mengkreasi. Misalnya, Mengkreasi tidak terlibat dalam menulis yang mewakili pengingatan
ide-ide atau interpretasi material. Kita
juga tahu bahwa pemahaman mendalam yang melampaui pemahaman dasar dapat mempersyaratkan
proses-proses kognitif yang berkaitan dengan Mengkreasi. Dalam hal
pemahaman mendalam adalah sebuah tindakan pengkonstruksian atau insight, proses kognitif Mengkreasi adalah terlibat.
Proses kreatif dapat dipecah
menjadi tiga bagian: masalah penggambaran (representation),
dalam mana seorang siswa berupaya memahami tugas yang dihadapi dan membangkitkan
(generate) solusi-solusi yang
mungkin; perencanaan solusi, dalam mana seorang siswa mengkaji
kemungkinan-kemungkinannya dan menciptakan sebuah rencana yang dapat
dilaksanakan; dan eksekusi solusi, dalam mana seorang siswa melaksanakan
rencana itu dengan berhasil. Dengan
demikian, proses kreatif dapat dipikirkan sebagai dimulai dengan sebuah tahapan
banyak arah dalam mana berbagai solusi yang mungkin dikaji ketika siswa
berupaya memahami tugasnya (generating, membuat
solusi yang mungkin). Ini diikuti oleh
sebuah tahap satu arah, dalam mana siswa merancang sebuah metode solusi dan
mengalihkannya menjadi sebuah rencana tindakan (merencanakan). Terakhir,
rencananya dieksekusi ketika siswa mengkonstruksi solusi (mem-produksi). Tidaklah mengherankan adanya, maka, bahwa Mengkreasi terkait dengan tiga proses kognitif: memunculkan (generating), merencanakan, dan
mem-produksi.
6.1 MEMUNCULKAN (GENERATING)
Memunculkan melibatkan menggambarkan
masalah dan berupaya memiliki alternatif-alternatif atau hipotesis-hipotesis
yang memenuhi kriteria tertentu.
Seringkali cara sebuah masalah digambarkan pada awalnya menyarankan
solusi yang mungkin; bagaimanapun, redefinisi atau dihasilkannya lagi sebuah
gambaran baru dari masalah dapat menyarankan solusi-solusi yang berbeda. Ketika pemunculan
melampaui batas-batas atau kendala-kendala pengetahuan sebelumnya dan
teori-teori yang ada, ia melibatkan berpikir banyak arah dan membentuk inti
dari apa yang disebut berpkir kreatif.
Pemunculan di sini digunakan dalam sebuah arti terbatas. Memahami
juga mempersyaratkan proses-proses pembangkitan, yang mencakup pen-translasi-an, pencontohan,
pengikhtisaran, menyimpulan, pengklasifikasian, pembandingan, dan peng-eksplanasi-an. Bagaimanapun, tujuan Memahami adalah lebih sering satu arah (yakni, untuk mendapatkan
sebuah makna tunggal). Berbeda halnya,
tujuan pemunculan dalam Mengkreasi adalah banyak arah (yakni,
untuk mendapatkan berbagai kemungkinan).
Sebuah istilah alternatif untuk pemunculan adalah meng-hipotesis-kan.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam pemunculan, seorang siswa diberi sebuah deskripsi sebuah masalah
dan harus memproduksi solusi-solusi alternatif.
Misalnya, dalam IPS, sebuah tujuannya adalah agar siswa dapat belajar
membangkitkan berbagai solusi bermanfaat yang mungkin untuk masalah-masalah
sosial. Sebuah item asesmennya yang
sesuai adalah: “Sarankan sebanyak yang dapat anda berikan untuk menjamin setiap
orang memilki asuransi kesehatan yang memadai”.
Untuk meng-ases respon siswa, guru harus mengkonstruksi sehimpunan
kriteria bersama dengan siswa. Hal ini
dapat mencakup jumlah alternatif, kemasukakalan berbagai alternatif, praktikalitas
berbagai alternatif, dan seterusnya.
Dalam IPA, sebuah tujuannya agar siswa dapat belajar memunculkan
hipotesis-hipotesis untuk mengeksplanasi fenomena yang diobservasi. Sebuah tugas asesmenya yang sesuai meminta
para siswa menulis sebanyak mungkin hipotesis untuk mengeksplanasi pertumbuhan
strawberi hingga memiliki ukuran yang luar biasa. Lagi, guru harus membangun kriteria yang
didefinisikan dengan terang untuk memutuskan/mempertimbangkan kualitas respon-respon
dan menyampaikannya kepada para siswa.
Terakhir, sebuah tujuan dari matematika ialah agar siswa dapat
memunculkan metode-metode alternatif untuk mendapatkan sebuah hasil
tertentu. Sebuah item asesmennya yang
sesuai adalah: “Apa metode-metode alternatif yang dapat anda gunakan untuk menemukan
berapa bilangan-bilangan bulat yang menghasilkan 60 ketika dikalikan
bersamaan?” Untuk masing-masing asesmen dibutuhkan
kriteria pen-skoran yang tersurat, dipahami bersama.
FORMAT ASESMEN Meng-ases pemunculan khasnya melibatkan format-format respon terkonstruksi
dalam mana seorang siswa diminta memproduksi alternatif-alternatif atau
hiposis-hipotesis. Dua subtipe
tradisional adalah tugas-tugas konsekuensi dan tugas-tugas penggunaan. Dalam sebuah tugas konsekuensi, seorang siswa
harus membuat daftar semua konsekuensi yang mungkin dari sebuah kejadian
tertentu, seperti “Apa yang akan terjadi jika terdapat pajak penghasilan yang
datar ketimbang pajak penghasilan berperingkat?” Dalam sebuah tugas penggunaan, seorang siswa
harus mendaftar semua penggunaan yang mungkin dari sebuah objek, seperti “Apa
saja penggunaan yang mungkin dari World
Wide Web?” Hampir tidak mungkin
adanya menggunakan format pilihan jamak untuk meng-ases proses-proses pemunculan.
6.2 MERENCANAKAN
Merencanakan melibatkan perancangan
sebuah metode solusi yang memenuhi sebuah kriteria masalah, yakni,
mengembangkan sebuah rencana untuk memecahkan masalah. Dalam merencanakan,
seorang siswa dapat membuat sub-sub-tujuan, atau memecah sebuah tugas
menjadi sub-sub-tugas yang akan dilaksanakan ketika memecahkan masalah. Guru-guru sering tidak melakukan langkah
menyatakan tujuan perencanaan, malahan
menyatakan tujuan-tujuan dalam kaitannya dengan memproduksi, tahap akhir dari proses kreatif. Ketika hal ini terjadi, merencanakan diasumsikan atau tersirat dalam tujuan memproduksi.
Dalam kasus ini, merencanakan kemungkinan
dilaksanakan oleh siswa secara tertutup selama kegiatan mengkonstruksi sebuah
produk (yakni, memproduksi). Sebuah istilah alternatif untuk merencanakan adalah mendesain.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam merencanakan, ketika diberi sebuah pernyataan masalah, seorang
siswa mengembangkan sebuah metode solusi.
Dalam sejarah, sebuah contoh tujuannya adalah agar siswa mampu
merencanakan sebuah makalah riset tentang topik-topik sejarah yang
tersedia. Sebuah tugas asesmennya
meminta siswa, sebelum menulis sebuah makalah riset tentang sebab-sebab
munculnya gerakan Kebangkitan Nasional pada era kolonialisme Belanda di
Indonesia, menyampaikan sebuah kerangka-pikir dari makalahnya, mencakup
langkah-langkah yang akan diikutinya untuk melaksanakan risetnya. Dalam IPA, sebuah contoh tujuannya ialah agar
siswa dapat belajar mendesain studi-studi untuk mengetes berbagai hipotesis. Sebuah tugas asesmennya meminta siswa
merencanakan sebuah cara untuk menentukan yang mana dari tiga faktor yang
menentukan tingkat osilasi sebuah pendulum.
Dalam matematika, sebuah tujuannya ialah agar siswa mampu menentukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah geometri. Sebuah tugas asesmennya meminta para siswa
merancang sebuah rencana untuk menentukan volum dari bagian dasar sebuah
piramida (sebuah tugas yang sebelumnya tidak dipelajari di kelas). Rencana ini dapat melibatkan penghitungan
volume piramida besar, kemudian menghitung volum piramid kecil, dan terakhir
mengurangkan volume yang lebih besar dengan volum yang lebih kecil.
FORMAT ASESMEN Merencanakan
dapat di-ases dengan meminta para siswa mengembangkan solusi-solusi yang
terkaji, mendeskripsikan rencana solusi, atau memilih rencana solusi untuk
suatu masalah yang tersedia.
6.3 MEMPRODUKSI
Memproduksi melibatkan pelaksanaan
sebuah rencana untuk memecahkan sebuah masalah yang ada yang memenuhi
spesifikasi-spesifikasi tertentu. Sebagaimana
sudah kita ketahui, tujuan-tujuan dalam kategori Mengkreasi dapat atau tidak dapat mengikutsertakan orsinalitas atau
keunikan sebagai salah satu spesifikasi.
Demikian juga halnya dengan tujuan-tujuan memproduksi. Memproduksi dapat
mempersyaratkan koordinasi empat tipe pengetahuan yang dideskripsikan dalam
Tipe-tipe Pengetahuan di atas. Sebuah
istilah alternatifnya adalah mengkonstruksi.
CONTOH TUJUAN DAN ASESMENNYA YANG
SESUAI Dalam memproduksi, seorang siswa diberi sebuah deskripsi fungsional
tentang sebuah tujuan dan harus mengkreasi sebuah produk yang memenuhi
deskripsi tersebut. Ia melibatkan
pelaksanaan sebuah rencana solusi untuk sebuah masalah yang ada. Contoh tujuan-tujuannya melibatkan
pem-produksian produk-produk baru dan bermanfaat yang memenuhi persyaratan
tertentu. Dalam sejarah, sebuah
tujuannya adalah agar siswa dapat belajar menulis makalah mengenai periode
historis tertentu yang memenuhi standar yang dispesifikasi oleh para ahli. Sebuah tugas asesmennya meminta siswa menulis
sebuah kisah singkat yang terjadi selama masa jaya Gajah Mada. Dalam IPA, sebuah tujuannya ialah agar siswa
dapat belajar mendesain habitat untuk spesies tertentu dan kepentingan
tertentu. Sebuah tugas asesmennya yang
sesuai meminta siswa mendesain wilayah-wilayah penghidupan dari sebuah stasiun
angkasa luar. Dalam sastra Indonesia,
sebuah tujuannya ialah agar siswa dapat belajar mendesain latar (set) untuk suatu drama. Sebuah tugas untuk asesmennya yang sesuai
meminta siswa mendesain latar untuk sebuah produksi siswa dengan judul Kecap Buatan Indonesia. Dalam semua contoh ini,
spesifikasi-spesifikasi menjadi kriteria untuk pengevaluasian kinerja siswa
berkaitan dengan tujuannya.
Spesifikasi-spesifikasi ini, maka, hendaknya diikutsertakan dalam rubrik
penskoran yang diberikan kepada siswa sebelum asesmen dilakukan.
FORMAT ASESMEN Sebuah tugas umum untuk peng-ases-an pemroduksian adalah sebuah tugas desain, dalam mana siswa
diminta mengkreasi sebuah produk yang sesuai dengan spesifikasi-spesifikasi
tertentu. Misalnya, para siswa dapat
diminta memproduksi rencana skematik untuk sebuah SMA baru yang mengikutsertakan
cara-cara baru bagi para siswa untuk menyimpan secara nyaman barang-barang
pribadi mereka.
Mengenali-ulang
|
Mengingat-ulang
|
Menginterpretasi
|
Menyontohkan
|
Mengklasifikasi
|
Mengikhtisarkan
|
Menyimpulkan
|
Membandingkan
|
Mengeksplanasi
|
Mengeksekusi
|
Mengimplementasi
|
Membeda-bedakan
|
Mengatribusi
|
Mengecek
|
Mengeritik
|
Memunculkan
|
Merencanakan
|
Memproduksi
|
Diagram 8 Ikhtisar Taksonomi Bloom
|
Mengorganisasi
|
·
Pedagogical zone
·
Higher ordered thinking
·
Meaningful learning
|
·
Dangerous zone jika pembelajaran hanya
ini
·
Lower ordered thinking
·
Rote learning
|
Diagram
9 TBT - Pedagogi
IV. ICK AFEKTIF
A. Pendidikan Afektif Krathwohl
Taksonomi ranah afektif Krathwohl, disusun bersama Bloom
dan Masia (1973), barangkali taksonomi yang paling dikenal orang dalam bidang
afektif. "Taksonomi ini ditata sesuai dengan prinsip internalisasi. Internalisasi merujuk pada proses
perasaan/sikap terhadap sebuah objek yang berkisar dari sebuah tingkatan
kesadaran yang umum/hanya menyadari sesuatu/menjadi melek nilai, ke tingkatan dimana perasaan tersebut
‘terinternalisasi’ dan secara konsisten membimbing atau mengontrol tingkah laku
seseorang (Seels & Glasgow, 1990, p. 28)." Demikianlah, bahwa afeksi adalah proses
mental atau kesadaran pada sisi emosi utamanya, berkenaan dengan perasaan atau
sikap positif-negatif; juga, bahwa puncak pendidikan afeksi dengan kata lain
adalah habits of mind, kebiasaan kesadaran
atau batin atau jiwa. Tetapi ini tidak
berarti tidak diikutsertakannya habits of
action dalam perilaku-perilaku ideal.
"Taksonomi” artinya adalah “klasifikasi”, maka taksonomi
tujuan-tujuan belajar adalah sebuah upaya untuk mengklasifikasi bentuk-bentuk
dan tingkat-tingkat belajar. Taksonomi mengidentifikasi tiga “ranah” belajar, masing-masing ranah ini
diorganisasikan sebagai serangkaian tingkatan atau secara pre-requisites. Ini menyarankan bahwa seseorang tidak dapat
secara efektif – jangan mencoba untuk – menguasai tingkatan-tingkatan yang
lebih tinggi sebelum tingkatan yang lebih rendah dikuasai. Taksonomi menyarankan topik-topik dalam
kurikulum disajikan secara runtunan, juga menyarankan suatu cara kategorisasi
tingkatan-tingkatan belajar. Karena itu, misalnya, dalam ranah kognitif,
pendidikan untuk teknisi bisa jadi mencakup pengingatan,
pemahaman dan penerapan, tetapi
tidak berkepentingan dengan analisis dan
yang di atasnya, sedangkan untuk pendidikan profesional bisa jadi mencakup analisis, evaluasi, dan kreasi.
Adapun susunan taksonomi
afektif Krathwohl (Krathwohl dkk.,1964,
tersedia di: http://www.learningandteaching.info/learning/
bloomtax.htm. 01.08.10) sebagaimana disajikan pada
diagram di bawah ini.
Ranah afektif (Krathwohl, Bloom, Masia, 1973) cara kita
menghadapi suatu hal secara emosional, seperti perasaan-perasaan, nilai-nilai,
apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Lima kategorinya dimulai dari
perilaku yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks:
Tabel
10 Taksonomi Krathwohl
Kategori
|
Contoh
dan Kata Kunci (Verba)
|
Receiving/Menerima fenomena:
·
Individu mulai sadar secara positif
akan fenomena
|
Contoh: Mendengarkan orang lain dengan hormat. Memperhatikan dan mengingat nama orang yang
baru diperkenalkan.
Kata Kunci: bertanya, memilih, mendekripsikan, mengikuti, memberi,
mengidentifikasi, menunjukkan tempat, menyebutkan nama, menunjukkan, memilih,
duduk, berdiri, menjawab, menggunakan.
|
Responding/Merespon
terhadap fenomena:
·
Berpartisipasi
aktif mempelajari sesuatu.
Memperhatikan dan mereaksi terhadap fenomena tertentu.
·
Hasil-hasil
belajar dapat menekankan keinginan untuk merespon, kepatuhan dalam merespon,
atau kepuasan dalam merespon.
|
Contoh: Berpartisipasi
dalam diskusi kelas. Memberikan sebuah presentasi. Mengajukan pertanyaan
tentang cita-cita, konsep-konsep, model-model baru, dan lain-lain dalam
rangka memahami secara penuh. Mengetahui peraturan keamanan dan
mempraktikkannya.
Kata Kunci:
menjawab, membantu, menyediakan bantuan, mematuhi, menyesuaikan diri,
mendiskusikan, menyambut, memnberi label, melaksanakan, mempraktikkan,
menyajikan, membaca, melaporkan,
memilih, mengatakan, menulis.
|
Valuing/Menilai:
·
Harga,
nilai atau anggapan penting
yang seseorang berikan pada sebuah fenomena tertentu.
·
Ini
berkisar dari persetujuan sederhana hingga
keadaan komitmen yang lebih
kompleks terhadap nilai.
·
Penilaian
didasarkan atas internalisasi
sehimpunan nilai spesifik
·
Keping-keping
petunjuk untuk nilai-nilai ini terekspresikan dalam perilaku terbuka (overt) si pebelajar dan sering dapat
didentifikasi.
|
Contoh: Mendemonstrasikan
keyakinan terhadap proses demokratis.
Peka terhadap perbedaan individual dan kultural (keanekaragaman
nilai). Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah. Mengajukan sebuah rencana
untuk pembaikan sosial dan melaksanakannya dengan komitmen. Memberitahukan
kepada manajer hal-hal yang dirasakan dengan kuat.
Kata Kunci:
menyelesaikan, mendemonstrasikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti,
membentuk, berprakarsa, mengundang, bergabung, menjustifikasi, mengusulkan,
membaca, melaporkan, memilih, berbagi, melakukan studi, bekerja.
|
Organization/Mengorganisasi:
·
Mengorganisasai
nilai-nilai menjadi prioritas-prioritas melalui: mempertentangkan berbagai
nilai, memecahkan konflik di antara nilai-nilai ini, dan menciptakan sebuah
sistem nilai yang unik.
|
Contoh:
Mengenali kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan perilaku
bertanggung jawab. Menerima tanggung jawab atas perbuatan sendiri.
Menjelaskan peranan dari perencanaan sistematis dalam memecahkan masalah.
Menyetujui standar etis profesional. Menciptakan sebuah rencana kehidupan
yang harmoni dengan kemampuan, minat, dan keyakinan. Memprioritaskan waktu
secara efektif untuk memenuhi kebutuhan organisasi, keluarga, dan diri
sendiri.
Kata kunci:
menganut, mengubah, menyusun, mengkombinasikan, membandingkan, menyelesaikan,
mempertahankan, menjelaskan, memformulasikan, mengeneralisasi,
mengidentifikasi, memadukan, memodifikasi, menata, mengorganisasi,
mempersiapkan, menghubungkan, mensintesis.
|
Characterization/Karakterisasi/Internalisasi
nilai:
·
Memiliki
sebuah sistem nilai yang mengontrol perilaku.
·
Perilaku
adalah pervasive (hadir
dimana-mana, selalu ada), konsisten, prediktif, dan yang paling penting,
merupakan karakteristik seseorang.
|
Contoh:
Memperlihatkan kebergantungan pada diri sendiri ketika bekerja secara
mandiri. Bekerja sama dalam aktivitas kelompok (memperlihatkan kerja-tim).
Menggunakan sebuah pendekatan objektif dalam memecahkan masalah.
Memperlihatkan komitmen profesional pada praktik etis secara harian.
Memperbaiki pertimbangan-pertimbangan dan mengubah perilaku berdasarkan
evidensi baru. Menghargai orang sebagaimana adanya, bukan sebagaimana
tampakannya.
Kata Kunci:
bertindak, membedakan, memperlihatkan, mempengaruhi, mendengarkanmemodifikasi,
mengerjakan, mempraktikkan, mengusulkan, mengkualifikasi, bertanya,
memperbaiki, melayani/bertugas, memecahkan, memverifikasi.
|
Catatan
penulis: Utamakan untuk memahami kategori/konsepnya, jangan hanya menggunakan
kata-kata kuncinya sementara tidak memahami konsepnya.
Kita dapat bayangkan posisi
siswa sebelum diperkenalkan dengan nilai-nilai baru adalah nol, tidak tahu,
netral, atau mungkin negatif atau menolak. Ini harus dipersiapkan oleh guru
sebelum memulai pengajarannya. Karena itu, menurut penulis, tingkatan-tingkatan
afektif Krathwohl ini ketika dimanfaatkan oleh guru dalam pengajaran,
lengkapnya adalah sebagaimana berikut ini:
Diagram 10 Taksonomi Krathwohl
Implementasi
Krathwohl. Sebagaimana disebutkan di
atas, bahwa taksonomi ini berkenaan dengan perasaan/sikap terhadap sesuatu,
misalnya, perasaan individu siswa terhadap ide demokrasi, konsep gotong royong (PKn), atau ide solat
(PAI). Perasaan ini harus tumbuh natural/sewajarnya pada diri siswa. Sangat mungkin adanya perasaan ini tumbuh
dalam waktu yang lama, khususnya untuk pencapaian tingkatan tertinggi:
karakterisasi oleh nilai.
Perasaan yang sudah tumbuh hendaknya relatif ajek (reliable) dan dengan frekuensi yang
cukup atau muncul berkali-kali. Jika
perasaan negatif saling berganti dengan perasaan positif, apa lagi hanya
perasaan negatif yang sering muncul (dalam bentuk penolakan, skeptis, tidak
acuh/peduli, menghindar, antipati, benci), ini pertanda tingkatan yang pertama saja
(receiving/menerima) belum tercapai
oleh siswa.
Barangkali tidak semua SK-KD (standar kompetensi dan
kompetensi dasar), misalnya, dalam mata pelajaran IPA menuntut dilaksanakannya
pendidikan karakter ini. Tetapi SK-KD
yang mana saja yang menuntut pelaksanaan pendidikan karakter? Ini sebuah pertanyaan yang belum banyak
terjawab oleh para guru. Kurikulum IPA
SD internasional Cambridge, sejak kelas tiga hingga kelas enam, menghendaki
para siswa menguasai kompetensi keterampilan proses inquiri, di samping isi IPA
(konsep dan fakta IPA). Dapat
dibayangkan para siswa ini selama empat tahun pelajaran IPA belajar
keterampilan inquiri, dan ini tidak mungkin hanya berupa keterampilan mekanis
belaka. Akan lebih baik jika pendidikan
karakter menyertai pendidikan keterampilan ini, yaitu dalam rangka pengembangan
karakter ilmuwan/saintis. Dalam hal ini guru dapat menerapkan taksonomi
Krathwohl. Puncak keberhasilannya adalah
siswa yang dikarakterisasi oleh nilai-nilai metode inquiri, antara lain:
menolak mengambil simpulan jika tidak ada datanya, menghindari pengambilan
putusan berdasarkan perasaan belaka, meminta teman-temannya untuk turut
meninjau apa yang dikerjakannya, menuntut pengujian empiris atas suatu ide,
memiliki rasa ingin tahu yang kuat.
Tugas guru IPA SD internasional Cambridge yang baik,
tidak hanya mengajar isi IPA dan metode inquiri, tetapi juga memfasilitasi agar
karakter ilmuwan tumbuh pada para siswanya.
Fasilitasinya adalah dalam bentuk penyediaan pengalaman belajar yang
sesuai.
Tabel 11 Isi dan Pengalaman Belajar Utuh
Jenis Pendidikan
|
Isi Pendidikan
|
Pengalaman Belajar
|
Ilustrasi
|
Pendidikan kognitif
|
Isi ilmu (konsep dan fakta)
|
Pengalaman empiris dan
konseptualisasinya
|
Eksperimen pemuaian logam melalui
pemanasan dan berupaya memahami hukum pemuaian logam
|
Pendidikan
psikomotor
|
Keterampil-an metode inquiri
|
Pengalaman empiris dan konseptualisasi/pemaham-an
logika inquiri, dan berlatih menggunakannya.
|
Eksperimen pemuaian logam melalui pemanasan dan
berupaya memahami logika eksperimen.
|
Pendidikan afektif
|
Karakter ilmuwan
|
Belajar menyukai metode inquri,
atau perkembangan sikap positif siswa selama mempraktikkan metode inquiri
|
Upaya pengembangan respon-respon
perasaan /sikap (positif) siswa selama mempraktikkan metode inquiri.
|
Memperhatikan rumusan pengalaman belajar pendidikan afektif
di atas, dan dengan menghubungkannya dengan pengalaman belajar pendidikan
psikomotor dan kognitif, dapat disimpulkan bahwa pendidikan afektif harus menyertai pendidikan psikomotor
dan kognitif, dan jika tidak demikian, diduga kuat pendidikan akan gagal.
Hasil-hasil belajar,
kognitif, psikomotor, dan afektif, ada yang dicapai dalam jangka panjang (satu
semester, satu tahun, atau selama bersekolah) dan ada yang dicapai dalam jangka
pendek dalam satu atau dua pertemuan.
Kebiasaan para guru dewasa ini adalah berorientasi pada hasil-hasil
jangka pendek pembelajaran, melalui sebuah RPP (rencana pelaksanaan
pembelajaran) diharapkan seperangkat tujuan pembelajaran selesai dicapai oleh
para siswa di kelas. Tetapi sebetulnya,
ada tujuan-tujuan pembelajaran yang pencapaiannya dilakukan dalam jangka
panjang.
Tujuan
pembelajaran dalam pendidikan afektif sebagaimana dideskripsipkan di atas,
cenderung dicapai dalam jangka panjang.
Dalam kasus SD internasional Cambridge tersebut, tujuan afektif karakter
ilmuwan dicapai melalui mata pelajaran IPA mereka mulai dari kelas tiga hinggak
kelas enam. Dalam kasus ini, guru IPA
kelas tiga hingga kelas enam sebaiknya bekerja sama dalam rangka mengorganisasi
pendidikan karakter ilmuwan ini dan bagaimana pembagiannnya di tiap jenjang
kelas. Untuk memenuhi hal ini, langkah
pertama yang hendaknya mereka lakukan adalah merumuskan indikator-indikator
karakter ilmuwan ini, kemudian mendistribusikannya untuk setiap jenjang kelas.
Untuk menutup taksonomi Krathwohl ini, penulis
menyajikan saran indikator-indikator karakter ilmuwan tersebut di atas
berdasarkan taksonomi tersebut.
Tabel
12 Indikator Capaian Kompetensi Ilmuwan
Taksonomi
|
Beberapa Indikator Karakter Ilmuwan
|
Menerima
|
·
Berupaya mendengarkan dengan baik
penjelasan guru tentang metode inquiri.
·
Merespon dengan perkataan rencana guru
untuk penugasan pelaksanaan inquiri.
|
Merespon
|
·
Menggunakan waktu luang untuk
bertanya-tanya tentang metode inquiri.
·
Memuji inquiri sebagai cara belajar
penemuan.
·
Mengikuti proses inkuiri secara antusias.
|
Menilai
|
·
Aktif dalam perancangan inquiri bersama
anggota-anggota kelompok.
·
Berdebat (mendukung) tentang metode
inquiri.
·
Mempunyai usul-usul untuk dilakukannya
inkuiri.
|
Mengorganisasi
|
·
Mendiskusikan metode inquiri dalam
hubungannya dengan hal lain (membandingkan nilai-nilai).
·
Menentukan prioritas nilai-nilai inquiri di
tengah sistem nilai lainnya.
·
Memilah-milah inquiri dan cara lainnya
|
Karakterisasi
diri oleh nilai
|
·
Menghendaki dilakukannya inkuiri
·
Memiliki proyek inquiri pribadi
|
B. Pendidikan Karakter Lickona[1]
Dr. Thomas Lickona, seorang
psikologiwan perkembangan dan pendidik, memiliki otoritas yang dihargai secara
internasional dalam perkembangan moral dan pendidikan nilai. Ia adalah Profesor Pendidikan di the State University of New York at Cortland,
tempat ia mengerjakan karya pemenang penghargaan dalam pendidikan guru dan saat
ini (1992) memimpin the Teachers for the
21st Century Project. Ia
pernah menjadi presiden dari the
Association for Moral Education, juga pernah mengajar di universitas Boston
dan Harvard dan sering menjadi pembicara di konferensi-konferensi dan
lokakarya-lokakarya untuk para guru, orang tua, pendidik agama, dan
kelompok-kelompok lainnya mengenai nilai-nilai dan karakter para pemuda. Ia
telah memberikan kuliah di USA, Canada, Jepang, Irlandia, dan Amerika Latin.
Kerja
dua puluh tahun Dr. Lickona dalam pendidikan guru dan orang tua termasuk
konsultasi dengan sekolah-sekolah di banyak kota tentang implementasi
pendidikan nilai dan karakter. Ia
menyandang Ph.D. dalam psikologi dari the
State University of New York at Albany dan telah mengerjakan riset tentang
pertumbuhan pemahaman moral anak-anak.
Tulisannya Moral Development and
Behavior digunakan luas di studi pascasarjana dan bukunya Raising Good Children (lebih dari
150.000 eksemplar) mendapat pujian karena menerjemahkan riset tentang
perkembangan moral kedalam bahasa dan pengalaman orang tua. Ia menjadi pembicara di banyak pertunjukkan
wacana radio dan televisi, termasuk Good
Morning America, Larry King Live, dan Latenight
America. Pada 1984 ia dianugrahi a State University of New York Exchange
Scholar.
Bagian
tulisan ini akan menyajikan karya Lickona yang berjudul Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility (1992), secara ringkas.
Karyanya ini fokus pada pendidikan sekolah secara komprehensif. Isi bukunya dapat dikatakan terdiri atas tiga
bagian: konsep nilai moral, kompetensi-kompetensi karakter, dan
strategi-strategi pendidikan karakter.
Nilai- nilai
yang harus diajarkan sekolah. Lickona (1992) memulai uraiannya tentang
pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut ini:
(1)
Terdapat
nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati secara universal yang
harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan
(2)
sekolah-sekolah
hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi
juga membantu mereka memahami,
menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Adapun
yang dimaksudkannya dengan nilai, ada dua jenis: moral dan nonmoral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran,
tanggung jawab, dan ketidakmemihakan mengandung kewajiban. Kita merasa wajib memenuhi jani, membayar
hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara. Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan. Kita harus terikat pada nilai-nilai moral
bahkan ketika kita tidak menyukainya.
Nilai-nilai
nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian. Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita
inginkan atau sukai untuk kita lakukan.
Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan mendengarkan musik klasik,
misalnya, atau membaca sebuah novel yang
bagus. Tapi jelas adanya saya
tidak terkena kewajiban untuk melakukannya.
Nilai-nilai
moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai-nilai
moral universal – seperti memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai
penghidupan mereka, kebebasan, dan kesetaraan – mengikat semua orang dimanapun
karena mereka nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental dan martabat
manusia. Kita memiliki hak dan bahkan
suatu kewajiban untuk menuntut semua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai
moral universal tersebut.
Pada
1948 PBB mengakui validitas universal nilai-nilai moral dasariah dengan
mengadopsi the Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Manusia). Dokumen bermakna historis ini menegaskan
bahwa setiap warga dari setiap bangsa memiliki hak untuk:
kehidupan, kebebasan, dan bebas dari serangan pribadi; bebas dari perbudakan;
diakui di depan hukum dan praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah; bebas
dari penganiayaan; kebebasan nurani dan religi; kebebasan berekspresi;
kehidupan pribadi, keluarga, dan berkorespondensi; kebebasan berpartisipasi
dalam kehidupan komunitas; pendidikan; dan standar penghidupan yang cukup untuk
menjaga kesehatan dan kesejahteraan.
Memang, tidak semua bangsa secara konsisten menghargai hak-hak ini
secara aktual dalam memperlakukan warga mereka.
Tetapi kegagalan-kegagalan menegakkan Deklarasi Universal Hak-Hak
Manusia ini tentunya menolak secara telak validitas universal nilai-nilai moral
yang mendasari dokumen tersebut.
Nilai-nilai
moral nonuniversal, berbeda halnya, tidak mengandung kewajiban moral
universal. Ini adalah nilai-nilai –
seperti kewajiban spesifik pada sebuah religi (yakni, bersembahyang, berpuasa,
mengikuti hari suci) – yang dirasakan sebagai kewajiban pribadi serius bagi
seseorang. Tetapi saya tidak
memberlakukan kewajiban yang dirasakan pribadi ini pada orang lain.
Demikianlah
pandangan Lickona tentang nilai-nilai
moral. Namun penulis merasakan
ada yang kurang, terdapat nilai-nilai
lainnya yang belum tercakup dalam sistem nilai Lickona tersebut, misalnya,
membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
Ini dapat dipandang sebagai wajib dilakukan dalam suatu kelompok sosial,
tetapi yang tidak melakukannya rasanya tidak pantas untuk disebut tidak
bermoral. Hal tersebut berkenaan dengan
sopan santun pergaulan. Penulis menduga,
etiket ini masih bagian dari nilai moral, dan statusnya mendukung nilai moral
tersebut. Etiket, sopan santun, seperti
membungkukan badan, menganggukkan kepala, senyum, turut mendukung moralitas
yang sifatnya lebih fundamental.
Sehubungan dengan hal tersebut ada yang membedakan
nilai etik atau etis dan etiket. Nilai
etik sama dengan nilai moral, dan etiket adalah nilai-nilai sopan-santun dalam
suatu kelompok sosial. Karena itu, menurut penulis, kita harus membedakan
nilai-nilai demi survival kemanusiaan
dan masyarakat secara menyeluruh, yaitu nilai moral; dan yang kurang berkenaan
dengan hal ini tetapi mendukungnya, yakni etiket.
Diagram 11 Klasifikasi Nilai-Nilai
Pilihan
nilai Lickona. Hukum moral natural yang
mendefinisikan agenda moral sekolah publik dapat diekspresikan sebagai berikut:
respect and responsibility (menghargai
dan pertanggungjawaban). Nilai-nilai ini
membentuk inti dari moralitas publik, dan universal. Nilai-nilai ini memiliki manfaat yang
objektif, dapat dibuktikan dalam hal mereka mempromosikan kebaikan individu dan
kebaikan masyarakat secara menyeluruh.
Nilai-nilai ini niscaya untuk:
·
Perkembangan
pribadi yang sehat
·
Menjaga
perhubungan antarpribadi
·
Sebuah
masyarakat manusia dan demokratik
·
Sebuah
dunia yang adil dan damai
Respect and
responsibility adalah “R ke empat dan ke lima” yang sekolah-sekolah tidak
hanya dapat tetapi juga harus ajarkan agar sekolah-sekolah mengembangkan
pribadi-pribadi yang melek etis yang
dapat menempati posisi sebagai warga
masyarakat yang bertanggung jawab.
Diagram 12 Five Rs Lickona
Respect berarti memperlihatkan rasa
menghargai terhadap nilai/harga dari seseorang atau sesuatu. Ia memiliki tiga bentuk utama: menghargai
diri sendiri, menghargai orang lain, dan menghargai semua bentuk kehidupan dan
lingkungan yang membuat kehidupan berkelanjutan.
Menghargai
diri mempersyaratkan kita memperlakukan kehidupan dan pribadi sendiri sebagai
memiliki nilai bawaan (dari Sang Pencipta). Karena itu, terlibat dalam perilaku
perusakan diri seperti penyalahgunaan ‘narkoba’ dan alkohol adalah salah. Menghargai orang lain mempersyaratkan kita
memperlakukan semua manusia lain – bahkan mereka yang tidak kita sukai –
sebagai memiliki martabat dan hak-hak yang sama dengan kita. Inilah inti dari the Golden Rule (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda
berharap orang lain berbuat kepada anda”).
Menghargai keseluruhan jaringan kompleks kehidupan melarang kita
menganiaya khewan dan menuntut kita bertindak dengan peduli terhadap lingkungan
alam, ekosistem rapuh tempat semua kehidupan bergantung.
Bentuk-bentuk
penghargaan yang lainnya berasal dari hal-hal tersebut. Menghargai hak milik, misalnya, berasal dari
pemahaman bahwa hak milik adalah suatu perpanjangan dari suatu pribadi atau
suatu komunitas pribadi-pribadi.
Menghargai otoritas berasal dari pemahaman bahwa figur-figur otoritas
legitimatif diberi amanah untuk menjaga/mengurus orang-orang lain. Tanpa figur-figur ini, anda tidak dapat menjalankan
keluarga, sekolah, atau negara. Jika
orang-orang tidak menghargai otoritas, banyak hal tidak berjalan dengan baik
dan setiap orang menderita.
“Tenggang
rasa”, yang adalah salah satu bentuk dari etiket, juga berasal dari penghargaan
terhadap orang. Contohnya antara lain,
meminta maaf jika akan memotong pembicaraan, mengucapkan permisi ketika akan
meminta jalan, mengucapkan terima kasih atas pujian orang lain.
Menghargai
manusia tidak hanya untuk kehidupan harian dalam lingkungan terbatas, nilai-nilai
ini bahkan mendasari prinsip-prinsip demokrasi.
Karena saling menghargai, orang-orang menciptakan konstitusi yang
menuntut pemerintah melindungi, bukan menzalimi, hak-hak dari orang-orang yang
diperintah.
Responsibility. Pertanggungjawaban adalah perpanjangan
dari penghargaan terhadap manusia. Jika
kita menghargai orang lain, kita menganggapnya bernilai. Jika kita menganggapnya bernilai, kita
merasakan suatu ukuran pertanggungjawaban atas kesejahteraannya.
Pertanggungjawaban
(responsibility) secara harfiah berarti “kemampuan merespon”. Ini berarti berorientasi terhadap orang-orang
lain, mencurahkan perhatian terhadap mereka, merespon secara aktif terhadap
kebutuhan-kebutuhan mereka. Pertanggungjawaban menekankan kewajiban-kewajiban
positif untuk saling menjaga antarorang.
Arti
lain dari pertanggungjawaban, yakni dapat dipercaya, tidak membiarkan orang
lain mengalami kekecewaan. Kita menolong
orang dengan cara memenuhi komitmen kita, dan kita menciptakan masalah bagi
mereka ketika kita tidak memenuhinya.
Pertanggungjawaban berarti pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas –
dalam keluarga, di sekolah, di tempat kerja – sebaik-baiknya sesuai dengan
kemampuan kita.
Nilai-nilai moral lainnya. Kejujuran, ketidakmemihakan, toleransi,
kehati-hatian, disiplin-diri, penolong, berbelas-kasih, kerja sama, keberanian,
dan sehimpunan nilai demokratis.
Nilai-nilai spesifik ini adalah bentuk-bentuk dari menghargai orang
dan/atau pertanggungjawaban atau membantu dalam berbuat secara berharga dan
bertanggung jawab.
Menghadapi
orang lain dengan jujur, tidak menipu mereka, tidak meliciki mereka, atau
mencuri dari mereka – adalah cara yang dasariah untuk menghargai mereka. Demikian juga halnya dengan ketidakmemihakan,
yang menuntut kita memperlakukan orang lain secara tidak memihak dan tidak
menerapkan cara pilih kasih.
Toleransi,
juga mengekspresikan penghargaan terhadap orang lain. Meskipun toleransi dapat tergelincir menjadi
suatu relativisme netral yang terarah untuk menghindar dari pertimbangan etis,
akar makna toleransi adalah salah satu marka penting dari peradaban. Toleransi adalah sikap tidak memihak dan
objektif terhadap mereka yang memiliki ide, ras, dan ajaran yang berbeda dari
kita. Toleransi adalah pencipta rasa
aman bagi dunia yang beraneka ragam.
Kehati-hatian,
berarti tidak membiarkan diri kita berada dalam bahaya fisik dan moral. Disiplin-diri berarti tidak mengizinkan diri
untuk terlibat dalam kesenangan yang meruntuhkan martabat diri dan merusak diri
tetapi berjuang untuk kebaikan kita – dan mengupayakan kesenangan yang sehat
secara tidak berlebihan. Disiplin diri
juga membantu kita untuk menunda kesenangan, mengembangkan bakat-bakat kita,
bekerja untuk tujuan jangka panjang, dan membuat sesuatu untuk penghidupan
kita. Ini semua adalah bentuk-bentuk
dari penghargaan terhadap diri sendiri.
Sama
halnya, nilai-nilai seperti penolong, berbelas-kasih, dan kerja sama membantu
kita dalam melaksanakan nilai etis yang lebih luas pertanggung jawaban. Spirit penolong membuat orang merasa senang
dalam mengerjakan kebaikan.
Berbelas-kasih (berarti “ikut merasa menderita”) membantu kita tidak
hanya untuk mengetahui pertanggungjawaban kita tetapi juga merasakannya. Kerja sama dimulai dengan pengetahuan bahwa
manusia hidup bersama manusia lainnya dan bahwa, di dunia yang orang-orang dan
masyarakat-masyarakat semakin saling bergantung, kita harus bekerja sama ke
arah tujuan-tujuan yang dasariah untuk survival
manusia.
Keberanian
moral bersifat membantu bagi penghargaan dan pertanggungjawaban. Keberanian membantu anak-anak muda untuk
menghargai diri mereka sendiri dengan menolak tekanan teman sebaya untuk
melakukan hal-hal yang merugikan kesejahteraan mereka. Keberanian membantu kita untuk menghargai
hak-hak orang lain ketika kita menghadapi tekanan untuk bergabung dalam
gerombolan yang akan melakukan kejahatan.
Keberanian juga membantu kita melakukan tindakan tegas, positif atas
nama orang lain.
NilaI-nilai
demokrasi membantu menciptakan sebuah masyarakat yang berdasarkan atas
penghargaan dan pertanggungjawban.
Kekuasaan berdasarkan hukum, kesempatan yang sama, hak warga akan
keadilan, argumentasi bernalar, pemerintahan perwakilan, checks and balances, pembuatan putusan demokratis—semuanya adalah
“nilai-nilai prosedural” yang membentuk demokrasi.
Demokrasi
pada giliran berikutnya, adalah cara terbaik yang kita ketahui hingga saat ini
untuk menjamin hak-hak individu (penghargaan terhadap orang) dan mempromosikan
kesejahteraan bersama (bertindak secara bertanggung jawab untuk kebaikan semua
orang). Mengajarkan pemahaman dan
apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis ini—dan bagaimana nilai-nilai ini
dibuat menjadi realitas melalui hukum—adalah peranan sentral sekolah. Nilai-nilai ini juga membantu kita
mendefinisikan jenis “patriotisme” yang harus diajarkan sekolah. Dalam masyarakat demokratis, patriotisme
tidak berarti “benar atau salah adalah negaraku”; patriotisme berati kesetiaan
pada nilai-nilai demokrasi yang luhur yang menjadi dasar dari pendirian negara.
Untuk
kita, bangsa Indonesia, jenis-jenis nilai moral yang dikemukakan oleh Lickona
bersifat kurang, ada satu tambahan yang kita perlukan, yaitu: respect and responsibility to God. Karena itu lengkapnya jenis nilai moral
fundamental ini lengkapnya sebagaimana bagan di bawah ini.
Diagram
13 Jenis-jenis Nilai Moral
Kompetensi-kompetensi karakter Lickona. Bagian berikut ini
merupakan teori tentang sebuah sistem karakter Lickona, dengan tiga ranah: pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Ketiga
ranah ini saling berhubungan, saling berinteraksi, dan saling merembesi. Lickona berbeda dari Krathwohl, dalam hal
dalam sistem Lickona pengetahuan, perasaan, dan tindakan terpisah secara tajam
pada tataran analitik, sedangkan dalam sistem Krathwohl pemisahan yang demikian
tidak terdapat. Keduanya wajib
dipelajari agar repertoire (perbendaharaan kinerja) guru bertambah
kaya. Berikut ini akan dipaparkan sistem
karakter Lickona ini, penulis menambahinya dengan interpretasi penulis dengan
tujuan agar lebih mudah dipahami, juga pengalaman belajar yang relevan untuk
masing-masing subkomponen dari setiap ranah merupakan tambahan penulis.
Pengembangannya oleh guru, dapat dilakukan dengan cara memahami setiap
subkomponen pendidikan karakter ini, kemudian memadankannya dengan
SK-KD-Indikator yang terdapat dalam KTSP atau tujuan-tujuan pendidikan karakter
yang menjadi visi-misi sekolah.
Diagram 14
Kompetensi-kompetensi Karakter Lickona
Tabel
13 Kompetensi-Kompetensi Karakter
Lickona
Pengetahuan moral
|
1.
Kesadaran moral
Definisi: Melek moral atau ketajaman (dalam
menangkap/melihat) moral, antonimnya
adalah buta moral. Ini adalah
kemampuan menangkap isu moral, yang sering implisit, dari suatu objek/peristiwa. Kompetensi ini menurut hemat penulis sama
dengan kemampuan C2 (memahami, khususnya, interpretasi) dari Taksonomi
Tujuan-Tujuan Kognitif Bloom. Dalam
bahasa Lickona sendiri, kesadaran moral adalah kemampuan: “… to use their intelligence to see when a
situation requires moral judgment—and then to think carefully about what the
right course of action is.” (… menggunakan kecerdasan mereka untuk
melihat kapan sebuah situasi mempersyaratkan pertimbangan moral—dan kemudian
berpikir secara cermat tentang apa tindakan yang sebaiknya.)
Orang dapat menangkap secara intuitif sebuah isu moral dari sebuah objek/peristiwa;
dan sebaliknya, buta moral. Contoh
orang yang buta moral yaitu orang yang menganggap martabat diri bergantung
pada tampilan fisik atau harta.
Ketersinggungan kita ketika menyaksikan orang kaya menganiaya orang
miskin adalah contoh ketajaman moral kita.
Rasa haru yang muncul ketika kita menyaksikan perbuatan luhur
tertentu, adalah juga contoh ketajaman moral.
Kesadaran moral terjadi sebelum kita melakukan pertimbangan moral dan
pembuatan-putusan moral.
Pengalaman
belajar: Pengalaman belajar yang
penting bagi para pelajar agar melek moral
adalah dengan hidup dalam lingkungan orang-orang yang melek moral (conditioning). Pendidik harus menjadi teladan dalam
ketajaman moral ini. Selain conditioning, pengalaman-tak-langsung
pun penting. Ini dapat dilakukan dengan mempelajari peristiwa-peristiwa
historis yang relevan dan biografi
tokoh yang memiliki ketajaman penglihatan moral. Kasus impresif pada remaja kita
menuntut pendidik mendidik para pelajar untuk memiliki ketajaman dalam
menangkap nilai-nilai yang penting dalam sebuah budaya dan nilai-nilai yang
dapat menghancurkan jati diri para remaja.
Banyak remaja merasa gaul jika
bergaya hidup western yang negatif,
antara lain mengkonsumsi NAPZA, ber-dugem
secara tidak proporsional, mengikuti trends
budaya pop secara membabi buta. Kebalikan dari remaja kita, banyak orang tua buta moral
dalam hal korupsi dan yang mewabahi negeri kita. Pendidik PLS dalam hal ini harus segera
bekerja.
Hasil
belajar: Dapat mengidentifikasi isu
moral dari sebuah objek/peristiwa. Dapat mengeksplisitkan isu moral dari
sebuah objek/peristiwa.
|
2.
Pengetahuan nilai moral
Definisi:
Ini adalah ethical literacy, literasi etis, kemampuan hasil belajar
teori-teori tentang berbagai nilai etis, seperti: menghargai kehidupan dan
kebebasan, bertanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran,
ketidakmemihakan, toleransi, sopan-santun/tenggang rasa, disiplin diri,
integritas (teguh pada prinsip moral), kebaikan hati, berbelas-kasih, dan
keberanian. Literasi etis termasuk pemahaman tentang bagaimana menerapkannya
dalam berbagai situasi. Ini berarti
kemampuan menerjemahkan/mengalihbahasakan (translasi) nilai-nilai abstrak
menjadi perilaku moral konkrit.
Menurut penulis, beda antara kesadaran
moral dan pengetahuan nilai moral adalah bahwa kesadaran moral
mempersyaratkan kemampuan menangkap langsung (ketajaman) nilai moral dari
sebuah objek atau peristiwa konkrit; adapun pengetahuan nilai moral adalah
kemampuan yang terbentuk setelah orang belajar teori-teori nilai (bukan
peristiwa konkrit), dalam rangka memahami teori-teori tersebut termasuk
memahami aplikasi mereka.
Pengalaman
belajar: Pengalaman belajarnya adalah
melalui belajar kognitif, C1-C3 (mengingat, memahami, menerapkan), tentang
teori-teori nilai ; dapat disebut sebagai pengajaran nilai-nilai (teaching of values). Juga,
diskusi-diskusi peristiwa-peristiwa konkrit yang melibatkan isu nilai dapat
meningkatkan kognisi nilai-nilai pada tataran aplikasi.
Hasil
belajar: Menyebutkan nilai moral
tertentu. Menginterpretasi nilai moral dari sebuah peristiwa atau
komunikasi. Menerjemahkan nilai moral
tertentu. Melakukan ekstrapolasi berdasarkan sebuah nilai tertentu. Menerapkan nilai moral tertentu pada suatu
situasi (baru).
|
3.
Memahami sudut pandang lain
Definisi:
Memahami sudut pandang lain adalah
kemampuan menerima sudut pandang orang lain, memahami sebuah situasi
sebagaimana orang lain memahaminya, mengimajinasikan bagaimana orang lain berpikir,
mereaksi, dan berperasaan. Kemampuan
ini sebuah prasyarat penting untuk perilaku moral sosial, menghargai dan
bertanggung jawab terhadap orang lain.
Pengalaman
belajar: Pengalaman belajar yang
otentik untuk kemampuan ini adalah dengan mempraktikkan pengambilan
perspektif (sudut pandang) orang lain pada para siswa. Pengalaman belajar yang kognitif
dapat dilakukan dengan menganalisis sudut pandang orang lain atau budaya
lain.
Hasil
belajar: Menginterpretasi secara
objektif perasaan dan pikiran orang lain.
Menerjemahkan perasaan dan pikiran orang lain. Mengekstrapolasi perasaan dan pikiran orang
lain (Bloom: C2: interpretasi, translasi, ekstrapolasi).
|
4.
Penalaran moral
Definisi:
Memahami makna apa itu bermoral dan mengapa harus bermoral? Mengapa memenuhi janji itu penting? Mengapa harus kerja dengan
sebaik-baiknya? Mengapa harus berbagi
dengan orang yang membutuhkan? Ini
adalah kemampuan analisis hubungan (C4) dari Bloom.
Penalaran moral anak-anak berkembang, mereka belajar apa yang
dapat dianggap sebagai alasan moral yang baik dan alasan moral yang buruk.
Pengalaman
belajar: Pengalaman belajarnya adalah
melalui belajar kognitif, C4 (analisis), tentang perbuatan bermoral.
Hasil
belajar: Menyediakan alasan atas suatu
perbuatan moral. Menjelaskan alasan
atas suatu perbuatan moral. Menginterpretasi alasan dari suatu perbuatan
moral (Bloom: C2, interpretasi dan C6, kreasi).
|
5.
Pembuatan putusan
Definisi:
Proses orang menjadi memiliki
putusan. Biasanya orang menghadapi
masalah atau dilemma moral. Apa
pilihan saya? Apa konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan bagi orang
yang terkena pengaruh putusan saya?
Apa tindakan yang memaksimalkan konsekuensi yang baik dan diyakini
penting untuk nilai yang dpertaruhkan?
Pengalaman
belajar: Mengalami secara simulatif
konflik atau dilemma nilai, dapat juga konflik nilai yang dialami orang lain,
kemudian membuat putusan nilai, dan mengkajinya. Menurut Lickona, pendekatan
apa-pilihan-saya dan apa-konsekuensi-konsekuensinya untuk membuat
putusan-putusan moral telah diajarkan bahkan sejak pada anak pra sekolah.
Hasil
Belajar: Memiliki putusan nilai
lengkap dengan konsekuensinya yang sudah terkaji secara baik, atas konflik
nilai yang tersedia (Bloom: C6, kreasi).
|
6.
Pengetahuan-diri: Kemampuan melihat-kembali perilaku sendiri dan mengevaluasinya. Pengembangan pengetahuan-diri termasuk
kekuatan dan kelemahan karakter diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi
kelemahan tersebut, di antaranya yang hampir universal merupakan tendensi
manusia, yaitu melakukan apa yang kita inginkan dan kemudian membelanya
dengan cara yang tidak adil.
Pengalaman
belajar: Ini dapat dilakukan dengan meminta siswa membuat “jurnal
etis/akhlak/budi pekerti“–dengan mencatat kejadian-kejadian moral dalam
penghidupan mereka, respon-respon mereka dalam kejadian moral tersebut, dan
adakah respon ini dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Hasil
belajar: Perkembangan kejujuran
individu dalam melihat diri sendiri.
Perkembangan upaya-upaya mengatasi kelemahan diri. Iklim sosial kejujuran dalam kelompok
(dampak sosial yang mungkin, misalnya jika masing-masing jurnal tersebut
didiskusikan dalam kelompok).
|
Perasaan moral
|
1.
Hati nurani/nurani
Definisi:
Nurani memiliki dua sisi: sisi
kognitif—pengetahuan tentang apa yang baik—dan sisi emosional—merasa wajib
melakukan apa yang baik.
Nurani yang matang mencakup, di samping
merasakan kewajiban moral, juga kapasitas untuk rasa bersalah
konstruktif. Jika nurani anda merasa
wajib untuk berbuat sesuatu, anda akan merasa bersalah jika tidak
melakukannya. Ini berbeda dari rasa
bersalah destruktif, yang menyebabkan seseorang berpikir, “Saya orang
jahat”. Orang dengan rasa bersalah
konstruktif akan berkata, “Saya tidak dapat memenuhi standar saya sendiri.
Saya merasakan ini sebagai keburukan, tetapi saya akan lebih baik pada waktu
yang akan datang”. Kapasitas untuk
rasa bersalah konstruktif juga membantu kita dalam menolak godaan.
Pengalaman
belajar: Berlatih menghadapi
kasus-kasus yang menuntut individu mengekspresikan nuraninya adalah sebuah
pengalaman belajar yang penting.
Latihan ini akan terbentuk salah satunya melalui stimulasi yang
mendorong individu mengekspresikan nuraninya.
Perbuatan dan ucapan yang sesuai nurani perlu mendapat penghargaan
atau “dirayakan” untuk menunjukkan bahwa masyarakat atau kelompok menuntut
individu untuk berbuat sesuai dengan nurani.
Diskusi kasus-kasus penggunaan atau pengabaian nurani
adalah juga pengalaman belajar yang penting.
Hasil
belajar: Hasil belajarnya yang otentik
adalah kapasitas untuk merasa bersalah dan merasa wajib untuk perbuatn
moral. Pada tatarannya lebih rendah,
adalah ekspresi-ekspresi nurani ini melalui kata-kata.
|
2.
Harga diri
Definisi: Ini
adalah kemampuan merasa bermartabat karena memiliki kebaikan atau nilai
luhur.
Studi-studi menunjukkan bahwa anak-anak
dengan harga diri yang tinggi lebih resisten terhadap tekanan dari
teman-teman sebaya dan lebih mampu mengikuti putusan mereka sendiri ketimbang
mereka dengan harga-diri rendah. Ketika
kita menilai secara positif diri kita sendiri, kita lebih mungkin
memperlakukan orang lain dengan cara positif. Jika kita menilai rendah diri
sendiri atau tidak memiliki harga-diri, akan sulit untuk memperpanjang
penghargaan untuk orang-orang lain. Harga-diri
yang tinggi pada dirinya sendiri tidak menjamin karakter yang baik. Sangat
mungkin adanya untuk memiliki harga-diri yang didasarkan atas hal-hal yang
tidak ada kaitannya dengan karakter baik—seperti harta, tampilan bagus,
popularitas, atau kekuasaan. Bagian
dari tantangan kita sebagai pendidik adalah membantu anak-anak mengembangkan
harga-diri positif yang didasarkan atas nilai-nilai seperti tanggungjawab,
kejujuran, dan kebaikan hati dan keyakinan pada kapasitas sendiri untuk
kebaikan.
Pengalaman
belajar: Perbuatan baik yang dilakukan seseorang sering membuat orang merasa
senang atau bahagia karena melakukannya.
Refleksi dan diskusi-diskusi mengenai peritiwa ini barangkali
merupakan suatu pengalaman belajar yang penting.
Hasil
belajar: Individu yang puas dengan dirinya sendiri
dalam perbuatan baik, dan sebaliknya, merasa tidak senang atau tidak bahagia
dalam perilaku buruk.
|
3.
Empati
Definisi:
Empati adalah identifikasi diri pada,
atau pengalaman tidak langsung tentang, keadaan orang lain. Empati membantu kita keluar dari diri
sendiri dan masuk kedalam diri orang lain.
Ini adalah sisi emosional dari pengambilan-perspektif.
Pengalaman
belajar: Para peserta didik dapat
berlatih melakukan empati di bawah bimbingan guru. Setelah berlatih, guru dapat membimbing
mereka untuk mendiskusikannya.
Hasil
belajar: Mengungkapkan apa yang
bdirasakan orang lain.
Bertoleransi. Menghargai
perbedaan sikap.
|
4. Cinta
kebaikan
Definisi:
Bentuk tertinggi dari karakter
mencakup ketertarikan sejati/tulus pada kebaikan.
Psikologiwan Boston College
Kirk Kilpatrick menulis: “Dalam pendidikan untuk kebajikan, hati dilatih
sebagaimana juga kesadaran. Orang
bijak belajar tidak hanya membedakan kebaikan dan keburukan tetapi juga
mencintai kebaikan dan membenci keburukan”.
Pengalaman
belajar: Para guru dapat berpaling
pada sastra sebagai cara mananamkan perasaan tentang kebaikan dan
kejahatan. Ketika anak-anak menjumpai
para penjahat dan pahlawan dalam halaman-halaman dari sebuah buku yang baik,
mereka merasa tertolak oleh kejahatan dan tertarik pada kebaikan tanpa kuasa
menahannya. Ketika orang mencintai kebaikan, mereka mendapatkan
rasa senang dalam melakukan kebaikan.
Mereka memiliki hasrat moral, bukan hanya kewajiban moral. Potensi ini dikembangkan melalui
program-program peer tutoring dan
pelayanan masyarakat di sekolah-sekolah.
Hasil
belajar: Upaya-upaya pribadi dan dalam
kelompok untuk berbuat baik.
|
5. Kontrol
diri
Definisi:
Emosi dapat menenggelamkan
penalaran. Inilah mengapa kontrol-diri
adalah sebuah kebajikan moral yang niscaya.
Kontrol-diri membantu kita bermoral bahkan ketika kita tidak ingin
bermoral, ketika sedang marah pada sesuatu, misalnya. Kontrol-diri juga
niscaya untuk mengekang kesukaan-diri.
Pengalaman
belajar: Pengalaman-pengalaman belajar
dalam bentuk menolak kesenangan atau kebencian demi kebaikan.
Hasil
belajar: Tekun belajar/bekerja,
menunda kesenangan. Tugas-tugas
belajar diselesaikan dengan baik.
Memiliki kegiatan harian yang baik untuk pengembangan diri dan
lingkungannya.
|
6. Rendah
hati
Definisi:
Rendah hati adalah sisi afektif dari
pengetahuan-diri. Rendah hati terdiri
atas keterbukaan yang sejati pada kebenaran dan kemauan untuk bertindak
memperbaiki kesalahan-kesalahan kita.
Rendah hati juga membantu kita
mengatasi rasa bangga. Rasa bangga
adalah sumber dari arogansi, prasangka, dan merendahkan orang lain. Rasa bangga yang terluka mengempani
kemarahan dan menutup munculnya sikap memaafkan. Rendah hati adalah penjaga terbaik melawan
perbuatan jahat.
Pengalaman
belajar: Berlatih terbuka terhadap kebenaran, dari mana pun
sumbernya, dan mau memperbaiki kesalahan-kesalahan diri sendiri.
Hasil
belajar: Mengakui kebenaran pendapat
orang lain. Mengaku bersalah jika
melakukan kesalahan. Memberikan
penghargaan terhadap pendapat orang lain.
|
Tindakan moral
|
1. Kompetensi
Definisi: Kompetensi moral adalah kemampuan
mengubah putusan dan perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif.
Pengalaman
belajar: Psikologiwan Ervin Staub menemukan bahwa anak-anak yang memiliki
pengalaman yang terbimbing dalam role-playing
dalam serangkaian situasi bermasalah yang di dalamnya seorang anak membantu
anak lainnya pada waktu berikutnya lebih mungkin (dibandingkan dengan
anak-anak tanpa pengalaman yang demikian) untuk menyelidiki suara tangisan
seorang anak dalam sebuah ruangan.
Sebuah studi baru-baru ini atas 400 orang yang membantu orang-orang
Yahudi lari dari Nazi menemukan bahwa para penyelamat ini memiliki, di
samping nilai-nilai simpati, pemahaman yang kuat tentang kompetensi personal. Kompetensi moral sering merupakan suatu tantangan pribadi
bagi seseorang. Seseorang bisa jadi sudah memahami makna solat wajib dan
ingin melaksanakannya, tetapi ia tetap saja tidak melaksanakannya. Ini adalah tantangan bagi pendidik ketika
menghadapi peserta didik yang demikian.
Pendidik harus mengerahkan
berbagai cara untuk menumbuhkan kompetensi moral ini. Pengalaman individual secara mandiri,
pengalaman terbimbing, pengalaman dalam kelompok, pemodelan, dan lain-lain
dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkannya.
Hasil
belajar: Kemampuan melaksanakan
tindakan moral. Berbuat baik. Membantu orang lain berbuat baik.
|
2. Keinginan
moral
Definisi: Menjadi baik sering mempersyaratkan
sebuah tindakan nyata dari kemauan, suatu mobilisasi energi moral untuk
melakukan apa yang menurut kita harus dilakukan. Kemauan memerlukan emosi berada di bawah
kontrol nalar. Kemauan memerlukan
penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi moral dari sebuah
situasi. Kemauan diperlukan agar
kewajiban diletakkan mendahului kesenangan.
Kemauan membutuhkan kemampuan untuk menolak godaan, teguh menghadapi
tekanan teman sebaya, dan melawan arus.
Kemauan adalah inti dari keberanian moral.
Pengalaman
belajar: Kemauan sebagai sebuah potensi diri perlu dipahami dan disadari oleh
peserta didik melalui bantuan guru.
Langkah berikutnya peserta didik diminta mencatat kemauan-kemauan
moral apa saja yang tidak dipenuhinya; setelah ini adalah praktik-praktik
mewujudkan kemauan ini.
Hasil
belajar: Individu yang berupaya
memiliki kemauan melakukan tindakan moral.
Konsisten melaksanakan kewajiban moral. Berbuat adil sekalipun terhadap orang yang
tidak disukainya. Berdisiplin
melakukan suatu tindakan moral.
|
3. Kebiasaan
(habit)
Definisi:
Dalam banyak situasi tingkah laku
moral diuntungkan oleh habit. Orang
yang memiliki karakter yang baik, sebagaimana William Bennett tunjukkan,
“bertindak benar, setia, berani, simpati, dan adil tanpa banyak tergoda oleh
hal yang sebaliknya”. Mereka bahkan
sering tidak berpikir secara sadar tentang “pilihan yang baik”. Mereka melakukan hal yang baik oleh
kekuatan habit.
Pengalaman
belajar: Anak-anak membutuhkan, sebagai
bagain dari pendidikan moral mereka, banyak kesempatan untuk mengembangkan habit yang baik, banyak praktek
menjadi orang yang baik.
Hasil
belajar: Kebiasaan dalam hal
tertentu. Biasa sopan-santun
tertentu. Biasa menolong. Biasa adil.
|
Pendekatan komprehensif untuk
pendidikan nilai dan karakter. Lickona menyarankan suatu
pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif, melibatkan berbagai komponen
terkait dan berbagai latar (setting). Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide
besar” berikut:
1.
Sepanjang
sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu
orang-orang menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi baik.
2.
“Baik”
dapat didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang memiliki kemanfaatan
objektif—nilai-nilai yang mengakui martabat manusia dan mempromosikan kebaikan
individu dan masyarakat.
3.
Dua
nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan
dan pertanggungjawaban).
4.
Penghargaan berarti menunjukkan rasa
hormat terhadap nilai seseorang atau sesuatu.
Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-hak dan martabat
semua orang, dan menghargai lingkungan
yang membuat semua kehidupan berkelanjutan. Penghargaan adalah sisi perlarangan dari
moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita hargai.
Pertanggungjawaban
adalah
sisi aktif dari moralitas. Ia mencakup melaksanakan
kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban-kewajiban
kita, kontributif terhadap komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan
membangun dunia yang lebih baik.
5.
Mendidik
penghargaan dan pertanggungjawaban—membuat hal-hal ini menjadi nilai-nilai
operatif dalam penghidupan para siswa—adalah mendidikkan karakter. Karakter terdiri
atas:
·
pengetahuan moral (kesadaran moral,
menegetahui nilai-nilai moral, melihat dengan sudut pandang orang lain,
penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri)
·
perasaan moral (hati-nurani, harga-diri,
empati, mencintai kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati)
·
tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan
kebiasaan)
6.
Dihadapkan
dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-sekolah yang berharap membangun
karakter harus menyediakan pendekatan
yang komprehensif, yang merangkul banyak
hal, terhadap pendidikan nilai yang menggunakan semua tahap kehidupan
sekolah untuk membantu perkembangan karakter.
Ini mencakup 12 strategi ruang kelas dan sekolah, yang tertuju pada
penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan dan pertanggungjawaban dalam
karakter para siswa.
Dalam ruang kelas, suatu pendekatan komprehensif
menuntut guru untuk:
1.
Bertindak
sebagai pemerduli (caregiver, pemberi
kepedulian, perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta
dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan
mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2.
Menciptakan
sebuah komunitas moral di kelas, membantu para siswa untuk saling kenal,
menghargai dan peduli antara siswa yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan
keanggotaan yang berharga dalam kelompok.
3.
Mempraktikkan
disiplin moral, menggunakan penciptaan dan penegakan aturan-aturan sebagai
peluang-peluang untuk menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan
penghargaan terhadap orang lain.
4.
Menciptakan
sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis, melibatkan para siswa dalam
pembuatan-putusan dan berbagi tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi
tempat yang baik untuk berada dan belajar.
5.
Mengajarkan
nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-mata pelajaran sebagai wahana
untuk menkaji isu-isu etis. (Ini secara
serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum menangani
kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks, anti narkoba, alkohol,
dan kekerasan remaja.)
6.
Menggunakan
pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-anak dengan watak dan keterampilan
tolong-menolong dan bekerja sama.
7.
Mengembangkan
the “conscience of craft” dengan
menumbuhkan tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap
nilai dari belajar dan kerja. ( The “conscience of craft”, nurani
tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja
sebaik-baiknya.)
8.
Mendorong
refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi, pembuatan-putusan,
dan debat.
9.
Ajarkan
pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk
memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak dan tanpa kekerasan.
Suatu pendekatan yang komprehensif menuntut sekolah untuk:
10.
Menumbuhkan
kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan model-model peranan yang memberi
inspirasi dan peluang-peluang untuk sekolah dan pengabdian komunitas untuk
membantu para siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian.
11.
Menciptakan
budaya moral positif di sekolah, mengembangkan seluruh lingkungan sekolah
(melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu
kepekaan sekolah terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu
komunitas moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk menangani
kepentingan-kepentingan moral) yang mendukung dan meningkatkan nilai-nilai yang
diajarkan di ruang-ruang kelas.)
12. Rekruitasi orang tua dan
anggota komunitas sebagai mitra dalam pendidikan nilai, dukung orang tua
sebagai guru moral pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah
dalam upaya-upaya menumbuhkan nilai-nilai yang baik; dan mengupayakan bantuan
komunitas (yakni, masjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam
memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh
sekolah.
Diagram
15 Strategi-strategi Pendidikan
Karakter
Pendidikan
Karakter versi Pusat Pengkajian Pedagogik.
Pusat
Pengkajian Pedagogik (P3) Universitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 2009
sudah mengembangkan sebuah model pendidikan karakter. Model ini sudah ditawarkan kepada sejumlah
sekolah di Jakarta untuk diterapkan.
Melalui buku ini P3 ingin berbagi pengalaman dan pemikiran tentang hal
ini. Untuk itu, di sini disajikan cuplikan
silabus untuk Pendidikan Agama Islam jenjang SMA dan sedikit penjelasannya.
Tabel 14
Sebuah Silabus PAI
Standar kompetensi: Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME
|
||
Kompetensi dasar: Beriman kepada malaikat.
|
||
Indikator:
1. Dapat mendefinisikan secara luas dan mendalam konsep
iman menurut ajaran Islam.
2. Dapat menganalisis berbagai argumentasi yang mendasari
keimanan dan ketidak-berimanan
3. Dapat menjelaskan
tanda-tanda orang beriman kepada malaikat.
4. Dapat mempraktikan perilaku beriman kepada malaikat.
5. Dapat menjadi teladan dalam praktik perilaku beriman
kepada malaikat dalam kehidupan harian.
6. Dapat sabar dalam praktik beriman kepada malaikat dalam
kehidupan harian.
7. Dapat mendakwahkan kehidupan beriman kepada malaikat
dalam kehidupan harian dan dalam situasi khusus
|
Pengalaman belajar:
Pembelajaran
kognitif.
idem
idem
Kegiatan
Pengembangan Diri
Idem
Idem
Idem
|
Penilaian:
Tes esai
dan kinerja individual diskusi kelompok kecil dan diskusi kelas.
idem
idem
Jurnal
Siswa
Idem
Idem
Idem
|
Indikator-indikator
di atas mengikuti pola di bawah ini; dan dibandingkan dengan pola-pola yang
lainnya yang disajikan dalam buku ini:
Bloom
|
|
|
Kognisi:
·
Mengkreasi
·
Mengevaluasi
·
Menganalisis
·
Menerapkan
·
Memahami
·
Mengingat
|
Krathwohl
|
Afektif:
·
Karakterisasi diri
·
Mengorganisasi
·
Menilai
·
Merespon
·
Menerima
|
Tindakan moral:
·
Kompetensi
·
Kemauan
·
Kebiasaan
|
Lickona
|
Perasaan
moral:
·
Nurani
·
Harga diri
·
Empati
·
Cinta kebaikan
·
Kontrol-diri
·
Rrendah hati
|
Kognisi moral:
·
kesadaran moral
·
pengetahuan nilai moral
·
memahami sudut pandang yang lain
·
penalaran moral
·
pembuatan-putusan
·
pengetahuan-diri
|
Tindakan moral:
·
Dakwah
·
Sabar
·
Teladan
·
Praktik
|
P3
|
Kognisi moral:
·
Bloom, atau
·
Lickona
|
Diagram
16 Komparasi Kompetensi-kompetensi
P3 mempertimbangkan
teladan, sabar, dan dakwah sebagai perincian secara khusus tingkat
karakterisasi-diri Krathwohl atau tingkat tindakan Lickona.
C. Rambu-Rambu
Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan RPP untuk
Pendidikan Karakter
Terdapat sejumlah hal yang
sekurang-kurangnya harus menjadi rambu-rambu bagi guru untuk mengembangkan
silabus dan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran): (1) dokumen-dokumen resmi
kurikulum yang tercakup dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, (2) pedoman penyusunan silabus dan RPP, dan (3) teori-teori
pendidikan karakter.
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada bagian sebelumnya ada disimpulkan
bahwa Kelompok Mata Pelajaran dan Cakupannya tidak lepas dari misi pendidikan
karakter. Ini berarti pembelajaran yang
semata-mata kognitif, adalah tidak sejalan dengan misi ini. Juga, dengan demikian,
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan rincian
lanjutan dari Kelompok Mata Pelajaran tersebut sudah sewajarnya tidak
menolakserta (to exclude) keberadaan
nilai-nilai.
Di
samping itu, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dari mulai
jenjang pendidikan dasar, menengah, dan menengah kejuruan, juga mempertegas
misi pendidikan karakter. Begitupun
halnya dengan Standar Kompetensi Mata Pelajaran, konsisten dengan misi
pendidikan karakter.
‘Permendiknas’
Nomor 22 Tahun 2006 tersebut mengartikan kompetensi
sebagai kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara
konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dimiliki oleh peserta didik. Kata “bersikap” dan “bertindak”
pada rumusan kompetensi ini, jelas memuat esensi karakter.
Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tidak ada sesuatu yang baru yang
harus dikerjakan guru dalam menyusun silabus dan RPP ketika guru akan mengembangkan
pendidikan karakter dalam mata pelajaran yang diampunya, kecuali harus memahami
SK-KD secara lebih cermat dan dengan menggunakan perspektif pendidikan
karakter. Masalahnya, perspektif
pendidikan karakter ini merupakan barang baru bagi banyak guru yang selama ini
dibelenggu oleh perspektif pendidikan kognitif.
Bagian bacaan di atas tentang pendidikan karakter, diharapkan dapat
membantu guru untuk memiliki perspektif pendidikan karakter ketika memahami SK-KD. Dengan perspektif ini, SK-KD yang memuat
pendidikan karakter atau memang fokus utamanya pendidikan karakter, akan
diperlakukan sebagai pendidikan karakter, dan bukan pengajaran pengetahuan
secara eksklusif. Berikut ini disajikan
beberapa contoh silabus pendidikan karakter dengan harapan para guru terbantu
dalam mengembangkan silabus dan RPP yang menerapkan pendidikan karakter.
Tabel 15 Contoh Standar Isi
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
Tarikh
3. Menceritakan kisah Nabi
|
3.1 Menceritakan kisah Nabi Ayyub AS
3.2 Menceritakan kisah Nabi Musa AS
3.3 Menceritakan kisah Nabi Isa AS
|
Akhlak
4. Membiasakan perilaku
terpuji
|
4.1 Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS
4.2 Meneladani perilaku Nabi Musa AS
4.3 Meneladani perilaku Nabi Isa AS
|
Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah
Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kelas V semester I.
Tabel 16 Sebuah Contoh Silabus PAI*)
Standar kompetensi: 3. Menceritakan kisah Nabi
|
|
Kompetensi
dasar
|
3.1
Menceritakan kisah Nabi Ayyub AS
|
Materi
pokok
|
Kisah Nabi Ayyub AS:
1. Jalan
cerita kisah Nabi Ayyub AS
2. Latar (setting) kejadian kisah Nabi Ayyub AS
3. Tokoh-tokoh dan karakter dalam kisah Nabi Ayyub AS
4. Pesan
yang terkandung dalam kisah Nabi Ayyub AS
5. Perilaku
teladan Nabi Ayyub AS
|
Kegiatan
pembelajaran
|
1. Membaca
secara individual kisah Nabi Ayyub AS sesuai panduan yang disediakan guru
(dalam rangka para siswa membacanya secara intensif melalui pencapaian
indikator-indikator di bawah)
2. Diskusi
kelompok kecil tentang hasil membaca secara individual tersebut.
3. Beberapa
anak terpilih secara acak membacakan kisah tersebut di depan kelas (guru
dapat memberikan contoh cara membaca cerita secara baik)
4. Diskusi
kelas dalam rangka koreksi, penguatan, dan pengembangan hasil belajar siswa.
|
Indikator
|
1. Menemutunjukkan
jalan/alur cerita kisah Nabi Ayyub AS
2. Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri
latar kejadian kisah Nabi Ayyub AS
3. Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri tokoh-tokoh
dan karakter/perbuatan dari mereka yang terdapat dalam kisah
Nabi Ayyub AS
4. Menginterpretasi pesan yang terkandung dalam
kisah Nabi Ayyub AS
5. Mendeskripsikan dengan kata-kata sendiri secara utuh
(niat, perilaku, konsekuensi) perilaku teladan Nabi Ayyub AS
6. Memiliki apresiasi yang baik terhadap kisah
Nabi Ayyub AS
|
Penilaian
|
Laporan individual hasil tugas baca dan diskusi kelas
|
Alokasi
waktu
|
-
|
Sumber
belajar
|
Buku:
|
Standar kompetensi: 4. Membiasakan perilaku terpuji
|
|
Kompetensi
dasar
|
4.1 Meneladani perilaku Nabi
Ayyub AS
|
Materi
pokok
|
Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS
1. Perilaku
teladan (niat, perilaku, konsekuensi) Nabi
Ayyub AS
2. Pentingnya
perilaku teladan Nabi Ayyub AS.
3. Bagaimana
meneladaninya
|
Kegiatan
pembelajaran
|
1. Memotivasi
siswa: pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS (misalnya, kontraskan dengan
perilaku orang atau kelompok yang bertentangan)
2. Pemodelan
di kelas agar siswa mampu melakukan role
playing di kelas
3. Role playing di kelas
4. Praktik
perilaku teladan Nabi Ayyub AS dalam kehidupan harian dan mencatat dan
merefleksinya dalam jurnal siswa.
5. Mengajak
orang lain untuk meneladani Nabi Ayyub AS.
6. Diskusi
kelompok tentang jurnal siswa, atau konsultasi dengan guru tentang jurnal
siswa
|
Indikator
|
1. Memerankan
keteladanan Nabi Ayyub AS dalam latar kelas
2. Berperilaku
sebagaimana disarankan Nabi Ayyub AS
3. Mengajak
orang lain untuk meneladani Nabi Ayyub AS
|
Penilaian
|
Evaluasi jurnal siswa
|
Alokasi
waktu
|
-
|
Sumber
belajar
|
-
|
*)Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang mampu menyusunnya secara canggih
berkat pengalamannya dalam materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.
Catatan: Silabus yang pertama adalah bagian dari pelajaran
tarikh (biasanya barangkali diajarkan sebagai semata-semata pelajaran
kognitif). Kisah atau cerita sering
menjadi sarana untuk pendidikan karakter.
Karena itu penting adanya siswa membacanya secara intensif/mendalam,
dengan disediakan panduan/LKS. Juga,
puncak dari pelajaran kisah ini adalah kemampuan siswa mengapresiasi kisah
tersebut. Apresiasi dalam hal ini jelas
sebuah fasilitasi penting untuk penumbuhan karakter siswa. Dalam taksonomi Krathwohl, apresiasi termasuk
kedalam kemampuan valuing (menilai). Adapun dalam sistem Lickona, apresiasi dapat
memfasilitasi berkembangnya kemampuan cinta kebaikan.
Silabus yang kedua adalah bagian dari pelajaran
akhlak. Berperilaku sebagaimana disarankan
Nabi Ayyub AS adalah bagian dari tindakan moral (kompetensi), yang harus
dibiasakan dalam kehidupan harian.
Pembuatan jurnal jika dikerjakan sungguh-sungguh dan pendidik
menyediakan umpan-baliknya, dapat memperkuat perilaku siswa. Adapun diskusi dan konsultasi jurnal, di
samping memperkuat perilaku yang sudah ada, dapat juga berfungsi koreksi
terhadap kelemahan yang ditemukan, atau juga mengembangkan/meningkatkan
perilaku yang ada. Dengan pendidikan
karakter, latar tempat terjadinya pembelajaran tidak hanya di kelas. Kegiatan pembelajaran nomor 4 dan 5 silabus
SK-KD akhlak di atas, mengimplikasikan pembelajaran terjadi juga di luar kelas,
dan semua hal ini di bawah manajemen guru.
REFERENSI
Anderson, Lorin W.; Krathwohl David R.; Airasian, Peter W.;
Cruikshank, Kathleen A.; Mayer, Richard E.; Pintrich, Paul R.; Raths, James;
Wittrock, Merlin C. (2001). A Taxonomy
for Learning, Teaching, and Assessing; A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional (2006). Permen no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Lickona, Thomas (1991). Educating For Character, How our schools can
teach respect and responsibility. New
York: Bantam Books.
Spencer, JR, Lile M. & Spencer Signe M. (1993). Competence At Work. New York: John Wiley
& Sons, Inc.
Taksonomi Afektif Krathwohl
(Krathwohl dkk.,1964), tersedia di: http://www.learningandteaching.info/learning/
bloomtax.htm. 01.08.10)
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar sesuai artikel diatas